Alhamdulillah 'ala Ni'matil Islam
Di antara jutaan kalimat yang meluncur dari lisan manusia setiap harinya, ada satu ungkapan yang sarat akan makna, kedalaman, dan pengakuan yang tulus dari lubuk hati seorang hamba. Ungkapan itu adalah "Alhamdulillah 'ala ni'matil Islam". Segala puji bagi Allah atas nikmat Islam. Kalimat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah proklamasi syukur atas anugerah terbesar yang bisa diterima oleh seorang insan. Ia adalah permata di antara segala karunia, cahaya di tengah kegelapan, dan kompas di lautan kehidupan yang penuh ketidakpastian.
Seringkali, dalam kesibukan duniawi, kita mensyukuri hal-hal yang tampak nyata dan bisa diukur: kesehatan, rezeki, keluarga, pekerjaan, dan berbagai pencapaian materi. Semua itu memang nikmat yang patut disyukuri. Namun, kita terkadang lupa pada pondasi dari segala nikmat tersebut, yaitu nikmat Islam. Nikmat ini begitu agung, begitu fundamental, sehingga tanpanya, nikmat-nikmat lain akan kehilangan makna sejatinya dan hanya menjadi hiasan fana yang akan sirna seiring berjalannya waktu.
Makna Hakiki di Balik Nikmat Terbesar
Untuk memahami betapa besarnya nikmat Islam, kita perlu merenung lebih dalam. Islam bukan sekadar label identitas atau warisan budaya dari orang tua. Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang paripurna, sebuah panduan lengkap dari Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Ia adalah tali Allah yang kuat, yang barangsiapa berpegang teguh padanya, ia tidak akan pernah tersesat.
Nikmat Tauhid: Pembebasan dari Segala Bentuk Penghambaan
Inti dari ajaran Islam adalah Tauhid, yaitu mengesakan Allah. Ini adalah nikmat pembebasan yang paling fundamental. Sebelum Islam datang, manusia menghamba pada banyak hal: pada berhala yang mereka pahat sendiri, pada penguasa yang zalim, pada hawa nafsu yang tak terkendali, pada harta benda yang memperbudak, dan pada berbagai takhayul yang membelenggu akal. Islam datang untuk membebaskan manusia dari semua itu. Dengan meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan yang berhak disembah, yaitu Allah, manusia mengangkat derajatnya. Ia tidak lagi tunduk pada sesama makhluk, tidak lagi takut pada kekuatan selain kekuatan Allah, dan tidak lagi diperbudak oleh keinginan duniawi yang tiada habisnya. Jiwanya menjadi merdeka, hatinya menjadi tenteram, karena ia hanya bersandar pada Dzat Yang Maha Kuat dan Maha Abadi.
"Katakanlah: 'Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia'."
Ayat ini adalah deklarasi kemerdekaan jiwa. Ketika hati telah terpaut hanya kepada Allah, segala urusan dunia menjadi kecil di hadapannya. Ia sadar bahwa segala kekuatan, kekayaan, dan kekuasaan di alam semesta ini berada dalam genggaman-Nya. Ini adalah sumber ketenangan yang tidak akan pernah bisa dibeli dengan materi sebanyak apapun.
Nikmat Hidayah: Cahaya di Tengah Ketidaktahuan
Bayangkan seseorang berjalan di tengah malam yang gelap gulita, di sebuah hutan belantara yang penuh dengan jurang dan binatang buas. Tanpa cahaya, setiap langkah adalah pertaruhan antara hidup dan mati. Ia tidak tahu arah, tidak tahu tujuan, dan tidak tahu bahaya apa yang mengintai. Itulah perumpamaan kehidupan manusia tanpa hidayah (petunjuk) dari Allah.
Islam adalah cahaya itu. Ia adalah petunjuk yang menerangi jalan hidup kita. Melalui Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah memberikan kita peta yang jelas. Kita diberitahu dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup di dunia ini, dan ke mana kita akan kembali. Islam menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang membingungkan para filsuf selama berabad-abad:
- Tujuan Hidup: Islam menegaskan bahwa tujuan hidup kita adalah untuk beribadah kepada Allah, bukan sekadar untuk makan, minum, dan bersenang-senang. Ini memberikan arah dan makna yang mendalam pada setiap detik kehidupan kita.
- Standar Baik dan Buruk: Islam memberikan standar moral yang absolut dan tidak lekang oleh waktu. Apa yang baik dan buruk tidak ditentukan oleh opini publik yang berubah-ubah atau oleh hawa nafsu, melainkan oleh wahyu dari Yang Maha Bijaksana. Ini memberikan stabilitas dan kepastian dalam berperilaku.
- Panduan Menghadapi Masalah: Islam mengajarkan kita bagaimana menghadapi ujian dengan sabar, dan bagaimana menyikapi nikmat dengan syukur. Ia memberikan kerangka mental yang kokoh untuk melewati pasang surut kehidupan, sehingga seorang muslim tidak akan putus asa saat ditimpa musibah dan tidak akan sombong saat diberi kelapangan.
