Sistem pendidikan nasional terus berbenah, mencari format evaluasi yang tidak hanya mengukur kemampuan kognitif, tetapi juga memotret perkembangan karakter peserta didik secara holistik. Salah satu terobosan fundamental dalam lanskap evaluasi pendidikan di Indonesia adalah pengenalan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Berbeda dari Ujian Nasional (UN) yang telah usang, ANBK tidak lagi menjadi penentu kelulusan individu. Sebaliknya, ia berfungsi sebagai alat diagnostik untuk memetakan kesehatan sistem pendidikan secara keseluruhan. Di dalam ANBK, terdapat tiga instrumen utama: Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang mengukur literasi dan numerasi, Survei Lingkungan Belajar yang memotret iklim sekolah, dan yang menjadi fokus utama pembahasan ini, yaitu ANBK Survei Karakter.
ANBK Survei Karakter adalah sebuah instrumen yang dirancang khusus untuk mengukur hasil belajar non-kognitif siswa. Tujuannya adalah untuk melihat sejauh mana perkembangan karakter siswa sejalan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Profil Pelajar Pancasila. Ini merupakan sebuah pergeseran paradigma yang krusial. Pendidikan tidak lagi semata-mata soal transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga soal penanaman nilai, pembentukan sikap, dan pengembangan kepribadian yang utuh. Survei ini memberikan cermin bagi setiap satuan pendidikan untuk merefleksikan efektivitas proses pembelajaran dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia, toleran, dan siap menghadapi tantangan global.
Memahami Esensi dan Tujuan Survei Karakter
Pada dasarnya, ANBK Survei Karakter adalah sebuah upaya sistematis untuk mengukur dan memetakan "soft skills" serta nilai-nilai yang telah terinternalisasi dalam diri siswa. Esensinya bukanlah untuk memberikan label "baik" atau "buruk" pada seorang siswa, melainkan untuk menyediakan data yang kaya dan kontekstual bagi sekolah dan pemerintah daerah. Data ini kemudian menjadi dasar untuk merancang intervensi kebijakan dan program pendidikan yang lebih efektif dan tepat sasaran.
Tujuan Utama Survei Karakter
- Memberikan Umpan Balik Holistik: Survei ini memberikan umpan balik kepada satuan pendidikan mengenai kekuatan dan kelemahan mereka dalam mengembangkan karakter siswa. Ini melengkapi data kognitif dari AKM, sehingga sekolah mendapatkan gambaran utuh tentang kualitas hasil belajar.
- Fondasi Perbaikan Berkelanjutan: Hasil survei menjadi titik awal bagi sekolah untuk melakukan refleksi diri. Sekolah dapat mengidentifikasi area mana dari Profil Pelajar Pancasila yang sudah berkembang baik dan area mana yang masih memerlukan perhatian khusus.
- Mendorong Budaya Sekolah yang Positif: Dengan memfokuskan perhatian pada karakter, survei ini secara tidak langsung mendorong sekolah untuk menciptakan iklim belajar yang aman, inklusif, dan mendukung perkembangan nilai-nilai positif seperti empati, kolaborasi, dan integritas.
- Data untuk Kebijakan Berbasis Bukti: Di tingkat nasional dan daerah, agregat data dari Survei Karakter menjadi masukan berharga untuk merumuskan kebijakan pendidikan yang lebih relevan dengan kebutuhan pembangunan karakter bangsa.
Perbedaan Fundamental dengan Ujian Nasional (UN)
Penting untuk menggarisbawahi bahwa ANBK Survei Karakter sama sekali berbeda dengan UN. Jika UN berfokus pada evaluasi sumatif di akhir jenjang pendidikan, bersifat high-stakes (berdampak tinggi) bagi individu, dan hanya mengukur aspek kognitif pada mata pelajaran tertentu, maka Survei Karakter memiliki karakteristik yang berlawanan. Survei ini bersifat formatif, tidak digunakan untuk menilai siswa secara perorangan, dan tidak ada konsekuensi langsung bagi siswa yang mengikutinya. Respon siswa bersifat rahasia dan dianalisis secara agregat untuk memberikan potret sekolah. Fokusnya murni pada pengembangan dan perbaikan, bukan pada penghakiman atau perankingan.
Enam Dimensi Profil Pelajar Pancasila: Jantung Survei Karakter
Inti dari ANBK Survei Karakter adalah pengukuran enam dimensi utama yang membentuk Profil Pelajar Pancasila. Keenam dimensi ini merupakan rumusan karakter dan kemampuan yang dibangun dalam keseharian dan dihidupkan dalam diri setiap individu pelajar melalui budaya sekolah, pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler. Mari kita bedah satu per satu dimensi krusial ini.
