Menggali Samudra Makna di Balik Ayat Surat An-Nasr
Pendahuluan: Sebuah Surah Penutup yang Penuh Makna
Dalam hamparan lautan hikmah Al-Qur'an, terdapat sebuah surah yang singkat namun memiliki bobot makna yang luar biasa berat. Surah tersebut adalah An-Nasr, surah ke-110 dalam mushaf, yang terdiri dari tiga ayat yang padat dan penuh isyarat. Meskipun pendek, surah ini menandai sebuah puncak, sebuah klimaks dari perjuangan dakwah yang berlangsung selama lebih dari dua dekade. Ia bukan sekadar proklamasi kemenangan, melainkan sebuah panduan adab dan spiritualitas tentang bagaimana seorang hamba seharusnya menyikapi anugerah terbesar dari Tuhannya.
Surah An-Nasr, yang berarti "Pertolongan" atau "Kemenangan", secara universal diakui oleh para ulama sebagai salah satu surah terakhir yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Karena posisinya di akhir periode kenabian, surah ini sering pula disebut sebagai Surah At-Tawdi' atau Surah Perpisahan. Setiap katanya seolah menjadi sinyal bahwa sebuah tugas agung telah paripurna, sebuah amanah risalah telah tuntas disampaikan. Memahami ayat surat an nasr berarti kita tidak hanya membaca tentang sebuah peristiwa historis, tetapi juga menyelami perasaan, refleksi, dan persiapan seorang nabi agung untuk kembali ke haribaan Sang Pencipta.
Artikel ini akan mengajak para pembaca untuk melakukan sebuah perjalanan mendalam, melampaui terjemahan harfiah, untuk menggali lapisan-lapisan makna yang terkandung di dalam setiap kata, setiap frasa, dan setiap perintah dalam Surah An-Nasr. Kita akan menjelajahi konteks historis yang melatarbelakangi turunnya surah ini, membedah analisis linguistik dari diksi pilihan Allah, serta merenungkan pelajaran abadi yang relevan bagi kehidupan kita di setiap zaman. Ini adalah sebuah upaya untuk memahami bagaimana kemenangan sejati dirayakan dalam perspektif Islam: bukan dengan euforia kesombongan, melainkan dengan sujud kerendahan hati, tasbih yang membasahi lisan, dan istighfar yang membersihkan jiwa.
Asbabun Nuzul: Konteks Historis Turunnya Ayat Kemenangan
Untuk memahami kedalaman sebuah wahyu, kita harus terlebih dahulu memahami panggung di mana wahyu itu diturunkan. Asbabun nuzul, atau sebab-sebab turunnya ayat, menjadi kunci pembuka tabir makna Surah An-Nasr. Para ulama tafsir menyepakati bahwa surah ini berkaitan erat dengan peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah), sebuah momen monumental dalam sejarah Islam. Namun, terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai waktu persis turunnya wahyu ini, apakah sesaat sebelum, selama, atau setelah peristiwa agung tersebut, atau bahkan pada momen Haji Wada' (Haji Perpisahan).
Titik tolak menuju Fathu Makkah sejatinya adalah Perjanjian Hudaibiyyah. Perjanjian ini, yang pada awalnya tampak merugikan kaum Muslimin, sesungguhnya merupakan sebuah "kemenangan yang nyata" (Fathan Mubina) seperti yang Allah sebutkan dalam Surah Al-Fath. Gencatan senjata yang disepakati membuka pintu dakwah yang lebih luas dan damai. Selama masa damai ini, Islam menyebar dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, perjanjian ini dilanggar secara sepihak oleh Suku Bakr, sekutu kaum Quraisy, yang menyerang Suku Khuza'ah, sekutu kaum Muslimin. Pelanggaran fatal ini memberikan legitimasi bagi Rasulullah ﷺ untuk mengambil tindakan.
Dengan kerahasiaan tingkat tinggi, Rasulullah ﷺ mempersiapkan pasukan terbesar yang pernah dikumpulkan oleh kaum Muslimin saat itu, sekitar sepuluh ribu prajurit. Tujuannya bukan untuk pertumpahan darah, melainkan untuk menunjukkan kekuatan Islam yang tak terbantahkan, sehingga Mekkah dapat ditaklukkan tanpa perlawanan berarti. Beliau berdoa, "Ya Allah, butakanlah mata-mata Quraisy hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba."
