Fondasi Kesuksesan Hakiki: Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 70
Ilustrasi Taqwa sebagai perisai dan perkataan yang benar sebagai timbangan keadilan.
Dalam samudra petunjuk Al-Quran, setiap ayat adalah mercusuar yang memandu umat manusia menuju pantai kebahagiaan dan keselamatan. Salah satu cahaya penuntun yang paling fundamental bagi seorang mukmin terpatri dalam Surah Al-Ahzab, ayat ke-70. Ayat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah formula ilahiah, sebuah peta jalan komprehensif yang merangkum dua pilar utama untuk meraih kesuksesan sejati—sukses di dunia yang fana ini dan kemenangan abadi di akhirat kelak.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar."
Ayat yang singkat ini mengandung kedalaman makna yang luar biasa. Ia dimulai dengan sebuah panggilan mesra, dilanjutkan dengan dua perintah esensial, dan menjadi gerbang menuju janji-janji agung yang dijelaskan pada ayat berikutnya. Mari kita selami setiap frasa dari ayat mulia ini untuk memahami bagaimana ia membentuk fondasi karakter seorang mukmin dan menjamin masa depannya.
Panggilan Keimanan: Sebuah Kehormatan dan Tanggung Jawab
Ayat ini dibuka dengan seruan "Yā ayyuhal-ladzīna āmanū" (Wahai orang-orang yang beriman). Ini bukanlah panggilan biasa. Dalam retorika Al-Quran, seruan ini adalah sebuah penghormatan. Allah SWT tidak memanggil manusia secara umum, tetapi secara spesifik menyapa mereka yang telah mengikrarkan iman di dalam hatinya. Ini adalah panggilan cinta dari Sang Pencipta kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Panggilan ini seolah berkata, "Dengarkanlah, wahai engkau yang telah memilih-Ku sebagai Tuhanmu, yang telah menerima risalah-Ku. Perintah yang akan datang ini adalah khusus untukmu, sebagai bukti keimananmu dan sebagai jalan untuk meningkatkan derajatmu."
Abdullah ibn Mas'ud, seorang sahabat Nabi yang agung, pernah memberikan nasihat berharga: "Jika engkau mendengar Allah berfirman 'Yā ayyuhal-ladzīna āmanū', maka pasanglah telingamu baik-baik, karena sesudahnya ada kebaikan yang Dia perintahkan atau keburukan yang Dia larang." Nasihat ini menggarisbawahi betapa pentingnya bagi seorang mukmin untuk memberikan perhatian penuh setiap kali seruan ini terdengar. Ia menandakan bahwa instruksi yang akan datang adalah vital bagi keimanan dan kehidupan seorang muslim.
Panggilan ini juga mengandung sebuah implikasi tanggung jawab. Dengan menyandang status "orang beriman", seseorang secara tidak langsung telah berkomitmen untuk mendengar dan taat. Keimanan bukanlah sekadar pengakuan lisan, tetapi harus dibuktikan dengan kesiapan untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Oleh karena itu, seruan ini berfungsi sebagai pengingat akan akad suci antara seorang hamba dengan Tuhannya, sebuah pengingat untuk selalu menyelaraskan perbuatan dengan keyakinan yang ada di dalam hati.
Pilar Pertama: Taqwa, Perisai Kehidupan Seorang Mukmin
Perintah pertama yang datang setelah panggilan keimanan adalah "Ittaqullāh" (Bertakwalah kepada Allah). Taqwa adalah salah satu konsep sentral dan paling fundamental dalam ajaran Islam. Ia sering kali diterjemahkan sebagai 'takut kepada Allah' atau 'kesalehan', namun maknanya jauh lebih dalam dan komprehensif.
Menggali Makna Mendalam Taqwa
Secara etimologis, kata "taqwa" berasal dari akar kata Arab wa-qa-ya, yang berarti melindungi, menjaga, atau memelihara diri dari sesuatu. Dalam konteks syariat, taqwa adalah upaya sadar seorang hamba untuk membangun perisai antara dirinya dengan murka dan azab Allah. Perisai ini dibangun dengan cara melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Ubay bin Ka'ab tentang hakikat taqwa. Ubay balik bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri?" Umar menjawab, "Tentu." Ubay bertanya lagi, "Apa yang engkau lakukan saat itu?" Umar menjawab, "Aku akan berhati-hati, menyingsingkan pakaianku, dan melangkah dengan waspada agar tidak tertusuk duri." Ubay pun berkata, "Itulah taqwa."