1. Beriman, Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia
Dimensi ini adalah fondasi spiritual dan etis dari seorang pelajar. Ini bukan hanya tentang ritual keagamaan, tetapi tentang bagaimana keyakinan diwujudkan dalam tindakan sehari-hari. Pelajar Pancasila diharapkan memahami ajaran agama atau kepercayaannya dan menerapkannya dalam bentuk akhlak yang baik. Dimensi ini dipecah menjadi beberapa elemen kunci:
- Akhlak Beragama: Kemampuan untuk mengenal sifat-sifat Tuhan, memahami ajaran pokok agamanya, dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
- Akhlak Pribadi: Ini mencakup integritas, yaitu bersikap jujur, dapat dipercaya, dan bertanggung jawab. Termasuk di dalamnya adalah merawat diri secara fisik, mental, dan spiritual.
- Akhlak kepada Manusia: Mengutamakan persamaan dan kemanusiaan di atas perbedaan. Ini termanifestasi dalam sikap empati, menghargai orang lain, dan menolak segala bentuk kekerasan atau diskriminasi.
- Akhlak kepada Alam: Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. Ini diwujudkan dengan perilaku yang menunjukkan kepedulian terhadap alam semesta sebagai ciptaan Tuhan.
- Akhlak Bernegara: Memahami serta menunaikan hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia, serta menyadari perannya dalam menjaga keutuhan bangsa.
Dalam survei, pertanyaan yang diajukan mungkin berupa skenario, seperti "Ketika kamu melihat teman membuang sampah sembarangan, apa yang akan kamu lakukan?" atau "Bagaimana sikapmu jika ada teman yang berbeda keyakinan sedang menjalankan ibadahnya di dekatmu?". Respon siswa akan memberikan gambaran tentang pemahaman dan penerapan akhlak mulia ini.
2. Berkebinekaan Global
Di era globalisasi yang tak terhindarkan, kemampuan untuk berinteraksi secara positif dengan keragaman budaya adalah sebuah keniscayaan. Dimensi ini menekankan pentingnya mempertahankan budaya luhur, lokalitas, dan identitas Indonesia, sambil tetap berpikiran terbuka dan berinteraksi secara positif dengan budaya lain. Elemen-elemennya meliputi:
- Mengenal dan Menghargai Budaya: Kemampuan untuk memahami dan menghargai berbagai budaya, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Ini termasuk belajar tentang sejarah, adat istiadat, dan perspektif budaya yang berbeda.
- Komunikasi dan Interaksi Antarbudaya: Keterampilan untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda, mengatasi stereotip, dan membangun jembatan pemahaman.
- Refleksi dan Tanggung Jawab terhadap Pengalaman Kebinekaan: Kemampuan untuk merefleksikan pengalaman berinteraksi dengan budaya lain, mengidentifikasi prasangka yang mungkin dimiliki, dan bersikap adil terhadap perbedaan.
Globalisasi adalah tentang manusia yang terhubung. Berkebinekaan global bukan berarti kehilangan identitas, melainkan memperkaya identitas dengan pemahaman dan penghargaan terhadap identitas orang lain.
Contoh pertanyaan dalam survei bisa berupa penilaian terhadap pernyataan seperti "Saya tertarik belajar tentang kebiasaan dari negara lain" atau skenario tentang bagaimana siswa akan bersikap saat bekerja dalam satu kelompok dengan teman yang berasal dari suku dan daerah yang sangat berbeda.
3. Bergotong Royong
Gotong royong adalah salah satu nilai inti bangsa Indonesia. Dimensi ini menegaskan bahwa Pelajar Pancasila harus memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan sukarela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan lancar, mudah, dan ringan. Ini adalah esensi dari kerja sama tim dan kepedulian sosial. Elemen-elemennya adalah:
- Kolaborasi: Kemampuan untuk bekerja sama secara efektif dalam sebuah tim, menghargai kontribusi setiap anggota, dan bersinergi untuk mencapai tujuan bersama.
- Kepedulian: Sikap proaktif untuk memperhatikan dan bertindak atas dasar kepedulian terhadap kondisi orang lain dan lingkungan sekitar. Ini mencakup empati dan kepekaan sosial.
- Berbagi: Kerelaan untuk memberi dan berbagi sumber daya (baik materi maupun non-materi) dengan orang lain yang membutuhkan, tanpa pamrih.
Dalam ANBK Survei Karakter, siswa mungkin dihadapkan pada situasi seperti "Kelompokmu mendapat tugas yang sulit. Salah satu temanmu tampak kesulitan memahami bagiannya. Apa tindakanmu?". Jawaban yang dipilih akan merefleksikan kecenderungan siswa untuk berkolaborasi dan menunjukkan kepedulian.