Maka, terjadilah peristiwa yang mengguncang jazirah Arab. Pasukan Muslim memasuki Mekkah, kota yang pernah mengusir, menyiksa, dan memerangi mereka, dengan kepala tertunduk penuh kerendahan hati. Rasulullah ﷺ, sang penakluk, memasuki kota kelahirannya di atas untanya, dengan kepala yang begitu menunduk hingga janggutnya hampir menyentuh pelana. Tidak ada arak-arakan kemenangan yang angkuh. Tidak ada balas dendam. Yang ada hanyalah pengampunan massal yang legendaris: "Pergilah kalian semua, kalian bebas!"
Dalam konteks inilah Surah An-Nasr turun. Ia adalah konfirmasi ilahi atas apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Fathu Makkah adalah manifestasi fisik dari "nashrullah" (pertolongan Allah) dan "al-fath" (kemenangan/pembukaan). Kemenangan ini bukan hanya penaklukan sebuah kota, melainkan penaklukan hati dan runtuhnya benteng kesyirikan di pusat jazirah Arab. Setelah Ka'bah disucikan dari berhala, pintu bagi manusia untuk menerima Islam terbuka lebar.
Sebuah riwayat yang masyhur menyebutkan bahwa surah ini turun di Mina saat Haji Wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Ketika surah ini dibacakan, para sahabat seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq menangis, sementara yang lain bergembira. Umar bin Khattab bertanya kepada Ibnu Abbas, seorang sahabat muda yang dijuluki "penerjemah Al-Qur'an", tentang maknanya. Ibnu Abbas menjelaskan, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah ﷺ yang Allah beritahukan kepada beliau. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan', maka itulah tanda dekatnya ajalmu. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya." Umar pun membenarkan pemahaman mendalam dari Ibnu Abbas ini. Pemahaman ini menunjukkan bahwa ayat surat an nasr membawa dua pesan besar: kabar gembira tentang kemenangan total Islam, dan sebuah isyarat halus tentang berakhirnya tugas sang pembawa risalah.
Tafsir Ayat demi Ayat: Menyelami Kedalaman Kata Ilahi
Surah An-Nasr, dengan tiga ayatnya yang ringkas, menyimpan keluasan makna yang menakjubkan. Setiap kata dipilih dengan presisi ilahiah untuk menyampaikan pesan yang komprehensif. Mari kita bedah satu per satu ayat-ayat mulia ini.
Ayat Pertama: Janji Kemenangan yang Pasti
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"
Ayat pembuka ini bukanlah sekadar kalimat berita, melainkan sebuah deklarasi kepastian dari Allah SWT. Mari kita urai keindahan linguistik dan makna di dalamnya.
إِذَا (Idzaa): Dalam tata bahasa Arab, ada dua kata utama untuk "jika" atau "ketika", yaitu 'in' dan 'idzaa'. Kata 'in' digunakan untuk sebuah kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak. Namun, Allah memilih kata 'Idzaa', yang digunakan untuk sebuah peristiwa yang pasti akan terjadi di masa depan. Pilihan kata ini mengubah kalimat dari sebuah kemungkinan menjadi sebuah janji yang tak terhindarkan. Seolah-olah Allah berfirman, "Bukan 'jika' pertolongan-Ku datang, tetapi 'ketika' ia pasti datang...". Ini adalah penegasan yang menanamkan keyakinan mutlak di hati kaum beriman.
جَاءَ (Jaa'a): Kata ini berarti "telah datang". Penggunaan bentuk kata kerja lampau (fi'il madhi) untuk peristiwa di masa depan adalah sebuah gaya bahasa Al-Qur'an yang sangat kuat, disebut sebagai isti'arah li al-mustaqbal. Tujuannya adalah untuk menekankan kepastian peristiwa tersebut, seakan-akan ia sudah terjadi dalam pengetahuan Allah yang abadi. Kemenangan itu begitu pasti sehingga ia dibicarakan seolah-olah sudah menjadi bagian dari sejarah. Ini memberikan ketenangan luar biasa bagi Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang telah berjuang begitu lama.
