Mengupas Tuntas Golongan Surat An-Nasr

Surat An-Nasr, surat ke-110 dalam mushaf Al-Qur'an, adalah sebuah surat yang singkat namun sarat dengan makna yang luar biasa dalam. Terdiri dari tiga ayat, surat ini seringkali dihafal dan dibaca oleh umat Islam di seluruh dunia. Namun, di balik keringkasannya, tersembunyi lapisan-lapisan makna yang mendalam, mulai dari konteks historisnya yang agung hingga isyarat subtil tentang akhir sebuah era. Salah satu pertanyaan mendasar yang sering muncul dalam studi Al-Qur'an adalah mengenai klasifikasi atau An Nasr golongan surat apa? Apakah ia tergolong Makkiyah atau Madaniyah? Jawaban atas pertanyaan ini bukan sekadar formalitas, melainkan membuka pintu pemahaman yang lebih luas tentang pesan inti yang terkandung di dalamnya.

Memahami penggolongan sebuah surat adalah kunci untuk menafsirkan ayat-ayatnya dengan benar. Klasifikasi ini memberikan kita bingkai konteks: situasi sosial, politik, dan spiritual saat wahyu tersebut diturunkan. Dengan mengetahui apakah An-Nasr adalah surat Makkiyah atau Madaniyah, kita bisa lebih menghargai keagungan pesan ilahi yang disampaikannya, pesan tentang kemenangan, kerendahan hati, dan persiapan untuk kembali kepada Sang Pencipta.

Ilustrasi Kemenangan dan Pertolongan Allah, melambangkan Surat An-Nasr
Ilustrasi Kemenangan (Fathu Makkah) dan manusia berbondong-bondong menuju cahaya iman.

An Nasr Golongan Surat: Madaniyah yang Disepakati

Para ulama tafsir dan ulumul Qur'an secara ijma' (konsensus) mengklasifikasikan Surat An-Nasr sebagai surat Madaniyah. Ini berarti surat ini diturunkan setelah peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Meskipun pendek, ciri-ciri Madaniyah sangat kental terasa di dalamnya. Untuk memahami mengapa ia digolongkan demikian, kita perlu terlebih dahulu memahami perbedaan fundamental antara surat Makkiyah dan Madaniyah.

Membedah Karakteristik Makkiyah dan Madaniyah

Pembagian surat menjadi Makkiyah dan Madaniyah bukanlah berdasarkan lokasi geografis turunnya wahyu semata. Meskipun secara umum surat Makkiyah turun di Mekkah dan Madaniyah di Madinah, definisi yang lebih akurat dan diterima oleh para ulama adalah berdasarkan periode waktu:

Definisi berbasis waktu ini lebih presisi karena mencakup seluruh periode kenabian. Selain dari waktu, keduanya memiliki karakteristik yang sangat berbeda dari segi tema, gaya bahasa, dan sasaran audiens.

Ciri Khas Surat-surat Makkiyah

Fase Mekkah adalah fase penanaman fondasi akidah. Dakwah pada masa ini berfokus pada pemurnian tauhid dan peneguhan iman di tengah masyarakat jahiliyah yang politeistik. Oleh karena itu, surat-surat Makkiyah umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Ciri Khas Surat-surat Madaniyah

Setelah hijrah ke Madinah, komunitas Muslim terbentuk. Islam tidak lagi hanya urusan individu, tetapi telah menjadi dasar sebuah masyarakat dan negara. Wahyu yang turun pada periode ini berfokus pada pembangunan tatanan sosial yang adil dan beradab. Ciri-cirinya antara lain:


Mengapa An-Nasr Jelas Merupakan Surat Madaniyah?

Berdasarkan karakteristik di atas, Surat An-Nasr dengan sangat jelas masuk ke dalam kategori Madaniyah. Beberapa alasan utamanya adalah:

