Memaknai Pesan Surah Adz Dzariyat: Dari Hembusan Angin Hingga Hakikat Penciptaan
Al-Qur'an, sebagai kalam ilahi, menyimpan lautan hikmah yang tak pernah kering untuk digali. Setiap surah, bahkan setiap ayat, memiliki lapisan makna yang mendalam dan relevan sepanjang zaman. Salah satu surah yang sarat dengan pesan fundamental tentang keimanan, kekuasaan Allah, dan tujuan hidup adalah Surah Adz-Dzariyat. Surah ke-51 dalam mushaf ini tergolong Makkiyah, diturunkan pada periode awal dakwah di Mekkah, di mana penekanan utama adalah pada penguatan fondasi akidah: tauhid, kenabian, dan kepastian hari kebangkitan.
Nama surah ini, Adz-Dzariyat, yang berarti "Angin yang Menerbangkan," diambil dari ayat pertama. Pemilihan nama ini bukanlah tanpa alasan. Allah SWT seringkali memulai surah-Nya dengan sumpah (qasam) atas ciptaan-Nya untuk menarik perhatian pendengar dan menegaskan betapa penting dan benarnya pesan yang akan disampaikan setelahnya. Angin, sebuah fenomena alam yang akrab namun penuh misteri, menjadi pembuka yang kuat untuk membahas perkara-perkara gaib yang menjadi inti dari surah ini.
Sumpah Demi Fenomena Alam: Penegasan Janji yang Pasti
Surah Adz-Dzariyat dibuka dengan serangkaian sumpah yang memukau, menggambarkan proses alamiah yang penuh kuasa dan keteraturan. Allah SWT berfirman:
“Demi (angin) yang menerbangkan debu dengan sekuat-kuatnya, dan awan yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan.” (QS. Adz-Dzariyat: 1-4)
Rangkaian sumpah ini bukan sekadar retorika puitis. Setiap elemen yang disebut memiliki makna mendalam. Adz-Dzariyat adalah angin kencang yang mampu menerbangkan dan menyebarkan debu, pasir, hingga benih-benih tumbuhan. Ia adalah simbol kekuatan, perubahan, dan penyebaran. Kemudian, Al-Hamilati wiqra, awan yang membawa beban berat berupa air hujan. Ini adalah simbol rezeki, kehidupan, dan rahmat yang diturunkan dari langit. Selanjutnya, Al-Jariyati yusra, kapal-kapal yang berlayar dengan mudah di lautan luas, menunjukkan bagaimana Allah menundukkan alam untuk kemudahan manusia. Ini adalah simbol kemudahan, perjalanan, dan interaksi. Terakhir, Al-Muqassimati amra, yang ditafsirkan sebagai para malaikat yang membagi-bagi urusan atas perintah Allah, seperti rezeki, ajal, hujan, dan wahyu. Ini adalah simbol keteraturan ilahi yang mengendalikan seluruh alam semesta.
Mengapa Allah bersumpah dengan semua ini? Untuk menegaskan sebuah kebenaran fundamental yang sering diingkari oleh manusia. Jawaban dari sumpah ini datang pada ayat berikutnya:
“Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.” (QS. Adz-Dzariyat: 5-6)
Pesan yang ingin disampaikan adalah: Sebagaimana kalian melihat angin bertiup, awan membawa hujan, dan kapal berlayar sebagai sebuah keniscayaan, maka ketahuilah bahwa janji tentang hari kebangkitan dan pembalasan juga merupakan sebuah keniscayaan yang absolut. Keteraturan dan kekuasaan yang terlihat pada fenomena alam ini adalah bukti nyata dari Kekuasaan yang sama yang mampu untuk membangkitkan manusia setelah kematiannya. Ini adalah sebuah argumen logis yang membantah keraguan kaum musyrikin Mekkah pada saat itu dan juga keraguan siapa pun di setiap zaman.