نَصْرُ اللَّهِ (Nashrullah): Frasa ini adalah inti dari ayat pertama. 'Nashr' berarti pertolongan yang membawa kemenangan. Namun, yang terpenting adalah penyandarannya kepada Allah (idhafah). Ia bukan sekadar 'nashr' (pertolongan), tetapi 'Nashrullah' (pertolongan Allah). Ini adalah penekanan fundamental dalam akidah Islam: kemenangan hakiki tidak berasal dari kekuatan militer, strategi jenius, jumlah pasukan, atau kecerdikan manusia. Semua itu hanyalah sebab. Sumber sejati dari setiap kemenangan adalah Allah SWT. Frasa ini mendidik kaum Muslimin untuk menanggalkan segala bentuk kebanggaan diri dan mengembalikan semua pujian kepada Sang Pemberi Kemenangan. Pertolongan ini bersifat ilahiah, melampaui kalkulasi material manusia, seperti yang terjadi dalam Perang Badar, Perang Khandaq, dan puncaknya, Fathu Makkah.
وَالْفَتْحُ (Wal-Fath): Kata 'Al-Fath' secara harfiah berarti "pembukaan". Ia dihubungkan dengan 'Nashrullah' oleh huruf 'wa' (dan), menunjukkan hubungan yang erat. Pertolongan Allah membuahkan 'Al-Fath'. Mayoritas mufassir menafsirkan 'Al-Fath' di sini secara spesifik sebagai Fathu Makkah, penaklukan kota Mekkah. Ini bukan sekadar penaklukan militer, melainkan sebuah 'pembukaan' simbolis. Mekkah yang tadinya tertutup bagi kaum Muslimin kini terbuka. Ka'bah yang terkunci oleh berhala-berhala kini dibuka dan disucikan. Hati-hati manusia yang sebelumnya terkunci oleh kejahiliyahan kini dibuka untuk menerima cahaya hidayah. Jadi, 'Al-Fath' memiliki dimensi fisik (penaklukan kota) dan dimensi spiritual (terbukanya hati dan tersebarnya Islam). Ini adalah kemenangan komprehensif yang membuka jalan bagi fase berikutnya dalam sejarah Islam.
Ayat Kedua: Buah Kemenangan yang Manis
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
Ayat kedua ini menggambarkan konsekuensi logis dan buah manis dari pertolongan Allah dan kemenangan yang telah dijanjikan pada ayat pertama. Ayat ini melukiskan sebuah pemandangan yang luar biasa indah dan mengharukan.
وَرَأَيْتَ (Wa ra'ayta): "Dan engkau melihat...". Seruan ini ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ (khitab). Ini adalah sebuah sentuhan personal yang mendalam. Allah tidak berfirman, "dan akan terlihat", tetapi "dan engkau (wahai Muhammad) akan melihat dengan mata kepalamu sendiri". Ini adalah penghargaan atas segala jerih payah, kesabaran, pengorbanan, air mata, dan darah yang telah beliau curahkan selama puluhan tahun. Beliau akan menyaksikan sendiri hasil dari perjuangannya. Ini adalah hiburan dan penyejuk hati bagi Rasulullah ﷺ.
النَّاسَ (An-Naas): "Manusia". Penggunaan kata 'An-Naas' yang bersifat umum, bukan 'al-arab' (orang Arab) atau 'quraisy' (suku Quraisy), memberikan isyarat tentang universalitas risalah Islam. Setelah benteng kesyirikan utama di Mekkah runtuh, manusia dari berbagai suku, kabilah, dan wilayah akan datang mencari kebenaran. Sejarah mencatat bahwa setelah Fathu Makkah, tahun berikutnya dikenal sebagai 'Aam al-Wufud' (Tahun Delegasi), di mana utusan dari seluruh penjuru Jazirah Arab datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka di hadapan Nabi ﷺ.
يَدْخُلُونَ (Yadkhuluuna): "Mereka masuk". Kata kerja ini berbentuk mudhari' (present/future tense), yang menunjukkan sebuah proses yang berkelanjutan dan terus-menerus. Orang-orang tidak masuk Islam dalam satu momen lalu berhenti, tetapi proses ini terus bergulir, menjadi sebuah gelombang besar yang tak terbendung. Ini juga menunjukkan bahwa keislaman mereka adalah sebuah pilihan sadar; mereka "masuk" ke dalamnya, bukan "dimasukkan" atau dipaksa.
