Aksiologi Filsafat Islam: Pilar Nilai dan Etika

TUHAN (Sumber) Akidah Syariah Akhlak (Puncak)

Ilustrasi Konseptual Pilar Nilai dalam Islam

Pengantar Aksiologi dalam Filsafat Islam

Aksiologi, sebagai cabang filsafat yang mengkaji nilai (value), memegang peranan sentral dalam kerangka berpikir Islam. Berbeda dengan aksiologi Barat yang seringkali bersifat sekuler atau terfragmentasi, aksiologi filsafat Islam secara inheren terikat pada konsep tauhid—keesaan Tuhan. Nilai tertinggi dalam pandangan ini bukanlah kepuasan subjektif manusia semata, melainkan pencapaian keridhaan Allah (ridwanullah) dan realisasi fungsi kekhalifahan manusia di bumi.

Filsafat Islam memandang bahwa nilai bukanlah sesuatu yang diciptakan manusia secara arbitrer, melainkan sesuatu yang memiliki dasar ontologis yang kokoh, yaitu kebenaran (al-Haqq) yang bersumber dari Allah SWT. Oleh karena itu, studi aksiologi dalam konteks ini tidak hanya membahas tentang "apa yang baik" (goodness), tetapi juga tentang "mengapa sesuatu itu baik" berdasarkan wahyu dan akal yang dimampukan.

Piramida Nilai: Sumber dan Hierarki

Aksiologi Islam tersusun dalam sebuah hierarki yang jelas, di mana sumber nilai tertinggi adalah wahyu ilahi (Al-Qur'an dan Sunnah). Nilai-nilai ini kemudian diturunkan dan diimplementasikan melalui tiga dimensi utama kehidupan Muslim: Akidah (keyakinan), Syariah (hukum), dan Akhlak (etika atau moralitas). Akidah menjadi fondasi epistemologis yang memberikan legitimasi pada semua nilai, sementara Syariah menyediakan kerangka normatif bagaimana nilai tersebut harus diwujudkan dalam tindakan praktis.

Akhlak, dalam konteks ini, seringkali dianggap sebagai puncak dari aksiologi Islam. Akhlak adalah internalisasi nilai-nilai kebenaran menjadi karakter dan tindakan spontan. Para filsuf seperti Al-Ghazali menekankan bahwa kemuliaan sejati seorang individu terletak pada sejauh mana perilakunya mencerminkan sifat-sifat ilahi yang dapat dicapai manusia (tahallu bi al-akhlaq al-ilahiyyah). Etika Islam, karenanya, bukanlah sekadar kepatuhan pada aturan, melainkan upaya penyucian diri menuju kesempurnaan moral.

Konsep Kebaikan (Al-Husn) dan Keburukan (Al-Qubh)

Dalam filsafat Islam, konsep kebaikan (al-husn) dan keburukan (al-qubh) memiliki dua dimensi utama. Pertama, dimensi syar'i (legalistik), di mana suatu perbuatan dianggap baik jika sejalan dengan hukum syariat, dan buruk jika melanggarnya. Kedua, dimensi akli (rasional) atau fitrah, di mana akal sehat manusia, ketika dibimbing oleh iman, dapat mengenali kebaikan intrinsik dari kejujuran, keadilan, dan kasih sayang, serta keburukan dari penindasan dan kebohongan.

Para pemikir Mu'tazilah cenderung menekankan aspek akli, meyakini bahwa kebaikan dan keburukan dapat diketahui akal secara independen sebelum datangnya wahyu. Sementara itu, Asy'ariyah berargumen bahwa standar baik dan buruk sepenuhnya ditentukan oleh penetapan Ilahi semata. Dialog antara kedua pandangan ini membentuk spektrum aksiologi yang kaya dalam tradisi Islam, yang pada akhirnya berupaya menyelaraskan tuntutan transenden dengan realitas manusiawi.

Nilai Instrumental dan Nilai Intrinsik

Aksiologi Islam juga membedakan antara nilai instrumental dan nilai intrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang dianggap baik demi dirinya sendiri, yang paling utama adalah iman, kebenaran, dan keadilan ilahi. Sementara itu, nilai instrumental adalah nilai yang baik karena berfungsi sebagai sarana untuk mencapai nilai intrinsik. Misalnya, kerja keras (instrumental) dihargai karena membawa pada kemandirian finansial yang memungkinkan seseorang menunaikan kewajiban agama dan sosial (intrinsik).

Dalam pandangan filosofis, tujuan akhir (teleologi) dari seluruh aktivitas bernilai adalah mencapai al-Falah (kebahagiaan sejati), yang tidak hanya mencakup kesejahteraan duniawi (sa’adah dunya) tetapi juga kebahagiaan abadi di akhirat (sa’adah ukhra). Dengan demikian, setiap pilihan aksiologis dalam Islam selalu memiliki orientasi ganda, memastikan bahwa tindakan yang dilakukan hari ini memiliki resonansi kekal.

Implikasi Kontemporer

Memahami aksiologi filsafat Islam menjadi sangat relevan di era modern. Ketika nilai-nilai Barat sering kali mengutamakan relativisme atau utilitarianisme semata, kerangka aksiologi Islam menawarkan landasan moral yang kuat dan objektif. Penerapannya menuntut seorang Muslim untuk senantiasa melakukan evaluasi moral terhadap praktik sosial, ekonomi, dan politik, memastikan bahwa setiap inovasi dan keputusan tidak mengorbankan prinsip-prinsip keadilan, kemaslahatan umum (maslahah), dan integritas spiritual.

Dengan demikian, aksiologi filsafat Islam berfungsi sebagai kompas etis yang mengarahkan peradaban menuju keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan material dan pencapaian tujuan spiritual yang tertinggi. Ini adalah sebuah sistem nilai yang dinamis namun berakar kuat pada sumber kebenaran yang abadi.

🏠 Homepage