Mengenal Sifat-Sifat Allah: Pilar Keyakinan Seorang Muslim
Pendahuluan: Urgensi Mengenal Sang Pencipta
Dalam samudra kehidupan yang luas dan seringkali penuh ketidakpastian, manusia senantiasa mencari jangkar untuk menambatkan hatinya, sebuah pegangan yang kokoh untuk menuntun arah. Bagi seorang Muslim, jangkar itu adalah keyakinan yang teguh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Fondasi utama dari keyakinan ini bukanlah sekadar pengakuan akan keberadaan-Nya, melainkan sebuah proses pengenalan yang mendalam atau yang dikenal dengan istilah ma'rifatullah. Jalan utama untuk mengenal Allah adalah dengan memahami dan merenungi sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna.
Mempelajari sifat-sifat Allah bukan sekadar latihan intelektual atau hafalan teologis yang kaku. Ia adalah perjalanan spiritual yang mencerahkan jiwa, memperkuat iman, dan membentuk cara pandang kita terhadap alam semesta, diri sendiri, dan segala peristiwa yang terjadi. Ketika kita memahami bahwa Allah bersifat Maha Kuasa, kita akan merasa kecil dan tunduk. Ketika kita meyakini bahwa Dia Maha Pengasih, hati kita akan dipenuhi harapan. Dan ketika kita mengerti bahwa Dia Maha Mengetahui, kita akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan. Dengan demikian, mengenal sifat Allah secara langsung membentuk karakter, moralitas, dan ketenangan batin seorang hamba. Artikel ini akan mengupas secara mendalam tentang sifat-sifat Allah yang wajib diimani, yang terbagi menjadi beberapa kategori utama, agar kita dapat membangun keyakinan di atas fondasi ilmu yang kokoh.
Sifat Wajib Bagi Allah: Dua Puluh Sifat Kesempurnaan
Para ulama akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah merumuskan dua puluh sifat yang wajib diyakini ada pada Dzat Allah. Sifat-sifat ini bukanlah pembatasan terhadap kesempurnaan Allah yang tak terbatas, melainkan merupakan pilar-pilar minimum yang harus diketahui dan diimani oleh setiap mukallaf (Muslim yang baligh dan berakal) untuk memastikan akidahnya lurus. Kedua puluh sifat ini diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama: Nafsiyyah, Salbiyyah, Ma'ani, dan Ma'nawiyyah.
1. Sifat Nafsiyyah: Esensi Keberadaan
Sifat Nafsiyyah adalah sifat yang berhubungan dengan Dzat Allah itu sendiri. Ia hanya ada satu, yaitu Wujud.
Wujud (Ada)
Sifat pertama dan paling fundamental adalah Wujud, yang berarti Allah itu ada. Keberadaan Allah bukanlah seperti keberadaan makhluk yang diawali oleh ketiadaan dan diakhiri oleh kefanaan. Keberadaan-Nya adalah mutlak, pasti, dan tidak bergantung pada apapun selain Dzat-Nya sendiri. Dalil paling sederhana akan keberadaan-Nya adalah keberadaan alam semesta ini. Akal sehat menolak gagasan bahwa sesuatu yang teratur, kompleks, dan penuh hukum sebab-akibat ini muncul dari ketiadaan secara kebetulan. Setiap ciptaan pasti memiliki pencipta. Sebuah bangunan megah tidak mungkin berdiri sendiri tanpa arsitek dan pekerja. Demikian pula alam semesta yang jauh lebih agung dan rumit ini, pastilah ada Pencipta Yang Maha Agung di baliknya, yaitu Allah. Mengimani sifat Wujud menanamkan kesadaran bahwa kita tidak hidup dalam kehampaan. Kita berada dalam pengawasan dan naungan Dzat yang benar-benar ada, sehingga setiap detik kehidupan kita memiliki makna dan tujuan.
2. Sifat Salbiyyah: Penafian Segala Kekurangan
Sifat Salbiyyah adalah lima sifat yang menafikan atau menolak segala sesuatu yang tidak layak bagi keagungan Allah. Sifat-sifat ini membersihkan Dzat Allah dari segala sifat kekurangan yang ada pada makhluk.
