Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Pendirian organisasi ini tidak terlepas dari semangat tajdid (pembaharuan) yang dibawa oleh KH Ahmad Dahlan. Dalam konteks sosial dan keagamaan saat itu, terdapat banyak praktik tradisi yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam murni. KH Ahmad Dahlan, setelah kembali dari menimba ilmu di Mekkah dan berinteraksi dengan pemikiran modernis Islam, menyadari perlunya wadah formal untuk menyebarkan gagasan pencerahan dan kembali kepada Al-Qur'an serta Sunnah.
Namun, penting untuk dipahami bahwa "Akta Pendirian" dalam konteks formalitas historis awal Muhammadiyah memiliki makna yang sedikit berbeda dengan akta notaris modern. Pendiriannya pada awalnya lebih bersifat kesepakatan bersama dan pengakuan dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung visi KH Ahmad Dahlan. Meskipun demikian, landasan yuridis dan filosofis yang mengikat keberadaan organisasi ini telah tertuang sejak awal pendiriannya. Proses formalisasi ini bertujuan untuk memberikan legitimasi sosial dan kelembagaan yang kuat bagi kegiatan dakwah, pendidikan, dan sosial yang akan dijalankan.
Akta pendirian, baik dalam bentuk kesepakatan awal maupun legalisasi selanjutnya, mencerminkan tiga pilar utama gerakan Muhammadiyah: Islam sebagai pandangan hidup, pembaharuan pemikiran, dan pengabdian masyarakat (amal usaha). KH Ahmad Dahlan menekankan bahwa keislaman harus teraktualisasi dalam kehidupan nyata, bukan hanya sebatas ritual semata. Oleh karena itu, visi awal ini segera diwujudkan melalui pendirian sekolah-sekolah modern yang memadukan pendidikan agama dengan ilmu pengetahuan umum.
Landasan ini juga menjadi pondasi bagi pengembangan ribuan amal usaha di bidang pendidikan (dari TK hingga Universitas), kesehatan (rumah sakit dan klinik), hingga kesejahteraan sosial. Keputusan untuk mendirikan organisasi formal adalah langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan dan profesionalisme dalam menjalankan misi dakwah amar ma’ruf nahi munkar secara terstruktur. Dokumen atau kesepakatan awal inilah yang menjadi cetak biru bagi perkembangan organisasi yang kini menyebar luas hingga ke kancah internasional.
Meskipun momentum pendiriannya terjadi pada tahun 1912, proses legalisasi formal Muhammadiyah di bawah pemerintahan kolonial Belanda dan kemudian di Republik Indonesia telah melalui berbagai tahapan. Legalitas hukum yang definitif sering kali dikaitkan dengan pengesahan statuta atau akta notaris yang memastikan status badan hukum organisasi. Ini sangat krusial mengingat skala amal usaha yang dikelola memerlukan perlindungan dan pengakuan hukum dari negara.
Akta pendirian yang sah secara hukum hari ini adalah jaminan bahwa seluruh aset, program, dan kebijakan organisasi berada di bawah payung peraturan perundang-undangan yang berlaku, sekaligus memastikan bahwa tujuan awal KH Ahmad Dahlan—yaitu pencerahan umat—tetap menjadi prioritas utama. Dokumen-dokumen ini, yang secara kolektif mewakili akta pendirian dalam arti luas, adalah warisan penting yang wajib dijaga dan dipahami oleh setiap kader Muhammadiyah. Mereka adalah bukti otentisitas perjuangan intelektual dan sosial yang telah melampaui satu abad.