Alhamdulillah 'Ala Ni'matil Iman Wal Islam
Segala puji bagi Allah atas nikmat iman dan Islam. Sebuah kalimat yang ringan di lisan, namun sarat akan makna yang begitu dalam dan fundamental bagi kehidupan seorang hamba.
Dalam hiruk pikuk kehidupan dunia, di tengah derasnya arus informasi dan godaan materi, seringkali kita lupa akan esensi dari anugerah terbesar yang telah Allah titipkan dalam diri kita. Kita sibuk menghitung nikmat yang terlihat oleh mata—harta yang melimpah, jabatan yang tinggi, kesehatan yang prima, keluarga yang harmonis. Semua itu memang nikmat yang patut disyukuri. Namun, ada dua nikmat yang menjadi pondasi dan mahkota dari segala nikmat lainnya, yang tanpanya semua nikmat duniawi menjadi tak berarti. Itulah nikmat iman dan nikmat Islam.
Mengucapkan "Alhamdulillah 'ala ni'matil iman wal islam" bukan sekadar rutinitas lisan atau pengakuan sambil lalu. Ia adalah sebuah deklarasi kesadaran, sebuah perenungan mendalam yang lahir dari hati yang mengerti betapa berharganya hidayah. Ia adalah pengakuan bahwa di antara miliaran manusia di muka bumi, kita terpilih untuk merasakan manisnya beriman kepada Allah dan indahnya berserah diri dalam naungan Islam.
Membedah Makna di Balik Kalimat Agung
Untuk benar-benar meresapi kedalaman syukur ini, mari kita pecah kalimat agung ini menjadi bagian-bagiannya. Setiap kata di dalamnya adalah lautan ilmu dan hikmah yang tak akan pernah kering untuk diselami.
Alhamdulillah: Puncak Segala Pujian
Kata "Alhamdulillah" seringkali diterjemahkan sebagai "Segala puji bagi Allah". Namun, maknanya jauh lebih dalam. Gabungan "Al" (penentu segala) dengan "hamd" (pujian) mengandung arti bahwa segala bentuk pujian, dari sumber manapun, pada hakikatnya hanya bermuara dan pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ketika kita memuji keindahan alam, kecerdasan seseorang, atau kelezatan makanan, secara esensial kita sedang memuji Sang Pencipta keindahan, Sang Pemberi kecerdasan, dan Sang Pemberi rezeki. "Alhamdulillah" adalah pengakuan total atas keagungan, kesempurnaan, dan kemurahan Allah yang tiada tara. Ini adalah gerbang pertama untuk memasuki kesadaran akan nikmat-Nya.
'Ala Ni'mati: Di Atas Anugerah
Kata "Ni'mah" atau "Nikmat" berarti anugerah, karunia, atau pemberian yang baik. Allah berfirman dalam Al-Qur'an, "Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya." (QS. Ibrahim: 34). Ini menunjukkan betapa tak terhingga nikmat yang telah kita terima. Ada nikmat yang tampak (zahir) seperti kesehatan fisik, pancaindra yang berfungsi, dan rezeki yang cukup. Ada pula nikmat yang tak tampak (batin) seperti ketenangan jiwa, akal yang sehat, dan yang paling utama dari semuanya adalah hidayah.
Nikmat duniawi, sebesar apapun, bersifat fana dan terbatas. Kesehatan bisa berganti sakit, kekayaan bisa lenyap, dan jabatan bisa berakhir. Namun, ada nikmat yang nilainya abadi, melintasi batas-batas kehidupan dunia hingga ke akhirat.
Al-Iman: Cahaya dalam Kegelapan
Inilah inti dari nikmat batin yang paling agung. Iman adalah keyakinan yang tertancap kokoh di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Iman bukanlah sekadar pengetahuan atau pengakuan intelektual. Ia adalah cahaya yang menerangi jalan hidup, kompas yang menunjukkan arah di tengah kebingungan, dan sauh yang menenangkan jiwa di tengah badai cobaan. Tanpa iman, manusia akan tersesat dalam kegelapan, hidup tanpa tujuan yang jelas, dan jiwanya akan rapuh di hadapan ujian dunia.