4. Mandiri
Kemandirian adalah kunci untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat. Pelajar Pancasila diharapkan menjadi individu yang mandiri, yang bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya. Dimensi ini tidak berarti bekerja sendiri, tetapi memiliki kesadaran dan inisiatif untuk mengatur diri sendiri. Elemen-elemen utamanya adalah:
- Kesadaran akan Diri dan Situasi yang Dihadapi: Kemampuan untuk melakukan refleksi terhadap kondisi diri sendiri, baik kelebihan maupun kekurangan, serta memahami tantangan yang ada di lingkungan sekitarnya.
- Regulasi Diri: Kemampuan untuk mengatur pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai tujuan belajar dan pengembangan diri. Ini termasuk di dalamnya penetapan tujuan, perencanaan strategi, monitoring kemajuan, dan evaluasi diri, serta memiliki resiliensi (daya lenting) saat menghadapi kegagalan.
Pertanyaan dalam survei dapat mengeksplorasi aspek ini dengan menanyakan, misalnya, "Jika kamu mendapat nilai yang kurang memuaskan pada suatu ujian, apa langkah pertama yang akan kamu ambil?" atau meminta siswa menilai pernyataan seperti "Saya selalu membuat rencana belajar sebelum menghadapi ujian.".
5. Bernalar Kritis
Di tengah tsunami informasi, kemampuan bernalar kritis menjadi salah satu kompetensi terpenting di abad ke-21. Pelajar Pancasila harus mampu secara objektif memproses informasi, baik kualitatif maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai informasi, menganalisis, mengevaluasi, dan menyimpulkannya. Elemen-elemen dari bernalar kritis adalah:
- Memperoleh dan Memproses Informasi dan Gagasan: Kemampuan untuk mengajukan pertanyaan yang relevan, mengidentifikasi, mengklarifikasi, dan mengolah informasi dari berbagai sumber.
- Menganalisis dan Mengevaluasi Penalaran: Kemampuan untuk menganalisis argumen, mendeteksi bias, dan mengevaluasi validitas sebuah informasi atau penalaran.
- Merefleksi Pemikiran dan Proses Berpikir: Kesadaran akan proses berpikir yang sedang terjadi pada dirinya (metakognisi) dan kemampuan untuk mengevaluasi proses tersebut.
- Mengambil Keputusan: Kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat berdasarkan analisis data dan evaluasi argumen yang relevan.
Survei Karakter dapat mengukur ini dengan menyajikan sebuah teks singkat yang mengandung informasi dan misinformasi, lalu menanyakan kepada siswa bagaimana mereka akan memverifikasi kebenaran informasi tersebut. Ini menguji kemampuan siswa untuk tidak langsung menerima informasi mentah-mentah.
6. Kreatif
Kreativitas bukan hanya milik para seniman. Ini adalah kemampuan untuk memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang orisinal, bermakna, bermanfaat, dan berdampak. Pelajar Pancasila didorong untuk mampu berpikir out-of-the-box dan menemukan solusi inovatif untuk berbagai permasalahan. Elemen-elemen kreativitas mencakup:
- Menghasilkan Gagasan yang Orisinal: Kemampuan untuk menghubungkan ide-ide yang tampaknya tidak berhubungan, berpikir divergen, dan menghasilkan gagasan-gagasan baru.
- Menghasilkan Karya dan Tindakan yang Orisinal: Kemampuan untuk mewujudkan gagasan-gagasan kreatif menjadi karya nyata atau tindakan solutif yang inovatif.
Aspek kreativitas bisa diukur melalui pertanyaan yang menantang siswa untuk memberikan beberapa solusi alternatif untuk sebuah masalah yang umum, atau menilai sejauh mana mereka setuju dengan pernyataan seperti "Saya suka mencoba cara-cara baru untuk menyelesaikan tugas, meskipun ada cara yang sudah biasa digunakan."
Mekanisme Pelaksanaan dan Implikasi Hasil Survei
Pelaksanaan ANBK Survei Karakter dilakukan secara daring atau semi-daring, tergantung pada kesiapan infrastruktur di masing-masing sekolah. Pesertanya adalah siswa yang dipilih secara acak (sampling) dari kelas V, VIII, dan XI. Pemilihan sampel ini bertujuan untuk mendapatkan data yang representatif tanpa membebani seluruh siswa.