فِي دِينِ اللَّهِ (Fii diinillah): "Ke dalam agama Allah". Sekali lagi, penyandaran (idhafah) yang krusial. Mereka tidak masuk ke dalam "agama Muhammad" atau "agama orang Arab". Mereka masuk ke dalam "agama Allah". Ini menegaskan kemurnian dan ketuhanan agama ini. Manusia kembali kepada fitrah mereka, kepada agama Sang Pencipta. Ini juga merupakan pengingat bahwa agama ini milik Allah, dan Dia-lah yang menjaga serta memenangkannya.
أَفْوَاجًا (Afwaajaa): "Berbondong-bondong" atau "dalam kelompok-kelompok besar". Ini adalah kata kunci yang melukiskan skala konversi yang masif. Sebelum Fathu Makkah, orang-orang masuk Islam secara individu atau dalam kelompok kecil, seringkali dengan sembunyi-sembunyi dan penuh risiko. Kini, setelah kemenangan itu, mereka datang dalam rombongan suku, seluruh kabilah bersama pemimpinnya, berduyun-duyun menyatakan keislaman. Kata 'afwaajaa' memberikan gambaran visual tentang gelombang manusia yang mengalir menuju cahaya Islam, sebuah pemandangan yang pastinya menjadi puncak kebahagiaan bagi Rasulullah ﷺ dan para sahabat.
Ayat Ketiga: Respon Spiritual Atas Kemenangan Duniawi
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Inilah puncak dari surah ini. Setelah menggambarkan anugerah kemenangan yang luar biasa, Allah memberikan petunjuk tentang bagaimana seharusnya anugerah itu disikapi. Respon yang diperintahkan bukanlah pesta, arogansi, atau membusungkan dada. Responnya adalah kembali kepada Allah dengan kerendahan hati yang total.
فَ (Fa): Huruf 'fa' di awal ayat ini berfungsi sebagai fa sababiyyah, yang berarti "maka sebagai akibatnya" atau "maka oleh karena itu". Ia menciptakan hubungan sebab-akibat yang langsung. Karena engkau telah menyaksikan pertolongan Allah (ayat 1) dan manusia berbondong-bondong masuk Islam (ayat 2), MAKA inilah yang harus engkau lakukan. Perintah di ayat ketiga adalah konsekuensi logis dan spiritual dari nikmat yang diterima di dua ayat sebelumnya.
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ (Fasabbih bihamdi Rabbika): "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu". Perintah ini terdiri dari dua komponen yang tak terpisahkan: Tasbih dan Hamd.
- Tasbih (سَبِّحْ): Berasal dari kata sabaha yang berarti berenang atau bergerak cepat. Secara istilah, tasbih berarti menyucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, sekutu, atau apa pun yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Ketika kita meraih kemenangan, ada potensi munculnya pemikiran bahwa "ini adalah hasil kerja kerasku" atau "ini karena strategiku yang hebat". Tasbih adalah antitesis dari pemikiran ini. Dengan bertasbih, kita mendeklarasikan, "Maha Suci Engkau ya Allah, kemenangan ini murni dari-Mu, bukan karena kekuatanku. Engkau suci dari butuh pertolongan strategiku." Ini adalah pengakuan akan transendensi dan kemandirian mutlak Allah.
- Tahmid (بِحَمْدِ): Setelah menyucikan Allah dari kekurangan (tasbih), kita kemudian memuji-Nya atas segala kesempurnaan dan anugerah-Nya (tahmid). Kita memuji-Nya karena Dia telah menepati janji-Nya, karena Dia telah memberikan pertolongan, karena Dia telah membukakan kemenangan. Tasbih membersihkan panggung dari klaim-klaim manusia, dan tahmid mengisi panggung itu dengan pujian hanya untuk Allah. Keduanya berjalan beriringan, menciptakan sikap spiritual yang seimbang.