Qidam (Terdahulu/Awal)
Qidam berarti Allah Maha Terdahulu, tidak memiliki permulaan. Keberadaan-Nya tidak diawali oleh ketiadaan. Jika Allah memiliki permulaan, maka pasti ada sesuatu yang mengawali-Nya, dan sesuatu itu tentulah menjadi tuhan bagi-Nya. Rantai sebab-akibat ini harus berhenti pada satu Dzat yang menjadi Penyebab Pertama yang tidak disebabkan oleh apapun. Dzat itulah Allah. Akal tidak bisa menerima adanya rentetan pencipta yang tak berujung ke belakang. Konsep ini menenangkan jiwa, karena kita bersandar pada Dzat yang merupakan sumber dari segala sesuatu, yang keberadaan-Nya azali dan abadi.
Baqa’ (Kekal)
Baqa' berarti Allah Maha Kekal, tidak memiliki akhir. Dzat-Nya tidak akan pernah mengalami kerusakan, perubahan, atau kebinasaan. Segala sesuatu selain Allah (makhluk) bersifat fana, pasti akan hancur. Langit, bumi, manusia, malaikat, semuanya memiliki batas waktu. Hanya Allah yang kekal abadi. Keyakinan akan sifat Baqa' memberikan harapan yang tak terhingga. Meskipun kita dan semua yang kita cintai akan tiada, kita beriman kepada Dzat Yang Maha Kekal, tempat kita akan kembali dan berharap mendapatkan kebahagiaan yang abadi di sisi-Nya.
Mukhalafatu Lil Hawaditsi (Berbeda dengan Makhluk)
Sifat ini adalah salah satu pilar terpenting dalam tauhid. Mukhalafatu Lil Hawaditsi berarti Allah sama sekali berbeda dengan segala sesuatu yang baru (makhluk). Perbedaan ini mencakup Dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Dzat-Nya bukanlah jism (benda/tubuh), tidak tersusun dari bagian-bagian, tidak menempati ruang, dan tidak terikat oleh waktu. Sifat-sifat-Nya tidak sama dengan sifat makhluk. Jika Allah dikatakan Maha Melihat, maka penglihatan-Nya tidak memerlukan mata. Jika dikatakan Maha Mendengar, pendengaran-Nya tidak butuh telinga. Sifat ini secara tegas menolak antropomorfisme (menyerupakan Allah dengan manusia) dan segala bentuk pembayangan tentang Dzat Allah. Kita wajib mengimani makna sifat-Nya tanpa bertanya "bagaimana" rupanya, karena "tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia".
Qiyamuhu Binafsihi (Berdiri Sendiri)
Qiyamuhu Binafsihi artinya Allah berdiri dengan Dzat-Nya sendiri, tidak membutuhkan apapun dan siapapun. Dia tidak butuh tempat untuk bersemayam, tidak butuh pencipta yang menciptakan-Nya, dan tidak butuh bantuan dalam mengatur alam semesta. Sebaliknya, seluruh makhluklah yang bergantung sepenuhnya kepada-Nya dalam setiap tarikan napas dan denyut nadi. Sifat ini menanamkan rasa kemandirian spiritual. Kita diajarkan untuk hanya bergantung kepada Dzat Yang Maha Kaya dan Maha Mandiri, bukan kepada makhluk yang sama-sama fakir dan butuh pertolongan. Ini membebaskan jiwa dari perbudakan kepada materi, jabatan, atau manusia.
Wahdaniyyah (Esa/Tunggal)
Wahdaniyyah adalah inti dari ajaran Islam, yaitu keesaan Allah. Keesaan ini mencakup tiga aspek: Esa pada Dzat-Nya, artinya Dzat-Nya tidak tersusun dari beberapa bagian. Esa pada Sifat-Nya, artinya tidak ada satu makhluk pun yang memiliki sifat yang menyamai kesempurnaan sifat Allah. Dan Esa pada perbuatan-Nya (Af'al), artinya hanya Allah-lah satu-satunya pencipta hakiki di alam semesta. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam menciptakan, mengatur, memberi rezeki, atau menghidupkan dan mematikan. Jika ada dua tuhan atau lebih, niscaya akan terjadi perselisihan kehendak yang akan menghancurkan alam semesta. Keteraturan kosmos ini menjadi bukti nyata akan keesaan Pengaturnya.