Kondisi Manusia dalam Menghadapi Kebenaran
Setelah menegaskan kepastian hari pembalasan, surah ini beralih menggambarkan perpecahan manusia dalam menyikapi kebenaran tersebut. Allah kembali bersumpah demi langit yang memiliki "jalan-jalan" (al-hubuk), yang bisa diartikan sebagai orbit bintang dan planet, atau strukturnya yang indah dan kokoh.
“Demi langit yang mempunyai jalan-jalan, sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berselisih pendapat.” (QS. Adz-Dzariyat: 7-8)
Ayat ini menyoroti kondisi manusia yang selalu berada dalam perbedaan pendapat, terutama mengenai masalah akidah yang paling fundamental. Ada yang beriman, ada yang ragu, dan ada yang menolak mentah-mentah. Allah menjelaskan siapa yang paling jauh tersesat dari kebenaran: "Dipalingkan darinya (Al-Qur'an dan Rasul) orang yang dipalingkan." (QS. Adz-Dzariyat: 9). Mereka adalah orang-orang yang hatinya telah terkunci, yang memilih untuk mengikuti hawa nafsu dan spekulasi kosong daripada petunjuk yang jelas.
Surah ini kemudian melukiskan keadaan mereka yang tenggelam dalam kebohongan dan kelalaian. Mereka bertanya dengan nada mengejek, "Kapankah hari pembalasan itu?" Pertanyaan ini bukan lahir dari rasa ingin tahu, melainkan dari pengingkaran dan kesombongan. Allah memberikan jawaban yang tegas dan mengerikan tentang nasib mereka kelak:
“(Hari pembalasan itu ialah) pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. (Dikatakan kepada mereka): ‘Rasakanlah azabmu ini. Inilah azab yang dahulu kamu minta untuk disegerakan.’” (QS. Adz-Dzariyat: 13-14)
Gambaran ini berfungsi sebagai peringatan keras. Kelalaian di dunia akan berujung pada penderitaan abadi di akhirat. Ejekan mereka di dunia akan dibalas dengan kenyataan pedih yang tidak bisa lagi mereka ingkari.
Potret Kaum Bertakwa: Balasan Kenikmatan Abadi
Sebagai metode Al-Qur'an yang khas (al-matsani), setelah menggambarkan nasib buruk para pendusta, surah ini menyajikan gambaran yang kontras tentang balasan bagi orang-orang yang bertakwa (al-muttaqin). Ini menciptakan harapan dan motivasi bagi orang-orang beriman untuk terus istiqamah di jalan kebenaran.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan mata air, mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan mereka kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Adz-Dzariyat: 15-16)
Ayat ini tidak hanya menjanjikan surga, tetapi juga menjelaskan "mengapa" mereka pantas mendapatkannya. Kuncinya ada pada frasa "sesungguhnya mereka sebelum itu adalah orang-orang yang berbuat baik (muhsinin)." Surah Adz-Dzariyat kemudian merinci tiga amalan utama yang menjadi ciri khas kaum muhsinin ini:
1. Sedikit Tidur di Waktu Malam (Qiyamul Lail)
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam;” (QS. Adz-Dzariyat: 17)
Amalan pertama adalah menghidupkan malam dengan ibadah. Ketika kebanyakan manusia terlelap dalam tidurnya, orang-orang bertakwa memilih untuk bangkit, berdiri di hadapan Rabb mereka, bermunajat, shalat, dan membaca Al-Qur'an. Ini bukan sekadar ritual, melainkan bukti cinta, kerinduan, dan kebutuhan seorang hamba kepada Penciptanya. Qiyamul Lail adalah madrasah ruhani yang menempa keikhlasan, kesabaran, dan kedekatan dengan Allah. Mereka mengorbankan kenyamanan istirahat di dunia untuk meraih kenikmatan abadi di akhirat.