وَاسْتَغْفِرْهُ (Wastaghfirhu): "dan mohonlah ampun kepada-Nya". Ini adalah bagian yang paling mendalam dan seringkali mengejutkan. Mengapa di puncak kemenangan dan kesuksesan, perintah yang datang adalah istighfar (memohon ampun)? Para ulama memberikan beberapa penjelasan yang indah:
- Tanda Kerendahan Hati: Istighfar adalah puncak kerendahan hati. Ia adalah pengakuan bahwa dalam setiap amal, bahkan dalam perjuangan suci sekalipun, pasti ada kekurangan, kelalaian, atau ketidaksempurnaan. Mungkin ada niat yang tidak 100% murni, mungkin ada cara yang kurang optimal, mungkin ada hak yang terabaikan. Istighfar menyempurnakan amal tersebut.
- Persiapan Kembali: Seperti yang dipahami oleh Ibnu Abbas, selesainya sebuah tugas besar menandakan dekatnya waktu untuk kembali kepada Sang Pemberi Tugas. Istighfar adalah bekal terbaik untuk persiapan menghadap Allah. Ia adalah pembersihan diri terakhir sebelum pertemuan agung. Seorang pegawai yang akan mengakhiri masa baktinya akan memastikan semua laporannya bersih dan tidak ada cela. Demikian pula seorang hamba di akhir misinya.
- Pelajaran bagi Umat: Jika Rasulullah ﷺ, yang ma'shum (terjaga dari dosa), diperintahkan untuk beristighfar di momen kemenangan terbesarnya, bagaimana lagi dengan kita yang penuh dengan dosa dan kekurangan? Ini adalah pelajaran abadi bagi umatnya untuk tidak pernah merasa puas diri dan berhenti memohon ampunan, tidak peduli seberapa besar kesuksesan yang kita raih.
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Innahuu kaana Tawwaabaa): "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat." Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan dan penuh harapan. Setelah perintah untuk beristighfar, Allah langsung meyakinkan hamba-Nya dengan sifat-Nya. Kata 'Tawwaab' adalah bentuk superlatif (sighah mubalaghah) yang berarti Dia bukan hanya menerima tobat, tetapi Maha Penerima tobat. Dia terus-menerus, berulang kali, dan dengan tangan terbuka menerima kembalinya hamba-Nya. Penggunaan kata 'kaana' (adalah/selalu) menunjukkan bahwa sifat ini adalah sifat azali Allah, bukan sesuatu yang baru. Sejak dulu, kini, dan selamanya, Dia adalah At-Tawwab. Ini adalah jaminan bahwa setiap tasbih, tahmid, dan istighfar yang kita panjatkan sebagai respons atas nikmat-Nya pasti akan diterima.
Pelajaran Abadi dari Surah An-Nasr
Meskipun diturunkan dalam konteks spesifik Fathu Makkah, ayat surat an nasr mengandung prinsip-prinsip universal yang relevan bagi setiap Muslim di setiap waktu dan tempat. Surah ini bukan hanya catatan sejarah, melainkan sebuah panduan hidup.
1. Kemenangan Sejati dan Adabnya
Pelajaran utama dari surah ini adalah tentang hakikat dan adab kemenangan. Dalam pandangan dunia materialistis, kemenangan dirayakan dengan pesta pora, kesombongan, dan klaim atas kehebatan diri. Islam membalikkan paradigma ini 180 derajat. Kemenangan, baik dalam skala besar (kemenangan komunitas) maupun skala kecil (kesuksesan personal seperti lulus ujian, mendapat promosi, atau sembuh dari sakit), adalah murni pertolongan dari Allah. Oleh karena itu, adab menyikapinya adalah dengan meningkatkan ibadah, bukan melalaikannya. Siklusnya jelas: Nikmat -> Syukur -> Ibadah. Respon yang diajarkan surah ini—tasbih, tahmid, dan istighfar—adalah formula spiritual untuk menjaga agar sebuah kemenangan tidak berubah menjadi bibit kesombongan yang akan membawa pada kehancuran.
2. Optimisme dan Keyakinan pada Janji Allah
Surah ini adalah sumber optimisme yang luar biasa. Ia diturunkan sebagai janji di tengah atau setelah perjuangan panjang yang penuh pengorbanan. Ia mengajarkan bahwa setiap kesulitan pasti akan berakhir, dan setelah kesabaran akan datang pertolongan. Bagi setiap individu atau komunitas yang sedang berjuang di jalan kebaikan, surah ini menjadi pengingat bahwa pertolongan Allah itu pasti datang. Pertanyaannya bukan "apakah" pertolongan itu akan datang, melainkan "kapan" ia akan datang dan "bagaimana" kita mempersiapkan diri untuk menyambutnya dengan adab yang benar.