  1. Waktu Penurunannya: Surat ini, menurut riwayat yang paling shahih, diturunkan pada masa Haji Wada' (haji perpisahan Nabi) di Mina, beberapa bulan sebelum beliau wafat. Peristiwa ini terjadi jauh setelah Hijrah, menjadikannya secara definitif Madaniyah berdasarkan periode waktu.
  2. Konteks Kemenangan dan Konsolidasi: Tema utama surat ini adalah "pertolongan Allah dan kemenangan" (نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ). Kemenangan yang dimaksud secara spesifik merujuk pada Fathu Makkah (Pembebasan Kota Mekkah). Peristiwa besar ini adalah puncak dari perjuangan dakwah periode Madinah, di mana sebuah negara Islam yang baru terbentuk berhasil menaklukkan pusat kekuatan lawannya tanpa pertumpahan darah yang berarti. Tema seperti ini tidak mungkin ada pada periode Mekkah, yang merupakan fase perjuangan dan penindasan.
  3. Fenomena Sosial Skala Besar: Ayat kedua berbicara tentang "manusia berbondong-bondong masuk agama Allah" (يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا). Ini adalah deskripsi akurat tentang apa yang terjadi setelah Fathu Makkah. Banyak kabilah Arab yang sebelumnya ragu-ragu atau memusuhi Islam, akhirnya menyatakan keislaman mereka secara massal. Fenomena konversi massal ini adalah ciri khas dari fase akhir periode Madinah.
  4. Perintah yang Ditujukan pada Pemimpin Umat: Perintah untuk bertasbih, memuji, dan memohon ampunan (فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ) dalam konteks kemenangan besar adalah instruksi yang sesuai bagi seorang pemimpin yang telah berhasil menyatukan umat dan menyelesaikan misinya. Ini adalah cerminan dari etika kepemimpinan dalam Islam yang diajarkan pada periode Madinah.

Dengan demikian, tidak ada keraguan sedikit pun di kalangan ulama bahwa An Nasr golongan surat Madaniyah. Pemahaman ini sangat krusial karena ia menempatkan surat ini pada posisi yang semestinya: sebagai pengumuman puncak kemenangan Islam di Jazirah Arab dan, pada saat yang sama, sebagai sinyal berakhirnya tugas kenabian Muhammad SAW.

Teks Arab, Latin, dan Terjemahan Surat An-Nasr

Berikut adalah teks lengkap Surat An-Nasr beserta transliterasi dan terjemahannya untuk memudahkan pemahaman kita sebelum masuk ke tafsir yang lebih dalam.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

Idzaa jaa-a nashrullahi wal fat-h
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillahi afwaajaa
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfir-h, innahuu kaana tawwaabaa
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.


Tafsir Mendalam Ayat per Ayat Surat An-Nasr

Setiap kata dalam Surat An-Nasr dipilih dengan sangat cermat oleh Allah SWT. Untuk mengapresiasi keagungannya, mari kita selami makna di balik setiap ayatnya.

Ayat 1: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan)

Ayat pertama ini membuka surat dengan sebuah pernyataan kondisional yang agung. Penggunaan kata "إِذَا" (Idza) menunjukkan sesuatu yang pasti akan terjadi. Ini bukan "jika" yang bersifat spekulatif, melainkan "apabila" yang menandakan sebuah kepastian di masa depan. Mari kita bedah dua konsep kunci dalam ayat ini: "نَصْرُ اللَّهِ" (Nashrullah) dan "الْفَتْحُ" (Al-Fath).

Makna "Nashrullah" (Pertolongan Allah)

Kata Nashr berarti pertolongan, bantuan, atau dukungan yang membawa kemenangan. Namun, ketika disandarkan kepada Allah (Nashrullah), maknanya menjadi jauh lebih dalam. Ini bukan sekadar bantuan biasa. Nashrullah adalah intervensi ilahi yang melampaui logika dan kalkulasi manusia. Sepanjang sejarah kenabian, pertolongan ini datang dalam berbagai bentuk: angin yang menenggelamkan kaum Nuh, laut yang terbelah untuk Musa, atau pasukan malaikat yang membantu kaum muslimin di Perang Badar.

Dalam konteks surat ini, Nashrullah adalah akumulasi dari seluruh pertolongan yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya selama lebih dari dua dekade perjuangan. Mulai dari perlindungan saat diancam di Mekkah, keselamatan saat hijrah, hingga kemenangan-kemenangan dalam berbagai pertempuran melawan kekuatan yang jauh lebih besar. Pertolongan ini menegaskan sebuah prinsip fundamental dalam Islam: kemenangan sejati tidak berasal dari kekuatan jumlah, senjata, atau strategi, melainkan murni dari kehendak dan pertolongan Allah SWT.

Makna "Al-Fath" (Kemenangan)

Kata Al-Fath secara harfiah berarti "pembukaan". Ini lebih dari sekadar ghalabah (mengalahkan) atau zhafar (menang). Al-Fath menyiratkan terbukanya sesuatu yang sebelumnya tertutup. Para ulama tafsir sepakat bahwa "Al-Fath" yang dimaksud di sini secara spesifik adalah Fathu Makkah, pembebasan kota Mekkah.