Analogi ini sangat indah. Kehidupan di dunia ini diibaratkan seperti jalan yang penuh duri—duri kemaksiatan, syahwat, syubhat, dan godaan duniawi. Orang yang bertakwa (muttaqin) adalah mereka yang berjalan di muka bumi ini dengan penuh kehati-hatian, kesadaran, dan kewaspadaan. Mereka senantiasa sadar akan kehadiran Allah (muraqabah), selalu waspada agar tidak tergelincir dalam perbuatan dosa yang dapat melukai iman dan mendatangkan murka-Nya.
Taqwa bukanlah sekadar ritual ibadah di masjid. Ia adalah sebuah kondisi hati yang termanifestasi dalam seluruh aspek kehidupan. Taqwa adalah ketika seseorang menahan diri dari korupsi di saat ada kesempatan. Taqwa adalah ketika seorang pedagang jujur dalam timbangannya meskipun tidak ada yang mengawasi. Taqwa adalah ketika seseorang menjaga pandangannya dari yang haram di tengah lautan fitnah. Taqwa adalah kesadaran konstan bahwa Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui, baik dalam kesendirian maupun di tengah keramaian.
Implementasi Taqwa dalam Kehidupan
Taqwa tidak dapat dicapai hanya dengan angan-angan. Ia memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan. Implementasinya mencakup tiga dimensi utama:
- Taqwa dalam Hubungan dengan Allah (Hablum Minallah): Ini adalah fondasi utama. Ia terwujud dalam ketulusan niat (ikhlas), kesempurnaan dalam ibadah wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Juga dalam memperbanyak amalan sunnah, senantiasa berdzikir, berdoa, dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah.
- Taqwa dalam Hubungan dengan Sesama Manusia (Hablum Minannas): Seorang yang bertakwa akan menjaga hak-hak orang lain. Ia akan berlaku adil, jujur, menepati janji, berbakti kepada orang tua, menyayangi keluarga, dan berbuat baik kepada tetangga. Ia tidak akan menzalimi, menipu, menggunjing, atau menyakiti orang lain, baik dengan lisan maupun perbuatannya.
- Taqwa dalam Hubungan dengan Diri Sendiri dan Lingkungan: Taqwa juga berarti menjaga diri dari hal-hal yang merusak, baik secara fisik maupun moral. Ini termasuk menjaga kesehatan, menggunakan waktu secara produktif, dan menjauhi perbuatan sia-sia. Selain itu, seorang yang bertakwa juga akan menjaga kelestarian alam sebagai bentuk syukur atas nikmat Allah dan amanah sebagai khalifah di bumi.
Pilar Kedua: Qaulan Sadida, Perkataan yang Benar dan Lurus
Setelah memerintahkan pondasi batin yaitu taqwa, Allah SWT langsung menyandingkannya dengan perintah yang bersifat lahiriah, yaitu "Wa qūlū qaulan sadīdā" (dan ucapkanlah perkataan yang benar/lurus). Penempatan kedua perintah ini secara berurutan bukanlah suatu kebetulan. Ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat dan tak terpisahkan antara kondisi hati (taqwa) dengan apa yang keluar dari lisan. Lisan adalah cerminan hati. Hati yang dipenuhi taqwa secara alami akan menghasilkan ucapan-ucapan yang baik dan benar.
Membedah Makna "Qaulan Sadida"
Kata "sadīd" dalam bahasa Arab berasal dari akar kata sadad, yang memiliki beberapa lapisan makna yang saling melengkapi. Memahami makna-makna ini akan membuka wawasan kita tentang betapa komprehensifnya perintah ini.
- Benar dan Jujur: Makna yang paling utama adalah perkataan yang sesuai dengan fakta dan realitas. Ini adalah lawan dari kebohongan (kadzib). Seorang mukmin diwajibkan untuk selalu berkata jujur dalam segala situasi, meskipun kejujuran itu mungkin terasa berat.
- Lurus dan Tidak Berbelit-belit: Qaulan sadida juga berarti perkataan yang lugas, jelas, dan tidak ambigu. Ia tidak mengandung sindiran yang menyakitkan, kode-kode yang menyesatkan, atau makna ganda yang bertujuan untuk menipu. Perkataan yang lurus adalah yang langsung pada intinya, mudah dipahami, dan tidak meninggalkan ruang untuk salah tafsir yang merugikan.
