Di tengah hiruk pikuk teknologi modern yang mampu mengirimkan pesan instan ke seluruh penjuru dunia, masih tersisa jejak-jejak kearifan lokal yang tak ternilai harganya. Salah satu warisan budaya Indonesia yang berperan penting dalam sejarah komunikasi adalah bedug. Lebih dari sekadar alat musik perkusi, bedug telah lama menjadi elemen vital dalam kehidupan masyarakat, khususnya di lingkungan keagamaan dan sosial. Suaranya yang menggelegar bukan hanya mengiringi ritual, tetapi juga berfungsi sebagai pengumandang informasi, pemberi peringatan, dan penanda waktu yang tak tergantikan.
Bedug adalah sebuah gendang besar yang terbuat dari batang pohon yang dilubangi, biasanya bagian tengahnya. Kulit yang direntangkan di kedua sisinya, atau hanya di satu sisi tergantung jenisnya, memberikan resonansi suara yang mendalam dan kuat. Alat musik tradisional ini umumnya ditemukan di masjid-masjid dan mushola di seluruh penjuru Nusantara. Sejak zaman dahulu, fungsi utamanya adalah untuk memberikan panggilan shalat, yaitu adzan dan iqomah. Namun, di luar panggilan shalat, bedug memiliki peran multifungsi yang menjadikannya sebagai alat komunikasi yang efektif pada masanya.
Sebagai alat komunikasi, bedug memiliki ragam fungsi yang sangat penting. Pertama dan utama, bedug berfungsi sebagai penanda waktu. Bunyi bedug secara teratur, seperti menjelang waktu shalat Maghrib atau Isya, secara otomatis memberi tahu masyarakat bahwa waktu ibadah telah tiba. Tanpa jam tangan atau alat penunjuk waktu modern, suara bedug menjadi acuan utama bagi banyak orang untuk mengatur aktivitas harian mereka, terutama yang berkaitan dengan kewajiban agama.
Selain penanda waktu, bedug juga merupakan alat pemberi peringatan. Di masa lalu, sebelum adanya sistem komunikasi massa seperti radio atau telepon, bedug digunakan untuk mengumumkan berita penting kepada seluruh warga desa. Misalnya, jika ada tamu agung yang datang, bencana alam yang mengancam, atau peristiwa penting lainnya, bedug akan ditabuh berulang kali dengan irama tertentu untuk menarik perhatian dan menyampaikan pesan kepada masyarakat luas. Cara ini sangat efektif untuk menyebarkan informasi dengan cepat dan merata dalam skala lokal.
Lebih jauh lagi, bedug juga memiliki peran dalam mengorganisir kegiatan sosial. Dalam beberapa tradisi, bedug ditabuh untuk mengumpulkan warga pada acara-acara tertentu, seperti kerja bakti, musyawarah desa, atau perayaan hari besar. Suaranya yang khas dan jangkauannya yang luas memastikan bahwa seluruh anggota masyarakat dapat berkumpul dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Dengan demikian, bedug tidak hanya menjadi alat komunikasi satu arah, tetapi juga menjadi perekat sosial yang mempererat tali persaudaraan antarwarga.
Pembuatan bedug sendiri merupakan sebuah seni tersendiri. Pemilihan kayu yang tepat, proses pengeringan, hingga penempatan kulit hewan yang ideal memerlukan keahlian khusus. Ukuran bedug pun bervariasi, dari yang berukuran sedang hingga yang sangat besar, seperti bedug Raksasa di Masjid Agung Demak atau bedug di Masjid Istiqlal Jakarta, yang menjadi ikon kebanggaan nasional. Semakin besar bedug, semakin kuat dan jauh pula suara yang dihasilkan, memperluas jangkauan informasinya.
Di beberapa daerah, cara menabuh bedug pun memiliki makna tersendiri. Irama yang berbeda bisa mengkomunikasikan pesan yang berbeda pula. Misalnya, tabuhan yang cepat bisa menandakan sesuatu yang mendesak, sementara tabuhan yang lebih lambat dan teratur menandakan waktu ibadah atau pengumuman biasa. Variasi ini menunjukkan bahwa bedug, meskipun sederhana, memiliki bahasa komunikasinya sendiri yang dipahami oleh masyarakat pendengarnya.
Keberadaan bedug di masjid bukan hanya sebagai instrumen ibadah, melainkan juga sebagai simbol identitas dan kebersamaan umat. Suara bedug yang menggema di pagi, siang, dan sore hari menjadi pengingat konstan akan keberadaan Tuhan dan tanggung jawab spiritual bagi setiap individu. Ia menghubungkan generasi tua yang terbiasa mendengarkan suaranya, dengan generasi muda yang mungkin baru mengenalnya melalui cerita atau kunjungan ke masjid.
Di era modern yang didominasi oleh perangkat digital, peran bedug sebagai alat komunikasi utama memang telah bergeser. Panggilan shalat kini sering kali dibantu oleh pengeras suara elektronik yang suaranya bisa diatur dan disiarkan lebih luas. Pengumuman penting lebih efektif disampaikan melalui aplikasi pesan instan, media sosial, atau pengeras suara publik. Namun, hal ini tidak berarti bedug kehilangan nilainya.
Justru di sinilah letak tantangan kelestariannya. Bedug kini lebih banyak diposisikan sebagai alat musik tradisional, pengisi acara keagamaan, atau bahkan sebagai objek wisata budaya. Namun, esensi komunikatifnya masih dapat dirasakan. Bunyi bedug masih menjadi penanda spiritual yang kuat, pengingat tradisi, dan penguat identitas lokal. Upaya pelestarian bedug tidak hanya sebatas menjaga keberadaan fisiknya, tetapi juga menjaga pemahaman masyarakat tentang fungsi historis dan budayanya.
Mengajarkan generasi muda tentang cara membuat, merawat, dan menabuh bedug, serta menceritakan kisah-kisah di baliknya, merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa warisan berharga ini tidak terlupakan. Bedug adalah bukti nyata bahwa komunikasi tidak selalu membutuhkan teknologi canggih. Dengan kepekaan terhadap suara, irama, dan konteks, sebuah alat sederhana pun dapat menjadi penyampai pesan yang efektif dan bermakna mendalam bagi sebuah komunitas. Bedug adalah cermin kearifan lokal yang terus bergaung, mengajarkan kita untuk tetap terhubung dengan akar budaya di tengah kemajuan zaman.