2. Memohon Ampun di Waktu Sahur (Istighfar)
“Dan di akhir-akhir malam (waktu sahur) mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzariyat: 18)
Amalan kedua adalah istighfar di waktu sahur. Waktu sahur adalah momen yang sangat istimewa, di mana Allah turun ke langit dunia dan mengabulkan doa hamba-Nya. Menariknya, setelah mereka menghabiskan malam dengan ibadah, mereka tidak merasa sombong atau puas diri. Sebaliknya, mereka menutup malam mereka dengan merendahkan diri, mengakui segala kekurangan, dan memohon ampunan Allah. Ini menunjukkan puncak ketawadukan. Mereka sadar bahwa ibadah sebanyak apa pun tidak akan pernah sepadan dengan nikmat Allah, dan selalu ada celah kekurangan di dalamnya. Istighfar di waktu sahur adalah ciri orang yang senantiasa merasa butuh kepada ampunan dan rahmat Allah.
3. Kepedulian Sosial: Berbagi dengan Sesama
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (yang tidak meminta).” (QS. Adz-Dzariyat: 19)
Amalan ketiga melengkapi dimensi ibadah vertikal (hablum minallah) dengan ibadah horizontal (hablum minannas). Kesalehan mereka tidak hanya bersifat personal, tetapi juga sosial. Mereka menyadari bahwa di dalam rezeki yang Allah titipkan kepada mereka, ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Mereka tidak menganggap pemberian itu sebagai sedekah belas kasihan, melainkan sebagai "hak" yang memang wajib mereka keluarkan. Perhatikan diksi yang digunakan: "as-sa'il" (orang yang meminta) dan "al-mahrum" (orang yang terhalang rezekinya, yang mungkin malu untuk meminta). Ini mengajarkan kepekaan sosial yang tinggi, untuk proaktif mencari dan membantu mereka yang membutuhkan, bukan hanya menunggu mereka datang meminta-minta. Tiga pilar ini—ibadah malam, istighfar di waktu sahur, dan kedermawanan—adalah resep praktis yang ditawarkan Al-Qur'an untuk mencapai derajat muttaqin dan muhsinin.
Tanda-tanda Kekuasaan Allah di Alam Semesta dan Diri Manusia
Untuk lebih meyakinkan manusia tentang kebenaran janji-Nya, Allah mengajak kita untuk melakukan observasi dan refleksi. Objeknya ada dua: alam semesta (makrokosmos) dan diri kita sendiri (mikrokosmos).
“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 20-21)
Di bumi, kita bisa melihat gunung yang kokoh, lautan yang luas, sungai yang mengalir, pergantian siang dan malam, keragaman hayati, dan siklus kehidupan yang menakjubkan. Semua ini bukanlah kebetulan. Semuanya berjalan dalam sebuah sistem yang presisi dan saling terhubung, menunjukkan adanya Sang Maha Perancang. Bagi orang yang mau berpikir (al-yaqinin), setiap jengkal bumi adalah ayat kauniyah yang berbicara tentang keagungan Penciptanya.
Kemudian, Allah mengajak kita untuk melihat lebih dekat, ke dalam diri kita sendiri. Bagaimana kita diciptakan dari setetes air yang hina, lalu menjadi janin dengan organ-organ kompleks? Bagaimana jantung kita berdetak tanpa perintah sadar, paru-paru kita bernapas, dan otak kita mampu berpikir, merasa, dan berimajinasi? Kompleksitas tubuh manusia, dari tingkat seluler hingga sistem organ, adalah bukti kekuasaan Allah yang paling dekat dan paling nyata. "Maka apakah kamu tidak memperhatikan?" adalah sebuah teguran lembut namun tajam, mengajak kita untuk tidak lalai terhadap keajaiban yang ada pada diri kita sendiri.
Jaminan Rezeki yang Telah Ditetapkan
Setelah mengajak kita merenungi penciptaan, Allah memberikan salah satu ayat yang paling menenangkan hati dan menguatkan tawakal dalam surah ini:
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya (apa yang dijanjikan) itu pasti benar, seperti (kebenaran) bahwa kamu dapat berbicara.” (QS. Adz-Dzariyat: 22-23)
Ayat ini adalah jaminan ilahi yang luar biasa. Rezeki, yang seringkali menjadi sumber kekhawatiran terbesar manusia, sesungguhnya telah diatur dan ditetapkan di sisi-Nya. "Di langit" bisa berarti bahwa sumber rezeki seperti hujan turun dari langit, atau bahwa ketetapannya sudah tertulis di Lauhul Mahfuz. Ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu cemas tentang urusan duniawi. Tugas kita adalah berikhtiar dengan cara yang halal, namun hati harus senantiasa bergantung kepada Allah, Sang Pemberi Rezeki (Ar-Razzaq).