Mengapa disebut "pembukaan"? Karena Fathu Makkah bukan sekadar penaklukan militer. Ia adalah:

Keagungan Fathu Makkah terletak pada prosesnya yang nyaris tanpa pertumpahan darah. Nabi Muhammad SAW, yang dulu diusir dan disakiti dari kota kelahirannya, kembali sebagai pemenang yang penuh welas asih. Beliau memberikan pengampunan massal kepada musuh-musuhnya, sebuah preseden yang tak tertandingi dalam sejarah penaklukan. Inilah "Al-Fath", sebuah kemenangan moral, spiritual, dan ideologis, bukan sekadar kemenangan fisik.

Ayat 2: وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah)

Ayat kedua ini menggambarkan konsekuensi logis dari datangnya pertolongan Allah dan kemenangan. Setelah rintangan utama (kekuatan Quraisy di Mekkah) berhasil diatasi, terjadilah sebuah fenomena sosial yang luar biasa.

Siapakah "An-Naas" (Manusia)?

Kata "النَّاسَ" (An-Naas) di sini merujuk kepada kabilah-kabilah Arab dari berbagai penjuru Jazirah. Sebelum Fathu Makkah, banyak dari mereka yang bersikap menunggu (wait and see). Mereka berkata, "Biarkan Muhammad dan kaumnya (Quraisy) menyelesaikan urusan mereka. Jika dia menang atas kaumnya, maka dia benar-benar seorang nabi." Bagi mereka, pertarungan antara Nabi Muhammad dan suku Quraisy adalah penentu kebenaran. Ketika Nabi SAW berhasil membebaskan Mekkah, hal itu menjadi bukti tak terbantahkan bagi mereka.

Arti "Afwaajaa" (Berbondong-bondong)

Kata "أَفْوَاجًا" (Afwaajaa) adalah bentuk jamak dari fauj, yang berarti rombongan besar atau kelompok. Ini menggambarkan proses konversi yang bukan lagi bersifat individual satu per satu, seperti pada periode awal di Mekkah. Kini, manusia masuk Islam dalam rombongan besar, kabilah demi kabilah, delegasi demi delegasi. Tahun setelah Fathu Makkah bahkan dikenal sebagai 'Aamul Wufud (Tahun Delegasi), di mana utusan dari seluruh Arab datang ke Madinah untuk menyatakan bai'at mereka kepada Rasulullah SAW dan memeluk Islam. Ini adalah pemandangan yang mengharukan, buah dari kesabaran dan perjuangan selama puluhan tahun.

Ayat ini, yang ditujukan kepada Nabi ("wa ra-ayta" - dan engkau melihat), adalah sebuah bentuk apresiasi dari Allah. Allah seakan berkata, "Lihatlah, wahai Muhammad, buah dari jerih payahmu. Saksikanlah dengan matamu sendiri bagaimana janji-Ku menjadi kenyataan."

Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat)

Ini adalah ayat puncak yang mengandung pelajaran paling mendalam. Setelah mencapai puncak kesuksesan duniawi dan spiritual, apa respons yang Allah ajarkan? Bukan pesta pora, bukan arogansi, bukan pula euforia yang berlebihan. Respons yang diajarkan adalah kembali kepada Allah dengan kerendahan hati yang total.

Tiga Perintah Agung

Kata "Fa" (maka) di awal ayat menunjukkan hubungan sebab-akibat. Karena engkau telah menerima pertolongan dan kemenangan, dan melihat manusia masuk Islam berbondong-bondong, maka lakukanlah tiga hal ini:

  1. Tasbih (فَسَبِّحْ - Fasabbih): Bertasbih berarti menyucikan Allah dari segala kekurangan. Dalam konteks ini, bertasbih adalah pengakuan bahwa kemenangan ini sama sekali bukan karena kekuatan atau kehebatan diri sendiri, melainkan murni karena keagungan dan kekuasaan Allah. Ini adalah cara untuk menafikan kesombongan dari dalam hati pada saat-saat paling membanggakan. Ucapkan "Subhanallah" (Maha Suci Allah).
  2. Tahmid (بِحَمْدِ رَبِّكَ - Bihamdi Rabbika): Memuji Tuhanmu. Setelah menyucikan Allah dari kekurangan, langkah selanjutnya adalah memuji-Nya atas segala kesempurnaan dan karunia-Nya. Ini adalah ekspresi rasa syukur yang mendalam. Kemenangan dan hidayah yang diterima manusia adalah nikmat agung yang wajib disyukuri. Ucapkan "Alhamdulillah" (Segala puji bagi Allah). Gabungan "Tasbih Bihamdi" (Subhanallahi wa bihamdihi) adalah dzikir yang sangat dicintai Allah.
  3. Istighfar (وَاسْتَغْفِرْهُ - Wastaghfirhu): Memohon ampunan kepada-Nya. Inilah bagian yang paling mengejutkan dan mendalam. Mengapa di puncak kemenangan justru diperintahkan untuk memohon ampun? Para ulama memberikan beberapa penjelasan:
    • Untuk segala kekurangan dalam perjuangan: Mungkin ada niat yang tidak lurus, strategi yang kurang sempurna, atau emosi yang tidak terkendali selama puluhan tahun berjuang. Istighfar membersihkan semua itu.
    • Sebagai bentuk kerendahan hati tertinggi: Mengakui bahwa seberapa pun besar usaha dan pencapaian kita, kita tetaplah hamba yang lemah dan penuh dosa di hadapan Allah. Tidak ada ruang untuk merasa telah berjasa.
    • Sebagai persiapan kembali kepada-Nya: Seperti yang akan kita bahas, surat ini adalah isyarat bahwa tugas Nabi telah selesai dan ajalnya sudah dekat. Istighfar adalah bekal terbaik untuk bertemu dengan Allah.