3. Sifat Ma’ani: Sifat Abstrak yang Ada pada Dzat-Nya
Sifat Ma'ani adalah tujuh sifat wujudiyah (abstrak yang ada) pada Dzat Allah yang dapat dipahami oleh akal. Sifat-sifat ini merupakan sifat-sifat aktif yang menunjukkan kesempurnaan-Nya.
Qudrat (Kuasa)
Qudrat berarti Allah Maha Kuasa. Kekuasaan-Nya bersifat mutlak, tak terbatas, dan meliputi segala sesuatu yang mungkin (mumkinat). Tidak ada yang dapat melemahkan atau menghalangi kekuasaan-Nya. Menciptakan langit tanpa tiang, menghidupkan yang mati, membelah lautan, semua itu adalah hal yang mudah bagi-Nya. Mengimani sifat Qudrat akan menumbuhkan rasa tawakal yang mendalam. Seberat apapun masalah yang kita hadapi, kita yakin bahwa kita memiliki Tuhan yang kekuasaan-Nya jauh lebih besar dari semua masalah tersebut. Ini memberikan kekuatan untuk tidak pernah berputus asa.
Iradat (Berkehendak)
Iradat berarti Allah Maha Berkehendak. Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, baik maupun buruk, terjadi atas kehendak-Nya. Tidak ada satu daun pun yang jatuh tanpa seizin dan kehendak-Nya. Penting untuk membedakan antara kehendak (Iradat) dengan keridhaan (Ridha). Allah menghendaki terjadinya kekufuran, tetapi Dia tidak meridhai perbuatan kufur tersebut. Kehendak-Nya terkait dengan hikmah-Nya yang agung sebagai arena ujian bagi manusia. Memahami sifat Iradat mengajarkan kita untuk menerima takdir (qadar) dengan lapang dada. Apapun yang menimpa kita, itu semua adalah bagian dari skenario dan kehendak-Nya yang penuh hikmah, meskipun terkadang akal kita tidak mampu menjangkaunya.
‘Ilmu (Mengetahui)
'Ilmu berarti Allah Maha Mengetahui. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, tanpa terkecuali. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi. Dia mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi, bahkan isi hati dan bisikan jiwa manusia. Ilmu-Nya azali, tidak didahului oleh ketidaktahuan dan tidak akan diliputi kelupaan. Kesadaran bahwa Allah bersifat Maha Mengetahui adalah pengawas internal terbaik. Ia mencegah kita dari perbuatan maksiat di kala sepi dan mendorong kita untuk senantiasa ikhlas dalam beramal, karena kita tahu Allah mengetahui niat di balik setiap perbuatan kita.
Hayat (Hidup)
Hayat berarti Allah Maha Hidup. Kehidupan Allah adalah kehidupan yang hakiki, sempurna, dan menjadi sumber dari segala kehidupan. Hidup-Nya tidak seperti hidup makhluk yang memerlukan jantung, paru-aru, atau makanan. Hidup-Nya tidak berawal dan tidak berakhir. Sifat Hayat adalah syarat bagi sifat-sifat Ma'ani lainnya seperti Qudrat, Iradat, dan 'Ilmu. Mustahil Dzat yang mati memiliki kekuasaan atau pengetahuan. Kita menyembah Tuhan Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati, yang terus menerus mengurus makhluk-Nya tanpa pernah lelah atau mengantuk.
Sam’u (Mendengar)
Sam'u berarti Allah Maha Mendengar. Pendengaran-Nya meliputi segala suara, dari yang paling keras hingga yang paling lirih, bahkan bisikan hati yang tak terucap. Pendengaran-Nya tidak terhalang oleh jarak, dinding, atau kebisingan. Dia mendengar doa tulus seorang hamba di tengah malam yang sunyi, sama jelasnya dengan Dia mendengar gemuruh petir di angkasa. Sifat ini memberi penghiburan luar biasa. Kita tahu bahwa setiap keluh kesah, rintihan, dan doa kita tidak pernah sia-sia. Semuanya didengar oleh Dzat Yang Maha Mendengar.
