Ilustrasi kemurnian niat
Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu kesayangan Rasulullah SAW, adalah salah satu tokoh sentral dalam Islam yang dikenal karena kebijaksanaan, keberanian, dan kedalaman spiritualnya. Di antara banyak ajaran yang beliau wariskan, konsep tentang **ikhlas** memegang peranan yang sangat fundamental. Bagi Ali, ikhlas bukanlah sekadar kata manis, melainkan inti dari setiap amal perbuatan seorang mukmin.
Dalam pandangan Ali bin Abi Thalib, ikhlas adalah pemurnian motivasi. Ia adalah tindakan melakukan sesuatu semata-mata karena Allah SWT, tanpa mengharapkan pujian manusia, imbalan duniawi, atau ketenaran. Keikhlasan inilah yang membedakan antara ibadah yang diterima di sisi Allah dan amal yang sia-sia. Beliau sering menekankan bahwa hati manusia adalah medan perang antara keinginan duniawi dan keridhaan Ilahi.
Ali RA mengajarkan bahwa jika sebuah amal saleh dilakukan dengan sedikit campuran niat selain karena Allah—misalnya, ingin dilihat orang (riya’) atau ingin dipuji sebagai orang yang dermawan—maka nilai pahalanya akan terdegradasi. Dalam koleksi nasihatnya yang termuat dalam Nahj al-Balaghah, tersirat makna mendalam bahwa nilai sejati sebuah perbuatan terletak pada kualitas niatnya, bukan kuantitas tindakannya.
"Amal perbuatan itu bergantung pada niatnya. Barangsiapa yang niatnya karena Allah, maka amalannya akan baik. Dan barangsiapa yang niatnya karena selain Allah, maka amalannya pun akan seburuk niatnya."
Pernyataan ini menegaskan bahwa kesempurnaan ikhlas menentukan validitas amal. Seseorang mungkin melakukan shalat yang panjang atau puasa yang ketat, tetapi jika hatinya didominasi oleh keinginan pamer, maka pahala amal tersebut menjadi sangat minim, bahkan bisa hangus seperti debu yang tertiup angin. Ali menekankan bahwa manusia harus senantiasa mengawasi bisikan hatinya saat beramal.
Salah satu bahaya terbesar yang dihadapi orang beriman adalah kesombongan yang muncul setelah melakukan kebaikan. Ketika seseorang menyadari bahwa ia rajin beribadah atau banyak beramal, muncul potensi ujub (merasa kagum pada diri sendiri). Ali bin Abi Thalib memberikan solusi definitif untuk penyakit hati ini: yaitu dengan mengingat bahwa semua kekuatan dan kemampuan datang dari Allah semata.
Keikhlasan sejati membuat seorang hamba merasa kecil di hadapan keagungan Allah, bahkan setelah ia berhasil melakukan amal terbaiknya. Ia menyadari bahwa keberhasilannya dalam beribadah adalah karunia, bukan hasil murni dari upayanya sendiri tanpa pertolongan Ilahi. Oleh karena itu, orang yang ikhlas tidak akan pernah merasa "lebih baik" dari orang lain yang mungkin terlihat kurang beramal di mata manusia. Ia hanya fokus pada pertanggungjawaban dirinya sendiri di hadapan Pencipta.
Bagi Ali bin Abi Thalib, ikhlas adalah jalan tercepat menuju kedekatan (qurb) dengan Allah. Ikhlas berarti menjalani hidup seolah-olah Allah melihat setiap detik perbuatan kita, meskipun tidak ada mata manusia yang mengawasi. Ini menciptakan mekanisme pengawasan internal yang jauh lebih kuat daripada pengawasan eksternal mana pun.
Konsep ini juga berkaitan erat dengan konsep suluk (perjalanan spiritual). Ketika hati telah terbebas dari belenggu kepentingan duniawi—seperti popularitas, kekayaan, atau sanjungan—maka perjalanan ruhani menjadi lebih ringan dan murni. Ali mengajarkan bahwa dunia ini hanya boleh menjadi alat untuk menggapai akhirat, bukan tujuan akhir itu sendiri. Keikhlasan adalah kunci yang memisahkan penggunaan dunia sebagai sarana dengan menjadikannya sebagai tujuan. Jika dunia telah menjadi tujuan, maka otomatis keikhlasan akan terkikis oleh kepentingan duniawi yang fana.
Ada kalanya seseorang taat dalam ritualnya tetapi hatinya lalai atau fokusnya terbagi. Ali seringkali mengingatkan umat agar tidak terjebak dalam formalitas ibadah tanpa substansi batiniah. Ikhlas menuntut kehadiran hati (khushu’) dan kesadaran penuh bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak menerima ibadah tersebut.
Oleh sebab itu, nasihat Ali bin Abi Thalib tentang ikhlas menjadi relevan sepanjang masa. Ia menantang setiap mukmin untuk secara jujur memeriksa kompas niat mereka. Apakah tindakan kita hari ini didorong oleh keinginan untuk menyenangkan Tuhan, ataukah didorong oleh bayangan pujian dari sesama manusia? Hanya dengan menjawab pertanyaan ini secara jujur, seseorang dapat mulai menapaki jalan menuju amal yang diterima dan mendapat keridhaan Ilahi. Ikhlas adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya, dan hanya di situlah terletak keberuntungan sejati.