3. Pentingnya Istighfar dalam Setiap Keadaan
Perintah istighfar di akhir surah adalah salah satu pelajarannya yang paling mendalam. Ia mengajarkan kita untuk tidak pernah lepas dari istighfar. Bukan hanya saat berbuat dosa, tetapi juga saat berbuat taat dan meraih sukses. Istighfar setelah shalat, istighfar setelah haji, dan istighfar setelah kemenangan adalah bukti bahwa ibadah kita tidak pernah sempurna. Selalu ada ruang untuk perbaikan. Istighfar menjaga kita tetap membumi, menyadarkan kita akan posisi kita sebagai hamba yang senantiasa butuh ampunan dan rahmat-Nya. Ia adalah pelindung dari penyakit ujub (bangga diri) dan ghurur (terpedaya).
4. Setiap Puncak adalah Awal dari Akhir
Isyarat tentang dekatnya ajal Rasulullah ﷺ setelah misinya tuntas memberikan kita sebuah refleksi tentang siklus kehidupan. Setiap amanah memiliki batas waktu. Setiap tugas memiliki garis finis. Ketika kita mencapai puncak karier, menyelesaikan proyek besar, atau melihat anak-anak kita tumbuh dewasa, itu adalah pertanda bahwa satu fase kehidupan kita telah selesai. Sebagaimana Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk bersiap kembali kepada Allah, kita pun diingatkan untuk senantiasa mempersiapkan diri untuk kepulangan kita. Kesuksesan duniawi bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah tahapan yang harus dipertanggungjawabkan dan menjadi bekal untuk kehidupan abadi.
5. Hubungan Antara Kemenangan Dakwah dan Ketundukan Hati
Surah ini menunjukkan korelasi yang indah. Ketika pertolongan Allah datang dan simbol-simbol kesyirikan runtuh (Fathu Makkah), hasilnya adalah terbukanya hati manusia untuk menerima kebenaran (manusia masuk Islam berbondong-bondong). Ini mengajarkan para juru dakwah bahwa tugas mereka adalah menyampaikan kebenaran dengan hikmah dan kesabaran, serta berusaha menghilangkan penghalang-penghalang fisik dan ideologis. Namun, yang membuka hati manusia pada akhirnya adalah Allah SWT. Kemenangan dalam dakwah tidak diukur dari berapa banyak orang yang berhasil kita "islamkan", melainkan dari seberapa ikhlas dan sungguh-sungguh kita dalam menyampaikan risalah-Nya. Hasil akhir adalah ranah-Nya.
Kesimpulan: Penutup yang Sempurna
Surah An-Nasr adalah sebuah mahakarya ilahiah yang merangkum esensi dari perjuangan, kemenangan, dan kesyukuran. Dalam tiga ayatnya yang singkat, ia menjabarkan sebuah teologi kesuksesan yang lengkap. Ia dimulai dengan kepastian janji Allah (ayat 1), dilanjutkan dengan visualisasi buah dari janji tersebut (ayat 2), dan diakhiri dengan panduan respons spiritual yang paling tepat atas karunia tersebut (ayat 3).
Membaca dan merenungi ayat surat an nasr adalah sebuah proses kalibrasi spiritual. Ia mengingatkan kita bahwa sumber segala kekuatan dan kemenangan hanyalah Allah. Ia mengajarkan kita bahwa puncak dari pencapaian duniawi haruslah diiringi dengan puncak ketundukan spiritual. Dan yang terpenting, ia memberikan kabar gembira sekaligus pengingat lembut: bahwa setiap tugas akan berakhir, dan persiapan terbaik untuk bertemu dengan Sang Pemberi Tugas adalah dengan lisan yang senantiasa basah oleh zikir, tasbih, tahmid, dan istighfar. Surah ini adalah penutup yang sempurna untuk sebuah risalah yang sempurna, dan sebuah pelajaran yang abadi untuk seluruh umat manusia.