Bashar (Melihat)
Bashar berarti Allah Maha Melihat. Penglihatan-Nya meliputi segala sesuatu yang wujud, dari galaksi terbesar hingga partikel terkecil. Tidak ada yang tersembunyi dari pandangan-Nya, baik di kegelapan malam yang pekat maupun di kedalaman lautan yang gelap. Dia melihat semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di malam hari. Keyakinan ini menumbuhkan rasa malu (haya') untuk berbuat dosa. Bagaimana mungkin kita berani melanggar perintah-Nya, sementara kita sadar bahwa kita selalu berada di bawah penglihatan-Nya yang tak pernah sedetik pun lengah?
Kalam (Berfirman)
Kalam berarti Allah Maha Berfirman atau Berkata-kata. Kalam Allah adalah sifat azali yang ada pada Dzat-Nya, tidak berupa suara, huruf, atau bahasa seperti kalam makhluk. Kalam-Nya adalah sempurna dan tidak didahului oleh diam. Kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para nabi, seperti Al-Qur'an, adalah manifestasi atau ta'alluq (kaitan) dari sifat Kalam Allah yang azali, yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia. Dengan memahami bahwa Al-Qur'an adalah firman-Nya, kita akan membacanya dengan penuh pengagungan, merenungi maknanya, dan berusaha mengamalkannya sebagai panduan hidup yang datang langsung dari Sang Pencipta.
4. Sifat Ma’nawiyyah: Keadaan yang Melekat
Sifat Ma'nawiyyah adalah tujuh sifat yang merupakan konsekuensi logis atau keadaan yang tidak terpisahkan (lazim) dari adanya tujuh Sifat Ma'ani. Sifat-sifat ini menegaskan status Allah sebagai Pelaku dari Sifat Ma'ani tersebut.
- Kaunuhu Qadiran (Keadaan-Nya yang Berkuasa), sebagai akibat dari sifat Qudrat.
- Kaunuhu Muridan (Keadaan-Nya yang Berkehendak), sebagai akibat dari sifat Iradat.
- Kaunuhu ‘Aliman (Keadaan-Nya yang Mengetahui), sebagai akibat dari sifat 'Ilmu.
- Kaunuhu Hayyan (Keadaan-Nya yang Hidup), sebagai akibat dari sifat Hayat.
- Kaunuhu Sami’an (Keadaan-Nya yang Mendengar), sebagai akibat dari sifat Sam'u.
- Kaunuhu Bashiran (Keadaan-Nya yang Melihat), sebagai akibat dari sifat Bashar.
- Kaunuhu Mutakalliman (Keadaan-Nya yang Berfirman), sebagai akibat dari sifat Kalam.
Secara sederhana, jika Allah memiliki sifat Qudrat (Kuasa), maka secara otomatis keadaan-Nya adalah Dzat Yang Berkuasa (Qadiran). Rangkaian ini menyempurnakan pemahaman kita tentang keaktifan sifat-sifat Allah yang senantiasa melekat pada Dzat-Nya yang Maha Agung.
Sifat Mustahil Bagi Allah: Penegasan Kesempurnaan
Untuk menyempurnakan pemahaman tentang Sifat Wajib, kita juga harus mengetahui Sifat Mustahil, yaitu sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada Allah. Sifat Mustahil adalah lawan kata dari 20 Sifat Wajib. Mengetahuinya akan semakin menegaskan kesucian dan kesempurnaan Allah dari segala bentuk kekurangan. Berikut adalah daftar Sifat Mustahil tersebut:
- ‘Adam (Tiada): Mustahil Allah tidak ada.
- Huduts (Baru/Ada Permulaan): Mustahil Allah memiliki awal.
- Fana’ (Binas/Rusak): Mustahil Allah akan hancur atau berakhir.
- Mumatsalatu lil Hawaditsi (Menyerupai Makhluk): Mustahil Allah sama dengan ciptaan-Nya.
- Ihtiyaju lighairihi (Membutuhkan yang Lain): Mustahil Allah bergantung pada sesuatu.
- Ta’addud (Berbilang/Lebih dari Satu): Mustahil tuhan itu ada dua atau lebih.
- ‘Ajzun (Lemah): Mustahil Allah bersifat lemah dan tidak mampu.
- Karahah (Terpaksa): Mustahil kehendak Allah terjadi karena keterpaksaan.
