Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, nama Ali bin Abi Thalib (ra.) senantiasa terukir sebagai mercusuar kebijaksanaan, keberanian, dan keluasan ilmu. Beliau adalah sosok yang memiliki kedalaman spiritual luar biasa, yang pemikirannya sering kali melampaui zamannya. Salah satu nasihatnya yang paling fundamental dan relevan hingga hari ini adalah seruan untuk menjaga kemandirian batin dari ketergantungan berlebihan pada sesama manusia.
Meskipun terdapat banyak variasi riwayat, inti dari ajaran tersebut sering dirangkum dalam ungkapan yang mengingatkan kita akan sifat kefanaan dan ketidakpastian makhluk lain. Pesan ini bukan sekadar ajakan untuk menjadi penyendiri, melainkan sebuah strategi bertahan hidup spiritual: Tempatkan harapan tertinggi hanya pada Zat Yang Maha Kekal.
Ilustrasi: Sumber kekuatan yang mandiri.
Mengapa Harus Menjaga Harapan dari Manusia?
Hikmah ini berakar pada pemahaman mendalam tentang hakikat manusia. Manusia, seberapa pun mulia, kaya, atau berkuasa mereka, adalah ciptaan yang memiliki keterbatasan. Mereka bisa berubah pikiran, jatuh sakit, lupa, atau bahkan meninggalkan kita karena takdir yang tidak terduga. Ketika kita menambatkan seluruh jangkar ekspektasi dan kebahagiaan kita pada bahu sesama manusia, kita sedang membangun kapal di atas pasir yang rapuh.
Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa ketergantungan emosional dan material yang berlebihan pada manusia akan menghasilkan tiga konsekuensi utama:
- Kekecewaan yang Berulang: Ekspektasi yang tidak realistis terhadap kesempurnaan orang lain pasti akan berujung pada kekecewaan. Kekecewaan ini menggerogoti kedamaian hati.
- Kehilangan Martabat: Terlalu sering meminta atau bergantung membuat seseorang kehilangan harga diri dan kemandirian spiritualnya. Jiwa menjadi budak bagi harapan yang digantungkan pada kebaikan orang lain.
- Kerentanan Spiritual: Ketika 'pemberi' harapan itu hilang atau berubah, fondasi mental dan emosional kita ikut runtuh. Kita kehilangan kemampuan untuk bangkit sendiri.
Mengalihkan Fokus: Kekuatan dalam Diri
Nasihat ini bukanlah penolakan terhadap hubungan sosial atau meminta bantuan. Bantuan antar sesama adalah sunnah dan merupakan bagian dari harmoni sosial. Namun, ada perbedaan mendasar antara 'meminta bantuan' dan 'menetapkan harapan utama'. Bantuan adalah bonus yang datang dari kemurahan hati manusia, sementara harapan utama harus bersandar pada sumber daya yang tidak pernah habis—yakni kekuatan diri yang diasah melalui hubungan sejati dengan Sang Pencipta.
Ketika seseorang telah menanamkan prinsip ini, sikapnya akan berubah. Ia akan berinteraksi dengan manusia dengan penuh kasih sayang dan memberi tanpa pamrih, karena ia tidak mengharapkan imbalan atau pengakuan sebagai syarat ketenangan jiwanya. Jika ada bantuan datang, itu adalah rahmat tambahan. Jika tidak ada, ia tetap mampu berjalan tegak.
Implikasi pada Kehidupan Sehari-hari
Dalam konteks modern, "berharap pada manusia" bisa termanifestasi dalam berbagai bentuk: mengharapkan pujian terus-menerus di media sosial, bergantung pada atasan untuk kenaikan pangkat tanpa usaha maksimal, atau merasa hancur jika pasangan tidak memberikan perhatian sesuai standar kita. Semua ini adalah bentuk menempatkan kunci kebahagiaan kita di tangan orang lain.
Ali bin Abi Thalib mengajak kita untuk introspeksi: Sudahkah kita membangun benteng internal kita sendiri? Sudahkah kita menjadi sumber air bagi diri kita sendiri, meskipun kita tetap membuka diri untuk berbagi dengan orang lain? Kemandirian yang diajarkan bukan berarti isolasi, melainkan kemerdekaan dari belenggu ekspektasi yang tidak pasti. Dengan mempraktikkan kebijaksanaan ini, seorang mukmin menjadi pribadi yang tangguh, stabil, dan lebih mampu memberikan manfaat nyata bagi lingkungannya tanpa dihantui rasa takut akan ditinggalkan atau dikecewakan.
Pada akhirnya, nasihat ini adalah panggilan menuju kedewasaan spiritual: Berusaha keras, berdoa dengan sungguh-sungguh, bertindak seolah-olah semua bergantung pada upaya Anda, namun hati dan harapan Anda sepenuhnya diserahkan hanya kepada Ketetapan Ilahi.