Dalam berbagai sistem hukum, terutama yang berakar pada tradisi dan norma sosial tertentu, posisi seorang ahli waris laki-laki seringkali memiliki keunikan tersendiri. Konsep waris-mewaris merupakan aspek fundamental dalam pengaturan harta peninggalan seseorang setelah ia meninggal dunia. Pengaturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi para penerus, serta mencegah potensi sengketa di kemudian hari. Salah satu aspek yang sering menjadi sorotan adalah bagaimana hukum memperlakukan ahli waris berdasarkan jenis kelamin mereka, dan dalam konteks ini, ahli waris laki-laki kerap kali menduduki posisi yang berbeda dibandingkan ahli waris perempuan.
Penentuan siapa yang berhak mewarisi dan berapa bagiannya sangat bergantung pada sumber hukum yang berlaku. Di Indonesia, hukum waris dapat bersumber dari hukum agama (misalnya hukum Islam), hukum adat, maupun hukum perdata. Masing-masing sumber hukum ini memiliki kaidah tersendiri mengenai pembagian warisan, dan banyak di antaranya yang memberikan prioritas atau perbedaan perlakuan bagi ahli waris laki-laki.
Dalam hukum waris Islam, yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, terdapat prinsip bahwa anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari anak perempuan. Hal ini didasarkan pada interpretasi ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits, yang seringkali dikaitkan dengan tanggung jawab finansial yang dibebankan kepada laki-laki dalam menafkahi keluarga. Misalnya, dalam kasus pewarisan hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak laki-laki serta anak perempuan, anak laki-laki akan menerima 2/3 bagian dari total harta warisan, sementara anak perempuan akan menerima 1/3 bagian. Perbedaan ini mencerminkan pemahaman mengenai peran dan kewajiban dalam struktur keluarga.
Bergeser ke hukum adat, praktik pewarisan juga sangat bervariasi antar suku dan daerah. Beberapa sistem hukum adat, seperti yang berlaku di sebagian besar wilayah Jawa dan Sumatera, cenderung menganut prinsip patrilineal, di mana garis keturunan dan pewarisan harta lebih banyak mengalir melalui garis ayah. Dalam sistem ini, anak laki-laki seringkali menjadi pewaris utama, terutama untuk harta pusaka atau tanah adat. Hal ini tentu saja memberikan status dan hak yang lebih kuat bagi ahli waris laki-laki.
Namun, tidak semua hukum adat menerapkan prinsip yang sama. Ada pula sistem adat yang menganut garis keturunan bilateral atau matrilinial. Pada sistem matrilinial, seperti pada suku Minangkabau, harta pusaka justru diwariskan dari ibu ke anak perempuan. Meskipun demikian, peran laki-laki sebagai anggota keluarga besar tetap memiliki makna, meskipun dalam hal pewarisan harta benda tertentu mungkin berbeda.
Hukum waris perdata yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW) pada prinsipnya menganut asas kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan sebagai ahli waris. Berdasarkan BW, apabila tidak ada surat wasiat, maka harta peninggalan akan dibagi secara merata di antara semua ahli waris yang sah. Jika pewaris meninggalkan anak-anaknya, maka anak-anak itulah yang menjadi ahli waris menurut undang-undang. Dalam hal ini, anak laki-laki dan anak perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam hal hak menerima warisan.
Perbedaan perlakuan antara ahli waris laki-laki dan perempuan dalam sistem hukum waris, khususnya yang berakar pada tradisi atau agama, kadang kala menimbulkan diskusi dan bahkan pertentangan di era modern. Munculnya kesadaran akan kesetaraan gender mendorong sebagian pihak untuk mempertanyakan relevansi pembagian warisan yang didasarkan semata-mata pada jenis kelamin.
Dalam konteks hukum Islam, banyak cendekiawan muslim kontemporer yang berusaha untuk menafsirkan ulang ayat-ayat hukum waris dengan mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi yang berbeda di masa kini. Mereka berpendapat bahwa prinsip pembagian dua banding satu bagi anak laki-laki dan perempuan bukanlah sebuah ketetapan mutlak yang tidak dapat ditinjau, melainkan sebuah sistem yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan tanggung jawab finansial laki-laki di zamannya.
Di sisi lain, dalam praktik hukum adat, pemahaman mengenai pewarisan harta pusaka juga terus berkembang. Beberapa masyarakat adat mulai mengadopsi cara pandang yang lebih inklusif, di mana hak dan kewajiban dalam pengelolaan harta warisan tidak lagi semata-mata dibebankan pada satu jenis kelamin saja. Terkadang, solusi penyelesaian sengketa waris juga dapat dilakukan melalui musyawarah mufakat untuk mencapai kesepakatan yang adil bagi seluruh ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan.
Secara keseluruhan, posisi ahli waris laki-laki dalam hukum waris sangat kompleks dan bervariasi. Ia dapat ditentukan oleh sumber hukum yang dianut, baik itu agama, adat, maupun perdata. Meskipun beberapa sistem memberikan porsi lebih besar atau prioritas kepada laki-laki, perkembangan zaman dan kesadaran akan kesetaraan gender membawa dinamika baru dalam perdebatan dan praktik pewarisan. Penting bagi setiap individu untuk memahami kaidah waris yang berlaku dalam lingkungannya agar hak dan kewajiban dapat dipenuhi secara adil dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.