Tanpa petunjuk ini, manusia akan tersesat dalam pencarian makna, terombang-ambing oleh berbagai ideologi dan isme yang saling bertentangan, dan pada akhirnya berakhir dalam kehampaan spiritual. Alhamdulillah atas nikmat hidayah yang membuat hidup kita memiliki tujuan dan arah yang jelas.
Manifestasi Nikmat Islam dalam Kehidupan Sehari-hari
Nikmat Islam bukanlah sebuah konsep abstrak yang hanya ada dalam kitab-kitab. Ia adalah anugerah yang terasa nyata dalam setiap aspek kehidupan kita, dari hal-hal yang paling sepele hingga yang paling fundamental. Kesadaran akan nikmat ini akan membuat kita semakin mensyukurinya.
Ketenangan Jiwa (Sakinah) yang Tak Ternilai
Di era modern yang serba cepat dan penuh tekanan, banyak orang mencari ketenangan jiwa. Mereka mencarinya melalui meditasi, yoga, liburan mewah, atau bahkan obat-obatan penenang. Namun, seringkali ketenangan yang didapat hanyalah sementara dan dangkal. Islam menawarkan sumber ketenangan yang sejati dan abadi, yang berasal dari hubungan langsung dengan Sang Pencipta.
Ketika seorang muslim mendirikan shalat, ia sedang berdialog dengan Rabb-nya. Ia melepaskan semua beban duniawinya dan menumpahkan segala keluh kesahnya kepada Dzat Yang Maha Mendengar. Dalam sujudnya, ia merasakan kedekatan yang luar biasa, sebuah perasaan bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi dunia. Saat ia membaca Al-Qur'an, hatinya disirami oleh firman-firman Allah yang menyejukkan. Saat ia berdzikir, mengingat Allah, hatinya menjadi tenteram.
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."
Inilah janji Allah yang pasti. Ketenangan ini tidak bergantung pada kondisi eksternal. Seorang muslim bisa saja miskin harta, namun kaya jiwa. Ia bisa saja menghadapi ujian berat, namun hatinya tetap kokoh karena bersandar pada Allah. Ini adalah nikmat yang tidak dapat diukur dengan materi, sebuah kekayaan batin yang membuat iri mereka yang memilikinya.
Nikmat Ukhuwwah Islamiyyah: Persaudaraan yang Melintasi Batas
Islam mengikat pemeluknya dalam sebuah ikatan persaudaraan (ukhuwwah) yang unik dan kuat. Ikatan ini tidak didasarkan pada kesamaan suku, bangsa, warna kulit, atau status sosial. Ia didasarkan pada pondasi yang paling kokoh, yaitu aqidah yang sama. Seorang muslim di Indonesia merasakan persaudaraan dengan seorang muslim di Afrika, Eropa, atau Amerika, meskipun mereka tidak pernah bertemu dan tidak berbicara dalam bahasa yang sama.
Persaudaraan ini termanifestasi dalam banyak hal. Dalam shalat berjamaah, seorang direktur perusahaan berdiri bahu-membahu dengan seorang petugas kebersihan, sama-sama menghadap Allah. Saat ada saudara muslim yang tertimpa musibah, yang lain tergerak untuk membantu. Ajaran tentang hak-hak tetangga, kewajiban menyantuni anak yatim dan fakir miskin, serta anjuran untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, semuanya memperkuat jalinan ukhuwwah ini.
Di dunia yang semakin individualistis dan terpecah belah oleh nasionalisme sempit dan rasisme, nikmat persaudaraan universal dalam Islam adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Ia adalah jaring pengaman sosial dan spiritual yang membuat seorang muslim merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga besar yang saling peduli dan saling menguatkan.
Nikmat Syariat: Tatanan Hidup yang Adil dan Seimbang
Kata "syariat" seringkali disalahpahami dan digambarkan secara negatif. Padahal, syariat Islam adalah nikmat yang luar biasa. Ia adalah hukum dan aturan yang Allah turunkan untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariat mengatur semua aspek kehidupan, mulai dari ibadah, muamalah (interaksi sosial), hukum keluarga, hingga etika bisnis dan pemerintahan, dengan tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, seimbang, dan sejahtera.
Misalnya, dalam ekonomi, Islam melarang riba yang menindas dan mendorong zakat, infak, serta sedekah yang mendistribusikan kekayaan. Dalam hukum keluarga, Islam menjaga kehormatan perempuan, melindungi hak-hak anak, dan menetapkan peran serta tanggung jawab yang jelas bagi suami dan istri untuk membangun keluarga yang sakinah. Dalam hukum pidana (jinayat), tujuannya adalah untuk menjaga lima hal pokok (maqashid syariah): menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Syariat bukanlah belenggu, melainkan pagar pelindung yang menjaga manusia dari kerusakan yang disebabkan oleh hawa nafsunya sendiri. Ia adalah sistem operasi kehidupan yang dirancang oleh Sang Pencipta, yang tentu lebih tahu tentang "mesin" ciptaan-Nya daripada manusia itu sendiri. Ketika aturan ini dijalankan dengan benar, hasilnya adalah masyarakat yang teratur, aman, dan penuh berkah.