- Tepat Sasaran dan Relevan: Perkataan yang sadid adalah perkataan yang tepat pada waktu, tempat, dan kondisi yang sesuai. Ia bukan ucapan yang asal bunyi. Sebelum berbicara, seorang mukmin harus berpikir: "Apakah perkataanku ini bermanfaat? Apakah ini waktu yang tepat untuk mengucapkannya? Apakah ini akan membawa kebaikan atau justru menimbulkan masalah baru?"
- Adil dan Bijaksana: Dalam konteks memberikan kesaksian, nasihat, atau keputusan, qaulan sadida berarti perkataan yang adil, tidak memihak, dan didasarkan pada kebenaran, bukan hawa nafsu atau kepentingan pribadi. Ia adalah ucapan yang menenangkan, mendamaikan, dan memberikan solusi, bukan yang memprovokasi atau memperkeruh suasana.
Urgensi Menjaga Lisan dalam Islam
Islam menempatkan penjagaan lisan pada posisi yang sangat tinggi. Banyak sekali dalil dari Al-Quran dan Sunnah yang menekankan bahaya lisan jika tidak dikendalikan dengan iman dan takwa. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." Hadis ini memberikan dua pilihan emas bagi seorang mukmin: berbicara yang baik atau memilih diam. Diam dalam hal ini bukanlah sikap pasif, melainkan sebuah pilihan aktif yang bijaksana ketika tidak ada kebaikan yang bisa diucapkan.
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW mengingatkan Mu'adz bin Jabal tentang pentingnya menjaga lisan. Setelah menyebutkan beberapa amalan utama, beliau memegang lisannya sendiri dan berkata, "Tahanlah ini." Mu'adz bertanya, "Wahai Nabi Allah, apakah kita akan diazab karena apa yang kita ucapkan?" Beliau menjawab, "Celakalah engkau, wahai Mu'adz! Bukankah tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka di atas wajah mereka selain hasil dari lisan mereka?" Peringatan yang sangat keras ini menunjukkan bahwa lisan, meskipun merupakan organ tubuh yang kecil, memiliki daya rusak yang luar biasa jika tidak dikendalikan oleh taqwa.
Penyakit-Penyakit Lisan yang Bertentangan dengan Qaulan Sadida
Untuk memahami qaulan sadida secara utuh, kita juga perlu mengenali lawan-lawannya, yaitu penyakit-penyakit lisan yang harus dihindari oleh setiap mukmin. Beberapa di antaranya adalah:
- Al-Kadzib (Dusta): Berbohong adalah induk dari banyak keburukan. Ia merusak kepercayaan, menghancurkan hubungan, dan merupakan tanda kemunafikan.
- Al-Ghibah (Menggunjing): Yaitu membicarakan keburukan orang lain di belakangnya, meskipun hal itu benar adanya. Allah SWT mengumpamakannya seperti memakan daging bangkai saudaranya sendiri.
- An-Namimah (Adu Domba): Memindahkan ucapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk merusak hubungan di antara mereka. Perbuatan ini sangat dibenci karena ia menyulut api permusuhan dan perpecahan.
- Al-Buhtan (Fitnah): Mengatakan keburukan tentang seseorang yang tidak ada padanya. Ini adalah level yang lebih parah dari ghibah, karena menggabungkan antara ghibah dan dusta.
- As-Sukhriyah (Mencela dan Merendahkan): Mengolok-olok orang lain, baik karena penampilan fisiknya, status sosialnya, atau kekurangannya. Ini adalah bentuk kesombongan yang dapat melukai perasaan orang lain secara mendalam.
- Al-Jidal (Debat Kusir): Berdebat tanpa dasar ilmu hanya untuk menunjukkan kehebatan diri atau untuk menjatuhkan lawan bicara. Debat semacam ini hanya akan mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.
Menghindari semua penyakit lisan ini adalah bagian integral dari mengamalkan qaulan sadida. Ini adalah perjuangan harian yang membutuhkan kesadaran, kontrol diri, dan pertolongan dari Allah.
Korelasi Erat Antara Taqwa dan Qaulan Sadida
Sebagaimana telah disinggung, hubungan antara taqwa dan qaulan sadida adalah hubungan sebab-akibat. Taqwa yang bersemayam di dalam hati adalah akar yang kokoh, sedangkan qaulan sadida adalah buah manis yang tumbuh darinya. Tidak mungkin seseorang dapat secara konsisten mengucapkan perkataan yang lurus dan benar jika hatinya tidak dilandasi oleh rasa takut dan cinta kepada Allah.