- Jahlun (Bodoh): Mustahil Allah tidak mengetahui sesuatu.
- Mautun (Mati): Mustahil Allah mengalami kematian.
- Shamamun (Tuli): Mustahil Allah tidak mendengar.
- ‘Umyun (Buta): Mustahil Allah tidak melihat.
- Bukmun (Bisu): Mustahil Allah tidak berfirman.
- Kaunuhu ‘Ajizan (Keadaan-Nya yang Lemah)
- Kaunuhu Karihan (Keadaan-Nya yang Terpaksa)
- Kaunuhu Jahilan (Keadaan-Nya yang Bodoh)
- Kaunuhu Mayyitan (Keadaan-Nya yang Mati)
- Kaunuhu Ashamma (Keadaan-Nya yang Tuli)
- Kaunuhu A’ma (Keadaan-Nya yang Buta)
- Kaunuhu Abkama (Keadaan-Nya yang Bisu)
Dengan menafikan kedua puluh sifat mustahil ini, akidah seorang Muslim menjadi semakin murni dan bersih dari syirik atau penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.
Sifat Jaiz Bagi Allah: Kebebasan Mutlak Sang Pencipta
Selain Sifat Wajib dan Sifat Mustahil, ada satu Sifat Jaiz bagi Allah. Jaiz artinya boleh atau mungkin. Sifat Jaiz bagi Allah adalah: Fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu, yang berarti "Boleh bagi Allah untuk melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya (tidak melakukannya)."
Makna dari sifat ini adalah Allah memiliki kebebasan mutlak untuk menciptakan atau tidak menciptakan, memberi atau tidak memberi, mengangkat atau merendahkan, tanpa ada satu kekuatan pun yang bisa memaksa atau melarang-Nya. Dia menciptakan si A dengan kulit putih dan si B dengan kulit hitam, itu adalah kehendak-Nya. Dia memberikan kekayaan kepada seseorang dan menguji yang lain dengan kemiskinan, itu adalah hak prerogatif-Nya. Tidak ada yang bisa mempertanyakan, "Mengapa Engkau melakukan ini dan tidak melakukan itu?" karena Dia adalah Penguasa Mutlak.
Namun, kebebasan mutlak Allah ini tidak berarti Dia bertindak tanpa tujuan. Setiap perbuatan-Nya selalu dilandasi oleh kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan ('adl) yang sempurna, meskipun terkadang hikmah tersebut tidak dapat kita pahami dengan akal kita yang terbatas. Mengimani Sifat Jaiz ini mengajarkan kita untuk ridha terhadap segala ketetapan-Nya, baik yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai. Ia menumbuhkan sikap pasrah dan keyakinan bahwa di balik setiap kejadian, pasti ada skenario terbaik yang telah Allah siapkan untuk hamba-Nya.
Penutup: Buah Mengenal Sifat Allah dalam Kehidupan
Mempelajari dan merenungi bahwa Allah bersifat dengan segala kesempurnaan-Nya adalah sebuah perjalanan iman yang tak berkesudahan. Ini bukan hanya tentang mengetahui daftar sifat, tetapi tentang merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Pengetahuan ini mengubah cara kita berdoa, cara kita bersabar, cara kita bersyukur, dan cara kita memandang dunia.
Ketika kita sadar akan sifat Qudrat dan Iradat-Nya, kita akan menjadi hamba yang tawakal. Ketika kita meresapi sifat 'Ilmu, Sam'u, dan Bashar-Nya, kita akan menjadi pribadi yang senantiasa merasa diawasi dan lebih bertakwa. Ketika kita memahami sifat Qidam, Baqa', dan Mukhalafatu lil Hawaditsi, kita akan mengagungkan-Nya dengan pengagungan yang suci dan murni. Dan ketika kita meyakini sifat Wahdaniyyah-Nya, kita akan terbebas dari segala bentuk penghambaan kepada selain Dia.
Semoga dengan memahami sifat-sifat ini, hati kita semakin terpaut kepada-Nya, iman kita semakin kokoh, dan hidup kita senantiasa berada dalam cahaya petunjuk-Nya. Karena puncak dari segala ilmu adalah mengenal Allah, Sang Pemilik segala sifat kesempurnaan.