Indonesia, dengan kekayaan budaya dan sejarahnya yang luar biasa, telah menjadi titik temu berbagai peradaban dan tradisi. Salah satu aspek menarik dari kekayaan ini adalah keberadaan dan evolusi berbagai sistem penulisan yang digunakan oleh masyarakatnya. Di antara sistem penulisan yang memiliki jejak historis mendalam di Nusantara adalah aksara Jawa dan aksara Arab. Meskipun berasal dari latar belakang geografis dan budaya yang berbeda, keduanya memiliki peran signifikan dalam pelestarian ilmu pengetahuan, sastra, dan ajaran agama di wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia. Artikel ini akan mengupas tuntas hubungan dan kesamaan menarik antara aksara Jawa dan aksara Arab, serta bagaimana keduanya membentuk lanskap literasi di Indonesia.
Aksara Jawa, atau yang sering disebut Hanacaraka, adalah sistem penulisan abugida yang berasal dari pulau Jawa. Akarnya dapat ditelusuri kembali ke aksara Pallawa dari India Selatan, yang dibawa oleh para pedagang dan penyebar agama Hindu-Buddha berabad-abad yang lalu. Aksara Jawa berkembang seiring waktu, mengadopsi bentuk dan fonologi bahasa Jawa, dan menjadi media utama untuk menuliskan karya sastra, naskah sejarah, lontar, hingga prasasti. Setiap karakter dalam aksara Jawa mewakili suku kata yang terdiri dari konsonan dan vokal inheren 'a'. Untuk mengubah vokal inheren ini atau menghilangkan vokal sama sekali, digunakanlah berbagai tanda baca khusus yang disebut "sandhangan". Keindahan dan kompleksitas aksara Jawa tidak hanya terletak pada bentuk visualnya yang estetis, tetapi juga pada filosofi dan kosmologi yang terkandung di dalamnya.
Meskipun sempat menjadi primadona dalam dunia tulis-menulis di Jawa, popularitas aksara Jawa mulai menurun seiring dengan masuknya pengaruh Islam dan kemudian penjajahan Belanda. Aksara Latin yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa secara bertahap menggantikan peran aksara Jawa dalam urusan administrasi, pendidikan formal, dan komunikasi sehari-hari. Namun, semangat pelestarian aksara Jawa tetap hidup di kalangan budayawan, akademisi, dan masyarakat yang peduli terhadap warisan leluhurnya. Upaya revitalisasi terus dilakukan melalui pengajaran di sekolah, lomba menulis aksara Jawa, serta publikasi karya-karya yang ditulis menggunakan aksara tradisional ini.
Aksara Arab, yang merupakan turunan dari aksara Aram, telah menjadi tulang punggung peradaban Islam selama berabad-abad. Di Nusantara, aksara Arab mendapatkan tempat istimewa seiring dengan masuknya ajaran Islam melalui para pedagang dan mubaligh dari berbagai belahan dunia, termasuk Gujarat, Persia, dan Arab. Aksara ini digunakan untuk menyalin kitab suci Al-Qur'an, hadis, kitab-kitab fikih, tasawuf, sejarah Islam, serta karya-karya ilmiah lainnya. Kehadiran aksara Arab tidak hanya memperkenalkan bahasa Arab sebagai bahasa agama, tetapi juga membawa serta khazanah intelektual dan spiritual Islam ke tengah masyarakat Nusantara.
Sebagaimana aksara Jawa, aksara Arab juga memiliki sistem penulisannya sendiri yang khas, yaitu dari kanan ke kiri. Bentuk hurufnya yang dinamis dan kaligrafis sering kali dihias dengan indah, menjadikannya salah satu bentuk seni visual yang paling dihormati di dunia Islam. Di Indonesia, pengaruh aksara Arab sangat terlihat pada aksara Jawi (atau Melayu-Arab), yang merupakan adaptasi aksara Arab dengan penambahan beberapa huruf untuk mengakomodasi bunyi-bunyi yang tidak ada dalam bahasa Arab. Aksara Jawi pernah menjadi lingua franca di sebagian besar wilayah Nusantara, terutama di kalangan istana dan kaum terpelajar.
Meskipun berasal dari rumpun bahasa dan tradisi yang berbeda, aksara Jawa dan aksara Arab menunjukkan beberapa kesamaan menarik, baik dari segi struktural maupun fungsional.
Hubungan antara aksara Jawa dan aksara Arab, meskipun tidak secara langsung satu sama lain dalam arti perubahan bentuk, adalah hubungan yang terjalin melalui sejarah panjang interaksi budaya dan keagamaan di Indonesia. Keduanya mewakili warisan berharga yang memperkaya identitas kebangsaan Indonesia. Memahami kesamaan dan perbedaan keduanya memberikan kita apresiasi yang lebih dalam terhadap kompleksitas sejarah literasi di tanah air dan pentingnya melestarikan kedua warisan ini untuk generasi mendatang. Melalui pemahaman ini, kita dapat melihat bagaimana dua sistem penulisan yang berbeda bisa hidup berdampingan dan memberikan kontribusi yang tak ternilai bagi peradaban Nusantara.