Taqwa berfungsi sebagai filter internal. Sebelum seseorang berbicara, rasa takwanya akan membuatnya berpikir: "Apakah Allah ridha dengan apa yang akan aku ucapkan ini? Apakah perkataanku ini akan dicatat sebagai amal baik atau buruk oleh malaikat Raqib dan Atid?" Filter inilah yang menahan lisan dari ucapan-ucapan yang sia-sia, menyakitkan, atau mendatangkan murka Allah.
Sebaliknya, membiasakan diri untuk mengucapkan qaulan sadida juga dapat memperkuat taqwa di dalam hati. Ketika seseorang berusaha keras untuk selalu jujur, adil, dan berkata baik, ia sedang melatih jiwanya untuk tunduk pada kebenaran. Latihan lahiriah ini secara bertahap akan membentuk dan memurnikan kondisi batinnya. Keduanya saling menguatkan dalam sebuah siklus kebaikan yang berkelanjutan. Seseorang tidak bisa mengklaim dirinya bertakwa jika lisannya masih tajam, suka berdusta, dan gemar menyebar fitnah. Demikian pula, mustahil lisan bisa terjaga secara sempurna tanpa benteng takwa yang kokoh di dalam jiwa.
Buah Manis dari Taqwa dan Qaulan Sadida: Janji Allah yang Pasti
Allah SWT, dengan kemurahan-Nya, tidak hanya memberikan perintah. Setelah dua perintah utama dalam ayat 70, Allah langsung menyambungnya dengan janji balasan yang luar biasa di ayat 71 Surah Al-Ahzab. Ini adalah motivasi terkuat bagi orang-orang beriman untuk bersungguh-sungguh mengamalkan kedua pilar tersebut.
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
"Niscaya Allah akan memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah memperoleh kemenangan yang agung."
Janji Pertama: Perbaikan Amal (Yushlih Lakum A'mālakum)
Janji pertama bagi mereka yang berhasil memadukan taqwa dan qaulan sadida adalah Allah akan "memperbaiki amalan-amalan mereka". Para ulama tafsir menjelaskan frasa ini memiliki beberapa makna yang indah:
- Amal Diterima oleh Allah: Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan sesuai dengan tuntunan syariat. Taqwa memastikan keikhlasan, dan qaulan sadida (yang mencakup menuntut ilmu yang benar) akan membimbing seseorang kepada cara beramal yang benar. Dengan demikian, Allah akan menerima amal-amal mereka.
- Diberi Taufik untuk Melakukan Amal Saleh: Ketika seseorang berusaha memperbaiki hati dan lisannya, Allah akan membukakan baginya pintu-pintu kebaikan yang lain. Allah akan memberinya kemudahan, semangat, dan bimbingan (taufik) untuk terus melakukan amal saleh dan meningkatkan kualitas ibadahnya. Amal yang satu akan menarik amal baik lainnya.
- Amal Menjadi Lebih Berkualitas dan Berkah: Allah akan menjadikan amalan-amalan orang tersebut, baik yang bersifat ibadah maupun muamalah (seperti pekerjaan dan bisnis), menjadi lebih baik, lebih produktif, dan lebih berkah. Usahanya akan membuahkan hasil yang baik, dan pekerjaannya akan mendatangkan manfaat bagi dirinya dan orang lain.
Janji Kedua: Pengampunan Dosa (Wa Yaghfir Lakum Dzunūbakum)
Janji kedua adalah anugerah yang paling didambakan oleh setiap manusia: "dan mengampuni dosa-dosamu". Ini adalah kabar gembira yang luar biasa. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Tidak ada seorang pun yang luput dari dosa. Namun, dengan rahmat-Nya, Allah menjadikan taqwa dan penjagaan lisan sebagai salah satu jalan utama untuk meraih ampunan-Nya.
Ketaatan dalam menjaga lisan dari dosa-dosa besar seperti dusta dan ghibah, serta menjaga hati dengan taqwa, akan menjadi sebab diampuninya dosa-dosa kecil yang mungkin terjadi tanpa disadari. Ini sejalan dengan firman Allah di surat An-Nisa ayat 31, "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)." Taqwa dan qaulan sadida adalah manifestasi nyata dari upaya menjauhi dosa-dosa besar.