Rukun Iman yang menjadi pilar keyakinan ini adalah pondasi worldview seorang muslim, yang membentuk cara pandangnya terhadap segala sesuatu:
- Iman kepada Allah: Ini adalah fondasi utama. Percaya akan keesaan-Nya (Tauhid), bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Dia. Mengimani sifat-sifat-Nya yang sempurna (Asma'ul Husna), bahwa Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Keyakinan ini membebaskan manusia dari perbudakan kepada makhluk dan menumbuhkan rasa damai karena bersandar hanya kepada Sang Pencipta.
- Iman kepada Malaikat-Nya: Meyakini keberadaan makhluk gaib yang diciptakan dari cahaya, yang senantiasa taat menjalankan perintah Allah. Ini mengajarkan kita bahwa ada dimensi kehidupan lain di luar jangkauan indra kita dan menumbuhkan rasa muraqabah (merasa diawasi), karena ada malaikat pencatat amal yang tidak pernah lalai.
- Iman kepada Kitab-kitab-Nya: Percaya bahwa Allah telah menurunkan wahyu sebagai petunjuk bagi umat manusia melalui para rasul-Nya. Mengimani Taurat, Zabur, Injil, dan kitab suci lainnya dalam bentuk aslinya, serta meyakini bahwa Al-Qur'an adalah kitab terakhir yang sempurna, terjaga keasliannya, dan menjadi pedoman hidup hingga akhir zaman.
- Iman kepada Rasul-rasul-Nya: Mengakui dan membenarkan bahwa Allah telah mengutus manusia-manusia pilihan untuk menyampaikan risalah-Nya. Mengimani para nabi dan rasul, dari Adam hingga Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai teladan terbaik bagi umat manusia.
- Iman kepada Hari Akhir: Keyakinan penuh bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sementara dan akan ada kehidupan abadi setelah kematian. Meyakini adanya hari kebangkitan, padang mahsyar, hisab (perhitungan amal), mizan (timbangan), surga, dan neraka. Iman ini menjadi motivator terkuat untuk berbuat baik dan pengendali terampuh untuk menjauhi keburukan.
- Iman kepada Qadha dan Qadar: Percaya pada takdir Allah, baik yang tampak baik maupun buruk bagi kita. Ini menumbuhkan ketabahan saat ditimpa musibah dan kerendahan hati saat mendapat kesenangan. Hati menjadi lapang, karena yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas izin dan hikmah dari Allah Yang Maha Bijaksana.
Wal-Islam: Jalan Keselamatan dan Penyerahan Diri
Jika iman adalah keyakinan di dalam hati, maka Islam adalah manifestasi dari keyakinan tersebut dalam bentuk penyerahan diri total kepada Allah. Kata "Islam" berasal dari akar kata "salima" yang berarti damai, selamat, dan berserah diri. Menjadi seorang muslim berarti secara sadar dan sukarela menyerahkan seluruh kehendak, aturan hidup, dan tujuan hidupnya kepada aturan dan kehendak Allah. Islam adalah sistem kehidupan yang komprehensif, sebuah cetak biru untuk mencapai kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.
Penyerahan diri ini diwujudkan melalui pilar-pilar utama yang dikenal sebagai Rukun Islam:
- Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat: "Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah." Ini adalah gerbang utama menuju Islam. Sebuah ikrar suci yang menyatakan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Syahadat adalah komitmen seumur hidup untuk mentauhidkan Allah dan mengikuti sunnah Rasul-Nya.
- Mendirikan Shalat: Tiang agama dan wujud komunikasi langsung seorang hamba dengan Rabb-nya. Lima kali sehari, seorang muslim menghentikan segala aktivitas duniawinya untuk menghadap Allah, memuji-Nya, memohon ampunan, dan meminta petunjuk. Shalat adalah sumber ketenangan, pencegah perbuatan keji dan mungkar, serta pengingat konstan akan tujuan hidup.
- Membayar Zakat: Bentuk ibadah sosial yang membersihkan harta dan jiwa. Zakat mengajarkan empati, kepedulian, dan pemerataan ekonomi. Ia mengingatkan bahwa sebagian dari harta yang kita miliki adalah hak bagi mereka yang membutuhkan, dan bahwa kekayaan adalah amanah dari Allah yang harus didistribusikan.
- Berpuasa di Bulan Ramadhan: Latihan spiritual tahunan untuk menempa ketakwaan, kesabaran, dan pengendalian diri. Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan lisan, pandangan, dan hawa nafsu dari hal-hal yang dilarang. Ia mengajarkan kita untuk merasakan penderitaan kaum fakir dan meningkatkan rasa syukur.
