Dalam khazanah kebudayaan Jawa, nama Aji Saka identik dengan penciptaan aksara Jawa. Sebuah legenda yang telah diturunkan dari generasi ke generasi, kisah Aji Saka bukan sekadar cerita rakyat biasa, melainkan narasi mendalam tentang asal-usul, kebijaksanaan, dan upaya pelestarian tradisi. Aksara Jawa, yang kita kenal sebagai Hanacaraka, merupakan warisan berharga yang diciptakan oleh Aji Saka, seorang tokoh sakti mandraguna dari negeri Maespati. Legenda ini memberikan fondasi filosofis yang kuat bagi pemahaman kita tentang pentingnya bahasa dan tulisan dalam sebuah peradaban.
Menurut babad dan cerita turun-temurun, Aji Saka hadir di tanah Jawa sebagai sosok pembawa pencerahan. Ia konon datang untuk menumpas kezaliman dan kesewenang-wenangan dari raja Adiwara (atau Dewata Cengkar, tergantung versi cerita) yang memerintah dengan tangan besi dan memakan manusia. Kedatangan Aji Saka disambut sebagai harapan baru bagi rakyat jelata yang tertindas. Ia digambarkan sebagai pangeran yang gagah berani, cerdas, dan memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa. Perjuangan Aji Saka melawan raja zalim ini bukan hanya tentang perebutan kekuasaan, tetapi juga tentang kemenangan kebaikan atas kejahatan, keadilan atas ketidakadilan.
Puncak dari kisah Aji Saka adalah penciptaan aksara Jawa. Diceritakan bahwa Aji Saka memiliki dua orang abdi kepercayaan, yaitu Dora dan Sembada. Suatu ketika, Aji Saka memberikan dua pusaka kepadanya dan berpesan agar salah satunya diserahkan kepada Sembada. Namun, karena Sembada tidak menyadari bahwa pusaka yang dibawanya adalah titipan untuk Dora, ia malah menganggap Dora hendak mencuri. Sembada pun membunuh Dora. Ketika Aji Saka mengetahui hal ini, ia sangat murka dan menghukum Sembada. Dalam kesedihannya, Aji Saka kemudian membuat sebuah prasasti yang berisi aksara-aksara yang kelak dikenal sebagai aksara Jawa.
Setiap aksara dalam Hanacaraka mengandung makna filosofis yang mendalam, mencerminkan nilai-nilai kehidupan, tatanan sosial, dan spiritualitas masyarakat Jawa.
Ada berbagai versi mengenai bagaimana Aji Saka menciptakan aksara tersebut. Namun, inti ceritanya mengarah pada sebuah peristiwa yang penuh dengan pelajaran moral. Konon, Aji Saka membuat dua puluh aksara yang saling terkait, mewakili dua puluh abdi kepercayaannya yang ia datangkan dari Maespati. Keunikan aksara Jawa terletak pada susunan awalnya, yang membentuk kalimat "Hanacaraka, datasawala, padhasawenea, magabathanga". Kalimat ini memiliki makna historis dan filosofis yang kaya. "Hanacaraka" berarti "ada utusan", "datasawala" berarti "saling bertentangan", "padhasawenea" berarti "menjadi teman", dan "magabathanga" berarti "bersatu padu".
Makna dari susunan aksara awal ini sering diinterpretasikan sebagai penggambaran perjalanan hidup manusia. Mulai dari keberadaan diri (utusan), adanya konflik dan pertentangan dalam kehidupan, hingga akhirnya mencapai persatuan dan keharmonisan. Ini adalah cerminan dari filosofi Jawa yang menekankan pentingnya keseimbangan dan kerukunan, baik dalam diri sendiri maupun dalam hubungan dengan sesama dan alam semesta. Penciptaan aksara ini bukan hanya sekadar upaya menciptakan alat komunikasi tertulis, tetapi juga sebagai cara Aji Saka menanamkan ajaran moral dan filosofis kepada generasi penerusnya.
Aksara Jawa yang kita kenal sekarang adalah hasil evolusi dari aksara ciptaan Aji Saka. Melalui berbagai periode sejarah, aksara ini terus berkembang dan disempurnakan. Ia menjadi media penting dalam penyebaran ajaran agama, sastra, sejarah, hingga ilmu pengetahuan di tanah Jawa. Kitab-kitab kuno, naskah-naskah sejarah, karya sastra klasik seperti Serat Rama, Serat Kalatidha, dan berbagai primbon, semuanya tertulis dalam aksara Jawa. Tanpa aksara ini, kekayaan intelektual dan budaya leluhur kita mungkin akan sulit untuk diakses dan dipahami oleh generasi sekarang.
Penggunaan aksara Jawa tidak hanya terbatas pada penulisan. Bentuk visual aksara Jawa sendiri memiliki nilai seni yang tinggi. Bentuknya yang melengkung dan anggun seringkali diadaptasi menjadi motif-motif dekoratif pada seni ukir, batik, hingga arsitektur. Setiap bentuk aksara memiliki karakteristiknya sendiri yang unik dan indah untuk dilihat. Lebih jauh lagi, mempelajari aksara Jawa berarti membuka jendela untuk memahami cara pandang dunia masyarakat Jawa, nilai-nilai yang mereka junjung tinggi, dan kearifan lokal yang mereka miliki.
Meskipun di era digital ini aksara Latin lebih mendominasi, upaya pelestarian aksara Jawa terus dilakukan. Sekolah-sekolah mulai memperkenalkan kembali aksara ini dalam kurikulum, komunitas pegiat budaya aktif mengadakan pelatihan, dan berbagai platform digital kini menyediakan sarana untuk belajar dan menulis dalam aksara Jawa. Kisah Aji Saka dan aksara Jawa yang diciptakannya tetap relevan sebagai pengingat akan pentingnya menjaga identitas budaya melalui bahasa dan tulisan. Ia adalah warisan yang tak ternilai, saksi bisu perjalanan panjang peradaban Jawa yang patut kita jaga kelestariannya untuk anak cucu kita.