Contoh representasi visual aksara Lontara.
Di tengah gempuran modernisasi dan arus informasi global, warisan budaya tak benda menjadi semakin berharga. Salah satu kekayaan intelektual bangsa Indonesia yang masih bertahan dan relevan adalah aksara Lontara, sebuah sistem penulisan kuno yang memiliki akar kuat dalam kebudayaan Bugis di Sulawesi Selatan. Lebih dari sekadar kumpulan simbol, 23 huruf aksara Lontara ini adalah jendela menuju peradaban, pemikiran, dan kearifan leluhur Bugis yang telah diwariskan turun-temurun.
Aksara Lontara merupakan bagian integral dari identitas etnis Bugis. Sistem penulisannya termasuk dalam rumpun aksara Brahmi yang berkembang di Asia Selatan. Nama "Lontara" sendiri berasal dari kata "lontar," merujuk pada material daun lontar yang pada zaman dahulu sering digunakan sebagai media penulisannya. Seiring waktu, teks-teks penting, karya sastra, catatan sejarah, hukum adat, hingga ramalan ditulis menggunakan aksara ini pada berbagai media seperti daun lontar, kulit kayu, bambu, dan kertas.
Secara tradisional, aksara Lontara terdiri dari 18 huruf dasar yang merupakan konsonan. Namun, dengan penambahan diakritik atau tanda baca tertentu, huruf-huruf ini dapat berubah menjadi bunyi vokal atau konsonan lainnya. Perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya penambahan beberapa huruf tambahan yang jumlahnya bervariasi tergantung pada sumber dan evolusi penggunaannya. Konsep "23 huruf" seringkali merujuk pada jumlah huruf dasar yang siap digunakan dalam percakapan sehari-hari atau dalam penulisan naskah-naskah standar.
Setiap goresan dan bentuk dalam aksara Lontara tidak hanya memiliki fungsi fonetik, tetapi juga seringkali sarat akan makna filosofis dan kosmologis bagi masyarakat Bugis. Bentuk-bentuknya yang cenderung membulat dan mengalir, dipercaya mencerminkan pandangan hidup masyarakat Bugis yang egaliter, dinamis, dan menghargai keharmonisan. Bentuk dasar aksara Lontara, yang seringkali digambarkan dengan lekukan khas, mengingatkan pada bentuk alam, seperti ombak laut, helaan angin, atau tunas tumbuhan.
Meskipun tidak semua huruf secara eksplisit memiliki makna simbolik yang terdefinisi luas, namun nilai historis dan kulturalnya sangatlah besar. Keberadaan 23 huruf aksara Lontara ini menjadi penanda keunikan sebuah bangsa, sebuah etnisitas yang memiliki cara sendiri dalam merekam dan menyampaikan pemikirannya. Kemampuannya untuk merekam bahasa Bugis dengan akurat menjadikan aksara ini alat komunikasi tertulis yang vital selama berabad-abad.
Secara historis, aksara Lontara memegang peranan sentral dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Bugis. Para Puatta (leluhur), bangsawan, datu (raja), hingga tokoh agama memanfaatkan aksara ini untuk mencatat dan mengabadikan berbagai hal. Kitab-kitab hukum adat seperti "Lontara Pattumbukang" dan "Lontara Aruang" menjadi bukti kuat akan pentingnya aksara Lontara dalam menjaga tatanan sosial dan keadilan di masa lalu.
Dalam bidang sastra, aksara Lontara melahirkan karya-karya epik seperti "I Lagaligo," salah satu epik terpanjang di dunia yang berisi silsilah para raja dan cerita kepahlawanan. Karya ini bukan hanya sekadar cerita, tetapi juga mengandung ajaran moral, etika, dan pandangan dunia masyarakat Bugis. Selain itu, aksara Lontara juga digunakan untuk mencatat kisah-kisah rakyat, legenda, dan bahkan mantra pengobatan tradisional.
Kehidupan spiritual pun tak lepas dari sentuhan aksara Lontara. Naskah-naskah keagamaan, ritual, dan ajaran kepercayaan seringkali ditulis dan dipelajari menggunakan aksara ini. Hal ini menunjukkan bahwa aksara Lontara merupakan medium yang multifaset, mencakup berbagai ranah kehidupan, dari yang paling sakral hingga yang paling profan.
Di era digital ini, aksara Lontara menghadapi berbagai tantangan. Penurunan minat generasi muda untuk mempelajari dan menggunakannya, serta dominasi aksara Latin dalam kehidupan sehari-hari, menjadi ancaman serius bagi kelestariannya. Banyak naskah-naskah kuno yang kini sulit dibaca karena keterbatasan ahli yang menguasai.
Namun, semangat pelestarian terus menyala. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah, akademisi, seniman, dan komunitas pegiat budaya. Pendekatan modernisasi aksara Lontara melalui pengembangan font digital, aplikasi pembelajaran, serta integrasi dalam desain grafis dan seni kontemporer menjadi strategi penting. Sekolah-sekolah juga mulai kembali memasukkan pelajaran aksara Lontara dalam kurikulum muatan lokal.
Pameran budaya, lokakarya, dan festival yang mengangkat aksara Lontara juga turut serta mengenalkan kembali kekayaan ini kepada masyarakat luas. Melalui kesadaran kolektif dan partisipasi aktif dari berbagai pihak, diharapkan 23 huruf aksara Lontara beserta kekayaan isinya dapat terus hidup dan menjadi kebanggaan identitas bangsa, melintasi batas waktu dan generasi.