- Menunaikan Haji bagi yang Mampu: Puncak perjalanan spiritual seorang muslim. Haji adalah simbol persatuan umat Islam dari seluruh dunia, menanggalkan segala atribut status sosial dan duniawi, serta kembali fitrah di hadapan Allah. Setiap ritual haji sarat dengan makna sejarah dan simbolisme ketundukan total kepada Sang Pencipta.
Mengapa Iman dan Islam adalah Nikmat Terbesar?
Setelah memahami makna iman dan Islam, pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa keduanya disebut sebagai nikmat yang paling agung, melebihi kesehatan, kekayaan, dan segala kenikmatan duniawi lainnya?
1. Memberikan Tujuan dan Arah Hidup yang Jelas
Manusia modern seringkali terjebak dalam krisis eksistensial. Mereka bertanya, "Untuk apa aku hidup? Apa tujuan dari semua ini?" Tanpa panduan wahyu, jawaban yang mereka temukan seringkali dangkal dan materialistis, yang pada akhirnya membawa pada kehampaan. Iman dan Islam memberikan jawaban yang paling memuaskan dan fundamental. Kita hidup untuk beribadah kepada Allah (QS. Adz-Dzariyat: 56). Hidup ini adalah ladang untuk beramal, dan tujuannya adalah meraih ridha Allah dan kebahagiaan abadi di akhirat. Dengan tujuan ini, setiap detik kehidupan menjadi bermakna. Bekerja menjadi ibadah, belajar menjadi ibadah, bahkan tidur pun bisa bernilai ibadah jika diniatkan untuk mengumpulkan energi agar bisa lebih baik dalam beribadah kepada-Nya.
2. Sumber Ketenangan Jiwa (Sakinah) yang Hakiki
Dunia penuh dengan ketidakpastian, kecemasan, dan tekanan. Banyak orang mencari ketenangan pada harta, hiburan, atau bahkan obat-obatan terlarang, namun yang mereka temukan hanyalah ketenangan semu dan sementara. Iman kepada Allah adalah sumber ketenangan yang sejati. Allah berfirman, "Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28). Ketika hati terhubung dengan Yang Maha Kuasa, ia tidak akan mudah goyah oleh badai kehidupan. Keyakinan pada takdir membuat jiwa tegar menghadapi cobaan dan bersyukur saat menerima anugerah.
3. Fondasi Akhlak dan Karakter yang Mulia
Islam bukan hanya tentang ritual ibadah, tetapi juga tentang pembentukan karakter. Iman menanamkan dalam diri seorang muslim nilai-nilai luhur seperti kejujuran, amanah, keadilan, kasih sayang, kesabaran, dan kedermawanan. Seorang mukmin sejati akan berusaha meneladani akhlak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Iman menjadi rem internal yang mencegahnya dari berbuat zalim, menipu, atau menyakiti orang lain, bukan karena takut pada hukum manusia, tetapi karena takut pada pengawasan Allah Yang Maha Melihat.
4. Penyelamat dari Kehancuran Dunia dan Akhirat
Banyak sistem nilai buatan manusia yang terbukti gagal dan membawa pada kerusakan, baik pada level individu maupun masyarakat. Aturan-aturan Islam, yang bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui, adalah jaminan keselamatan. Larangan riba, zina, khamr (minuman keras), dan lain-lain, terbukti secara ilmiah dan sosial membawa kebaikan dan mencegah kerusakan. Lebih dari itu, nikmat iman dan Islam adalah satu-satunya tiket untuk keselamatan di akhirat. Tanpa iman, amal kebaikan sebanyak apapun di dunia tidak akan bernilai di sisi Allah untuk mendapatkan surga-Nya. Inilah nikmat yang menentukan nasib abadi kita.
Bagaimana Mewujudkan Syukur atas Nikmat Iman dan Islam?
Mengucapkan "Alhamdulillah" adalah langkah awal, tetapi syukur yang sejati harus dimanifestasikan dalam tiga tingkatan: syukur dengan hati, syukur dengan lisan, dan syukur dengan perbuatan.