Bentuk Pertanyaan dan Sifat Non-Kognitif
Pertanyaan dalam survei disajikan dalam berbagai format, seperti pilihan ganda kompleks (memilih lebih dari satu jawaban benar), skala persetujuan (misalnya, dari "Sangat Tidak Setuju" hingga "Sangat Setuju"), dan studi kasus singkat. Yang terpenting untuk dipahami adalah tidak ada jawaban yang "benar" atau "salah" secara absolut. Tujuan survei adalah menangkap kecenderungan, sikap, dan keyakinan siswa secara jujur. Oleh karena itu, siswa didorong untuk menjawab sesuai dengan apa yang mereka rasakan dan pikirkan, bukan mencari jawaban yang "dianggap baik". Kejujuran responden adalah kunci validitas data yang dihasilkan.
Pemanfaatan Hasil: Dari Data Menuju Aksi
Setelah ANBK selesai, setiap sekolah akan menerima "Rapor Pendidikan". Dokumen ini menyajikan hasil asesmen secara komprehensif, termasuk potret karakter siswa di sekolah tersebut berdasarkan enam dimensi Profil Pelajar Pancasila. Rapor ini tidak menampilkan skor individu, melainkan gambaran agregat kondisi sekolah.
Rapor Pendidikan bukanlah vonis, melainkan diagnosis. Ia adalah alat bantu bagi sekolah untuk mengenali dirinya sendiri dan merencanakan perjalanan perbaikan yang lebih terarah.
Lalu, bagaimana sekolah seharusnya memanfaatkan data berharga ini?
- Refleksi Bersama: Langkah pertama adalah melakukan refleksi bersama yang melibatkan kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan bahkan komite sekolah. Diskusikan temuan dalam Rapor Pendidikan. Area mana yang sudah menunjukkan hasil positif? Dimensi karakter mana yang masih perlu diperkuat?
- Integrasi dalam Kurikulum dan Pembelajaran: Hasil survei dapat menjadi inspirasi bagi guru untuk mengintegrasikan penguatan karakter secara lebih eksplisit dalam proses belajar-mengajar. Misalnya, jika dimensi "Bernalar Kritis" masih rendah, guru dapat merancang lebih banyak aktivitas pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning) atau proyek yang menuntut analisis dan evaluasi.
- Penguatan Program Kesiswaan dan Ekstrakurikuler: Sekolah dapat mengevaluasi kembali program-program seperti OSIS, pramuka, PMR, atau kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Apakah program-program ini sudah secara efektif menumbuhkan nilai-nilai gotong royong, kemandirian, atau kreativitas? Perbaikan dan penyesuaian mungkin diperlukan.
- Penciptaan Budaya Sekolah yang Kondusif: Karakter tidak hanya diajarkan, tetapi juga diteladankan dan dibiasakan. Hasil survei bisa menjadi pemicu untuk memperkuat budaya sekolah yang positif, seperti budaya anti-perundungan, budaya literasi, budaya kebersihan, atau budaya saling menghargai.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Implementasi sebuah instrumen evaluasi berskala nasional seperti ANBK Survei Karakter tentu tidak lepas dari tantangan. Salah satu tantangan utama adalah memastikan semua pemangku kepentingan—siswa, guru, orang tua, dan masyarakat—memahami tujuan sebenarnya dari survei ini. Sosialisasi yang masif dan berkelanjutan diperlukan agar survei tidak dianggap sebagai ujian yang menakutkan, yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kejujuran responden.
Tantangan lainnya adalah kapasitas sekolah dalam menindaklanjuti hasil. Menerjemahkan data dalam Rapor Pendidikan menjadi aksi nyata membutuhkan komitmen, kreativitas, dan kolaborasi dari seluruh warga sekolah. Pemerintah perlu memberikan pendampingan dan dukungan agar sekolah tidak merasa sendirian dalam proses perbaikan ini.
Meskipun demikian, harapan yang digantungkan pada ANBK Survei Karakter sangatlah besar. Ini adalah langkah strategis untuk mengembalikan pendidikan pada hakikatnya, yaitu sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya. Harapannya, melalui siklus asesmen-refleksi-perbaikan yang berkelanjutan, setiap sekolah di Indonesia secara bertahap dapat menjadi ekosistem yang subur bagi tumbuhnya Pelajar Pancasila.
Pada akhirnya, ANBK Survei Karakter lebih dari sekadar alat ukur. Ia adalah kompas moral bagi sistem pendidikan kita. Ia mengingatkan kita bahwa tujuan akhir pendidikan bukanlah sekadar melahirkan individu-individu yang pintar secara akademis, melainkan generasi yang beriman, berakhlak mulia, inklusif, kolaboratif, mandiri, kritis, dan kreatif. Sebuah generasi yang siap membangun Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik dan bermartabat di panggung dunia.