Penutup yang Menenangkan: "Innahuu Kaana Tawwaabaa"

Ayat ini ditutup dengan penegasan yang penuh harapan: "إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا" (Sungguh, Dia Maha Penerima tobat). Kata Tawwaab adalah bentuk superlatif yang berarti Dzat yang senantiasa, berulang kali, dan selalu menerima tobat hamba-Nya. Ini adalah jaminan dari Allah: "Mohonlah ampunan, karena Aku pasti akan menerimanya." Kalimat ini memberikan ketenangan dan mendorong kita untuk tidak pernah putus asa dari rahmat Allah, seberapa pun besar kesalahan kita.


Isyarat Tersembunyi: Kabar Wafatnya Rasulullah SAW

Salah satu aspek paling signifikan dari Surat An-Nasr, yang dipahami oleh para sahabat senior, adalah bahwa surat ini merupakan na'yu atau pemberitahuan tersirat tentang dekatnya ajal Rasulullah SAW. Logikanya sederhana: jika kemenangan puncak telah diraih dan misi penyampaian risalah telah tuntas dengan masuknya seluruh Jazirah Arab ke dalam Islam, maka tugas sang Rasul di dunia pun telah berakhir.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwa ketika surat ini turun, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Telah diberitakan kepadaku tentang kematianku." Umar bin Khattab pernah bertanya kepada para sahabat senior tentang makna surat ini. Mereka memberikan jawaban standar tentang kemenangan. Namun, ketika ditanya kepada Ibnu Abbas yang saat itu masih muda, ia menjawab, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau." Umar pun membenarkan tafsir tersebut.

Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat yang paling memahami Rasulullah, menangis tersedu-sedu ketika mendengar surat ini dibacakan. Para sahabat lain heran, "Mengapa engkau menangis saat kabar gembira tentang kemenangan datang?" Abu Bakar menjawab, "Kalian tidak mengerti. Ini adalah isyarat perpisahan." Beliau memahami bahwa kesempurnaan adalah pertanda akhir. Bagaikan bulan purnama yang setelah sempurna cahayanya akan mulai menyusut kembali, selesainya sebuah tugas besar menandakan waktu untuk kembali.

Perintah untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar di akhir surat ini sejalan dengan persiapan seorang hamba untuk menghadap Tuhannya. Setelah surat ini turun, Aisyah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW sangat sering membaca dalam rukuk dan sujudnya, "Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika, Allahummaghfirli" (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku), sebagai pengamalan dari perintah dalam surat ini.

Pelajaran dan Hikmah Agung dari Surat An-Nasr

Meskipun Surat An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesannya bersifat universal dan abadi. Ada banyak hikmah yang bisa kita petik untuk kehidupan sehari-hari:

Sebagai penutup, Surat An-Nasr adalah miniatur dari perjalanan dakwah itu sendiri: dimulai dengan perjuangan, diiringi oleh pertolongan ilahi (Nashrullah), membuahkan hasil berupa kemenangan dan hidayah (Al-Fath dan Afwaajaa), dan diakhiri dengan kembali kepada esensi peribadatan yaitu menyucikan, memuji, dan memohon ampunan kepada Allah SWT (Tasbih, Tahmid, Istighfar). Memahami bahwa An Nasr golongan surat Madaniyah memberikan kita kunci untuk membuka semua makna agung ini, menempatkannya sebagai surat perpisahan yang manis, sebuah epilog kemenangan dari sebuah risalah yang sempurna.

🏠 Homepage