Untuk meyakinkan kita akan kebenaran janji ini, Allah bersumpah dengan Dzat-Nya sendiri, "demi Tuhan langit dan bumi." Ini adalah sumpah yang paling agung. Lalu Allah memberikan perumpamaan yang sangat mudah dipahami: kebenaran janji ini adalah "seperti kebenaran bahwa kamu dapat berbicara." Tidak ada seorang pun yang ragu bahwa dirinya bisa berbicara. Begitu pula seharusnya keyakinan kita terhadap jaminan rezeki dan janji-janji Allah lainnya. Ini adalah penegasan yang menghapus segala keraguan.
Kisah Nabi Ibrahim dan Tamu-Tamu Agungnya
Untuk memberikan contoh nyata tentang bagaimana Allah memuliakan hamba-Nya dan menepati janji, surah ini menukil kisah Nabi Ibrahim AS. Kisah ini diawali dengan kedatangan tamu-tamu yang tidak ia kenal.
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?” (QS. Adz-Dzariyat: 24)
Sebagai seorang yang sangat dermawan, Nabi Ibrahim segera menyambut mereka dan tanpa bertanya, ia langsung menyembelih seekor anak sapi yang gemuk untuk dihidangkan. Ini menunjukkan akhlak mulia seorang nabi dalam memuliakan tamu. Namun, ia terkejut ketika para tamu tersebut tidak menyentuh makanan yang dihidangkan. Rasa takut mulai muncul dalam dirinya, karena dalam tradisi Arab saat itu, tamu yang tidak mau makan bisa jadi memiliki niat buruk.
Para tamu itu kemudian menenangkan Ibrahim dan memperkenalkan diri mereka sebagai malaikat utusan Allah. Mereka datang membawa dua kabar: kabar gembira dan kabar buruk. Kabar gembiranya adalah bahwa Ibrahim dan istrinya, Sarah, yang sudah tua dan mandul, akan dikaruniai seorang anak laki-laki yang cerdas bernama Ishaq. Mendengar ini, Sarah pun terheran-heran dan menertawakan hal yang dianggapnya mustahil. Para malaikat menegaskan bahwa ini adalah ketetapan Allah, Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Kabar kedua, yang merupakan tujuan utama kedatangan mereka, adalah untuk membinasakan kaum Luth yang durhaka karena perbuatan keji mereka (homoseksualitas). Ibrahim, dengan hati yang penuh belas kasihan, sempat berdialog dengan para malaikat, berharap kaum Luth diberi kesempatan. Namun, ketetapan azab dari Allah sudah final. Kisah ini mengandung banyak pelajaran, di antaranya: kemuliaan akhlak Ibrahim, kekuasaan Allah yang mampu melakukan hal di luar nalar manusia (memberi anak di usia tua), dan kepastian azab bagi kaum yang melampaui batas.
Pelajaran dari Kehancuran Umat-umat Terdahulu
Setelah kisah Ibrahim dan kaum Luth, Surah Adz-Dzariyat secara singkat namun kuat mengingatkan tentang nasib umat-umat terdahulu yang juga menentang para rasul. Ini berfungsi sebagai 'ibrah (pelajaran) dan peringatan bagi kaum Quraisy dan seluruh manusia setelahnya.
- Kisah Musa dan Fir'aun: "Dan (juga) pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir‘aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka dia (Fir‘aun) bersama bala tentaranya berpaling dan berkata, ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.’ Maka Kami siksa dia dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, dalam keadaan tercela." (QS. Adz-Dzariyat: 38-40). Kisah ini menyoroti kesombongan kekuasaan yang berakhir dengan kehinaan.
- Kaum 'Ad: Mereka dibinasakan oleh "angin yang membinasakan" (ar-rih al-'aqim), yang menghancurkan segala sesuatu yang dilewatinya. Ini adalah balasan setimpal karena mereka sombong dengan kekuatan fisik mereka.
