Dalam lintasan sejarah Islam, nama Ali bin Abi Thalib (semoga keridhaan Allah menyertainya) bukan hanya sosok khalifah yang agung, tetapi juga lambang keteguhan, ilmu, dan penerimaan total terhadap kehendak Ilahi. Konsep takdir (qada dan qadar) adalah landasan filosofis yang sangat ditekankan dalam ajarannya. Bagi Ali, menerima takdir bukanlah bentuk kepasrahan yang pasif, melainkan kesadaran aktif bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Maha Kuasa.
Ali sering kali dihadapkan pada ujian berat, mulai dari masa-masa awal dakwah Islam hingga pergolakan politik pasca wafatnya Rasulullah SAW. Dalam setiap kesulitan, prinsip yang selalu ia pegang teguh adalah bahwa ada batasan mutlak antara usaha manusia dan keputusan akhir Tuhan. Beliau mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas (ikhtiar) dalam ranah perbuatan, namun hasil akhirnya adalah murni ketetapan Allah. Inilah yang membedakan antara usaha sungguh-sungguh dan kepasrahan total.
Ketika ditanya mengenai takdir, Ali pernah menyampaikan kebijaksanaan mendalam. Ia menekankan bahwa manusia tidak boleh merasa terlalu sombong ketika berhasil, karena keberhasilan itu adalah anugerah. Sebaliknya, ia juga tidak boleh tenggelam dalam keputusasaan saat gagal, karena kegagalan itu mungkin merupakan skenario terbaik yang telah Allah gariskan demi kebaikan jangka panjangnya.
Perjalanan hidup Ali penuh dengan peristiwa yang menguji batas kesabarannya. Setelah beliau menerima baiat sebagai khalifah keempat, tantangan muncul silih berganti. Namun, menghadapi konflik dan fitnah, beliau senantiasa berpegang pada prinsip bahwa ia hanya bisa bertindak sesuai dengan apa yang ia yakini benar di mata Allah dan Rasul-Nya. Apa pun hasil akhirnya—kemenangan, kekalahan, penerimaan, atau penolakan—semua itu adalah bagian tak terpisahkan dari takdir yang harus diterima dengan lapang dada.
Sikap ini mengajarkan kita bahwa fokus utama seorang mukmin seharusnya bukan pada hasil eksternal yang tidak bisa dikontrol sepenuhnya, melainkan pada kualitas niat dan kualitas usaha yang dilakukan. Jika usaha telah maksimal dan sesuai syariat, maka hasilnya, apapun bentuknya, adalah takdir yang harus disyukuri.
Banyak orang hidup dalam kecemasan karena takut akan masa depan. Ketakutan ini muncul dari anggapan bahwa masa depan adalah kekacauan yang tak terduga. Namun, pandangan Ali bin Abi Thalib menawarkan penawar: jika segala sesuatu telah ditetapkan, maka ketenangan batin dapat dicapai dengan mengarahkan energi hanya pada hal-hal yang berada dalam kendali kita—yaitu amal saleh hari ini.
Filosofi menerima takdir ala Ali mengarahkan pada dua tindakan penting:
Dengan menggabungkan kedua prinsip ini, Ali bin Abi Thalib menunjukkan bahwa menjalani hidup bukan tentang melawan arus yang tak terelakkan, tetapi tentang mendayung perahu dengan sekuat tenaga menuju ridha Allah, sambil percaya bahwa dermaga tujuan telah ditentukan oleh Sang Maha Bijaksana. Pada akhirnya, apapun yang menjadi takdir kita adalah cerminan sempurna dari kebijaksanaan Ilahi yang melampaui pemahaman terbatas manusia.
Pelajaran dari Ali ini relevan hingga kini: hadapi hari ini dengan aksi terbaik, dan terima esok dengan hati yang teguh.