1. Syukur dengan Hati (Syukr bil Qalb)
Ini adalah fondasinya. Syukur dengan hati berarti meyakini dan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat iman dan Islam ini adalah murni karunia dan rahmat dari Allah. Bukan karena kecerdasan kita, bukan karena keturunan kita, dan bukan pula karena usaha kita semata. Banyak orang yang lebih cerdas dan lebih kaya dari kita, namun tidak diberi hidayah. Kesadaran ini akan melahirkan rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan kerendahan hati, serta rasa takut jika nikmat agung ini suatu saat dicabut oleh-Nya. Hati yang bersyukur akan selalu berbaik sangka kepada Allah dalam setiap keadaan.
2. Syukur dengan Lisan (Syukr bil Lisan)
Ini adalah ekspresi dari syukur di hati. Lisan yang bersyukur akan senantiasa basah dengan dzikir, tahmid (mengucap Alhamdulillah), dan tasbih. Ia akan menggunakan lisannya untuk membicarakan keagungan Allah, mempelajari dan mengajarkan Al-Qur'an, berdakwah dengan hikmah, serta menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Lisan tersebut akan dijaga dari perkataan dusta, ghibah (menggunjing), dan perkataan sia-sia yang dapat mengotori nikmat iman.
3. Syukur dengan Perbuatan (Syukr bil Jawarih)
Ini adalah pembuktian tertinggi dari rasa syukur. Syukur dengan perbuatan berarti menggunakan seluruh anggota tubuh dan potensi yang Allah berikan untuk taat kepada-Nya. Wujudnya antara lain:
- Meningkatkan Kualitas Ibadah: Melaksanakan shalat dengan khusyuk dan tepat waktu, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Memperbanyak amalan sunnah sebagai bentuk cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
- Mempelajari Agama dengan Sungguh-sungguh: Rasa syukur atas nikmat Islam mendorong kita untuk ingin lebih mengenalnya. Kita akan bersemangat untuk belajar Al-Qur'an, hadits, dan ilmu-ilmu syar'i lainnya agar ibadah kita didasari oleh ilmu, bukan sekadar ikut-ikutan.
- Menjaga Nikmat Iman dari Perusak: Iman bisa bertambah dan berkurang. Syukur atasnya berarti kita harus menjaganya dari hal-hal yang dapat melemahkannya, seperti perbuatan maksiat, syubhat (keraguan), dan berteman dengan orang-orang yang dapat menjauhkan kita dari Allah.
- Mengamalkan Islam secara Kaffah (Menyeluruh): Menjadikan Islam sebagai panduan dalam seluruh aspek kehidupan, tidak hanya di masjid. Islam harus tercermin dalam cara kita berbisnis, berkeluarga, bertetangga, dan berinteraksi dengan masyarakat.
- Menjadi Cerminan Keindahan Islam: Wujud syukur terbesar adalah menjadi duta Islam yang baik melalui akhlak kita. Ketika orang lain melihat kejujuran, kebaikan, dan kedamaian dalam diri kita, mereka akan tertarik pada keindahan Islam.
Penutup: Renungan untuk Jiwa
Mari kita berhenti sejenak dari kesibukan dunia. Pejamkan mata dan tanyakan pada diri sendiri: "Sudahkah aku benar-benar mensyukuri nikmat iman dan Islam hari ini?" Nikmat ini bukanlah sesuatu yang statis. Ia adalah anugerah yang harus terus-menerus dipupuk dengan ilmu dan amal, disirami dengan dzikir dan doa, agar ia tumbuh subur dan kokoh di dalam jiwa.
Setiap kali kita melihat atau mendengar berita tentang orang-orang yang hidup dalam kebingungan, kekosongan spiritual, atau tersesat dalam keyakinan yang batil, seharusnya hati kita bergetar seraya berucap, "Alhamdulillah 'ala ni'matil iman wal islam". Sungguh, Allah telah memilih kita untuk menerima anugerah yang paling berharga, anugerah yang menjadi penentu kebahagiaan kita bukan hanya untuk 60 atau 70 tahun di dunia, tetapi untuk selamanya di akhirat.
Jangan pernah merasa lelah untuk bersyukur, karena dengan bersyukur, Allah akan menambah nikmat-Nya. Dan nikmat terbesar yang kita harapkan agar senantiasa ditambahkan dan dijaga hingga akhir hayat adalah nikmat untuk tetap berada di atas jalan iman dan Islam.
Semoga kita semua dijadikan hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur, yang senantiasa istiqamah di atas jalan-Nya, dan diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah dengan membawa iman dan Islam sebagai bekal terbaik menghadap-Nya. Aamiin.