Puncak Kemenangan: Fauzan 'Azhīmā
Ayat 71 ditutup dengan sebuah kesimpulan yang menggetarkan: "Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah memperoleh kemenangan yang agung (Fauzan 'Azhīmā)." Ini adalah klimaks dari segalanya. Taqwa dan qaulan sadida adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan buah dari ketaatan total ini adalah kemenangan yang agung.
Apa itu "kemenangan yang agung"? Ia bukanlah sekadar kesuksesan duniawi seperti kekayaan, jabatan, atau popularitas, meskipun hal itu bisa saja menjadi bagian kecil darinya. Kemenangan yang agung menurut Al-Quran adalah:
- Selamat dari siksa api neraka yang pedih.
- Dimasukkan ke dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan abadi.
- Meraih ridha Allah SWT, yang merupakan puncak dari segala kenikmatan.
Inilah kesuksesan hakiki yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Kesuksesan duniawi bisa hilang dalam sekejap, tetapi kemenangan di akhirat adalah abadi. Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa jalan menuju kemenangan agung tersebut dibangun di atas fondasi ketaatan, yang pilar utamanya adalah taqwa dan perkataan yang lurus.
Refleksi di Era Modern
Di zaman modern yang serba terhubung ini, relevansi Surah Al-Ahzab ayat 70 menjadi semakin kuat dan mendesak. Ruang untuk berbicara tidak lagi terbatas pada interaksi tatap muka. Media sosial, aplikasi pesan instan, kolom komentar, dan berbagai platform digital telah menjadi mimbar global di mana setiap orang bisa menyuarakan pendapatnya.
Kondisi ini menjadi ujian berat bagi penerapan qaulan sadida. Betapa mudahnya jari-jemari mengetikkan komentar yang menyakitkan, menyebarkan berita bohong (hoax) tanpa tabayyun (klarifikasi), atau terlibat dalam perdebatan kusir yang penuh caci maki. Di balik anonimitas layar gawai, banyak orang merasa bebas untuk meninggalkan prinsip perkataan yang benar dan lurus. Di sinilah benteng taqwa harus bekerja ekstra keras. Seorang mukmin sejati akan sadar bahwa Allah Maha Mengawasi aktivitasnya di dunia maya sebagaimana di dunia nyata. Malaikat tetap mencatat setiap huruf yang diketik. Prinsip "berkata baik atau diam" berlaku sama kuatnya untuk lisan maupun tulisan.
Menerapkan qaulan sadida di era digital berarti:
- Memverifikasi informasi sebelum membagikannya.
- Menulis dengan bahasa yang sopan, konstruktif, dan tidak provokatif.
- Menghindari perdebatan yang tidak bermanfaat dan menjauhi ujaran kebencian.
- Menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebaikan, ilmu yang bermanfaat, dan pesan-pesan yang mendamaikan.
Ini adalah jihad kontemporer yang pahalanya sangat besar, karena tantangannya pun tidak ringan. Mereka yang mampu menjaga "lisan digital"-nya dengan landasan takwa adalah orang-orang yang benar-benar telah memahami dan menghayati pesan agung dari Surah Al-Ahzab ayat 70.
Kesimpulan: Sebuah Peta Jalan Menuju Kebahagiaan Abadi
Surah Al-Ahzab ayat 70, beserta ayat lanjutannya, adalah sebuah paket panduan yang lengkap dan sempurna. Ia dimulai dengan panggilan cinta kepada orang beriman, memberikan dua pilar fundamental—yaitu Taqwa sebagai fondasi batin dan Qaulan Sadida sebagai manifestasi lahiriah—dan diakhiri dengan janji balasan yang tak ternilai: perbaikan amal, pengampunan dosa, dan kemenangan yang agung.
Ayat ini mengajarkan kita bahwa kesalehan sejati adalah kesalehan yang integral, di mana kebersihan hati (taqwa) tercermin dalam kebersihan lisan. Keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu ketaatan. Barangsiapa yang mampu menggenggam erat kedua prinsip ini dalam setiap langkah kehidupannya, ia sesungguhnya tengah meniti jalan lurus menuju kesuksesan sejati. Ia sedang membangun istananya di surga, batu bata demi batu bata, dengan setiap detak jantung yang berlandaskan takwa dan setiap kata yang diucapkan dengan penuh kebenaran dan kebijaksanaan. Inilah warisan terindah dan investasi terbaik yang bisa dilakukan oleh seorang hamba untuk dunianya dan, yang lebih penting, untuk akhiratnya.