Bagaimana Cara Mensyukuri Nikmat Islam?
Mengucapkan "Alhamdulillah" dengan lisan adalah langkah pertama dan penting. Namun, syukur yang sejati tidak berhenti di situ. Syukur atas nikmat Islam harus diwujudkan dalam tiga pilar utama: pengakuan dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan pembuktian dengan perbuatan.
Syukur dengan Hati: Keyakinan yang Mendalam
Syukur dengan hati berarti meyakini dengan sepenuh jiwa bahwa Islam adalah satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan. Hati kita harus dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, serta cinta kepada ajaran Islam itu sendiri. Kita harus merasa bangga menjadi seorang muslim, tanpa rasa rendah diri atau minder di hadapan ideologi lain. Keyakinan ini harus tertanam kuat, tidak goyah oleh syubhat (kerancuan pemikiran) atau syahwat (godaan hawa nafsu). Kita harus senantiasa berdoa kepada Allah agar hati kita diteguhkan di atas agama-Nya, karena hidayah adalah milik-Nya semata.
Syukur dengan Lisan: Mengakui dan Mendakwahkan
Selain mengucapkan hamdalah, syukur dengan lisan juga berarti membicarakan keagungan Islam. Menceritakan keindahan ajarannya kepada keluarga, teman, dan masyarakat. Mengajak orang lain kepada kebaikan (amar ma'ruf) dan mencegah mereka dari kemungkaran (nahi munkar) dengan cara yang bijaksana adalah bagian dari mensyukuri nikmat hidayah. Lisan yang senantiasa basah dengan dzikir, tilawah Al-Qur'an, dan ucapan-ucapan yang baik adalah cerminan dari hati yang bersyukur.
Syukur dengan Perbuatan: Mengamalkan dan Memperjuangkan
Inilah puncak dari rasa syukur. Mensyukuri nikmat Islam berarti menjalankan ajaran-ajarannya dengan sebaik-baiknya. Kita tidak bisa mengaku bersyukur atas nikmat shalat jika kita masih sering meninggalkannya. Kita tidak bisa mengaku bersyukur atas nikmat Al-Qur'an jika kita jarang membacanya, apalagi memahaminya. Syukur yang sejati adalah dengan menjadikan seluruh hidup kita sebagai cerminan dari nilai-nilai Islam.
- Mempelajari Islam: Kita harus bersemangat untuk terus menuntut ilmu agama. Semakin kita paham tentang Islam, semakin kita akan menyadari keagungannya, dan semakin kita akan bersyukur.
- Mengamalkan Ibadah: Menjaga shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menunaikan zakat, dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya dengan ikhlas dan sesuai tuntunan.
- Meneladani Akhlak Rasulullah: Menjadi pribadi yang jujur, amanah, pemaaf, sabar, dan berbuat baik kepada sesama makhluk adalah bukti nyata dari keislaman kita.
- Menggunakan Nikmat untuk Ketaatan: Menggunakan kesehatan untuk beribadah, menggunakan harta untuk bersedekah, dan menggunakan ilmu untuk menyebarkan kebaikan. Inilah esensi dari syukur.
Renungan Penutup: Jangan Sampai Nikmat Ini Tercabut
Nikmat Islam adalah anugerah yang paling berharga. Namun, seperti semua nikmat lainnya, ia bisa saja dicabut oleh Allah jika kita tidak mensyukurinya. Betapa banyak orang yang lahir dalam keluarga muslim, namun hidupnya jauh dari nilai-nilai Islam, hingga akhirnya ia kehilangan nikmat iman itu sendiri. Na'udzubillahi min dzalik.
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa merenung. Setiap pagi saat kita membuka mata, setiap malam saat kita hendak beristirahat, sadarilah bahwa kita masih diberi kesempatan untuk hidup sebagai seorang muslim. Ini bukanlah hal yang sepele. Ini adalah nikmat yang tidak Allah berikan kepada semua orang. Di antara miliaran manusia di muka bumi, kita terpilih untuk menerima cahaya petunjuk ini.
Maka, jangan pernah lelah untuk mengucapkan dengan penuh penghayatan dari lubuk hati yang paling dalam: "Alhamdulillah 'ala ni'matil Islam wa kafa biha ni'mah". Segala puji bagi Allah atas nikmat Islam, dan cukuplah ia sebagai sebuah nikmat. Semoga kita semua bisa menjaga nikmat terbesar ini hingga akhir hayat, dan dikumpulkan kembali di surga-Nya kelak dalam keadaan sebagai orang-orang yang berserah diri.