- Kaum Tsamud: Mereka menentang perintah Allah dengan membunuh unta betina mukjizat Nabi Saleh, lalu mereka dibinasakan oleh petir yang dahsyat saat mereka melihatnya.
- Kaum Nuh: Jauh sebelum mereka semua, kaum Nuh yang menolak dakwah selama ratusan tahun, ditenggelamkan oleh banjir bandang. Mereka disebut sebagai "kaum yang fasik."
Penyebutan kisah-kisah ini secara berurutan menegaskan sebuah pola (sunnatullah): penolakan terhadap kebenaran yang dibawa para rasul, yang diiringi dengan kesombongan, pasti akan berujung pada kebinasaan. Ini adalah peringatan keras bahwa hukum Allah berlaku bagi semua umat, tanpa terkecuali.
Puncak Penegasan: Kekuasaan Penciptaan dan Tujuan Hidup
Bagian akhir surah ini kembali kepada penegasan akan kekuasaan absolut Allah SWT, yang menjadi dasar dari semua argumen sebelumnya. Ayat-ayat ini menghubungkan kembali kekuatan penciptaan dengan perintah untuk mentauhidkan-Nya.
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. Dan bumi itu Kami hamparkan; maka sebaik-baik yang menghamparkan (adalah Kami). Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat (akan kebesaran Allah).” (QS. Adz-Dzariyat: 47-49)
Ayat-ayat ini mengandung keajaiban ilmiah. Frasa "Kami benar-benar meluaskannya" (wa inna lamusi'un) sejalan dengan penemuan modern tentang alam semesta yang terus mengembang (expanding universe). Fakta bahwa segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan (positif-negatif, jantan-betina, siang-malam, dll) adalah prinsip fundamental dalam sains. Semua ini adalah bukti tak terbantahkan bagi orang yang mau berpikir, yang seharusnya menuntun pada satu kesimpulan logis.
Kesimpulan itu dirumuskan dalam perintah yang jelas: "Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah." (Fafirruu ilallah). Ini adalah ajakan untuk lari dari kebodohan menuju pengetahuan, dari kesyirikan menuju tauhid, dari maksiat menuju ketaatan, dan dari azab Allah menuju rahmat-Nya. Ini adalah esensi dari seluruh ajaran Islam.
Surah ini kemudian ditutup dengan ayat yang menjadi jawaban atas pertanyaan paling fundamental dalam eksistensi manusia: Untuk apa kita diciptakan?
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki, Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58)
Inilah puncak dari seluruh pesan dalam Surah Adz-Dzariyat. Tujuan hidup kita adalah satu: ibadah. Ibadah dalam arti luas, mencakup setiap perbuatan yang didasari niat untuk mencari ridha Allah, mulai dari shalat, puasa, hingga bekerja, belajar, dan berbuat baik kepada sesama. Allah menegaskan bahwa Dia tidak butuh ibadah kita. Ibadah itu adalah untuk kebaikan kita sendiri. Allah juga tidak meminta rezeki dari kita, sebaliknya, Dialah yang menjamin rezeki kita semua. Ini membebaskan manusia dari perbudakan kepada materi dan makhluk, dan mengembalikannya kepada peribadahan murni hanya kepada Sang Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Pemberi Rezeki.
Surah Adz-Dzariyat, dengan alurnya yang indah, membawa kita dalam sebuah perjalanan spiritual dan intelektual. Dimulai dari hembusan angin yang menerbangkan debu, kita diajak merenungi kepastian hari pembalasan, melihat potret kontras antara penghuni surga dan neraka, menyaksikan tanda-tanda kebesaran-Nya di alam dan diri kita, belajar dari kisah umat terdahulu, hingga sampai pada pemahaman tentang hakikat dan tujuan penciptaan. Ini adalah surah yang menguatkan iman, menenangkan jiwa tentang rezeki, dan mengingatkan kita akan tugas utama kita di dunia: untuk kembali dan mengabdi hanya kepada-Nya.