Membedah Makna Alhamdulillah: Pintu Gerbang Ketenangan dan Syukur
Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, di tengah jutaan kata yang kita ucapkan setiap hari, ada satu frasa sederhana yang memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah perspektif, menenangkan jiwa, dan membuka pintu keberkahan. Frasa itu adalah "Alhamdulillah" (ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ). Terlontar ringan dari lisan, namun kandungannya begitu dalam dan luas, melampaui sekadar ucapan terima kasih biasa. Ini adalah sebuah deklarasi, pengakuan, dan kunci untuk memahami hakikat hubungan antara hamba dengan Penciptanya.
Artikel ini akan membawa kita menyelami samudra makna yang terkandung dalam bacaan Alhamdulillah. Kita akan membedah setiap katanya, menjelajahi kemunculannya dalam Al-Qur'an dan Hadits, memahami perbedaannya dengan konsep syukur (syukr), dan yang terpenting, menemukan cara untuk mengintegrasikan semangat Alhamdulillah ke dalam setiap detak jantung dan helaan napas kita. Ini bukan sekadar kajian linguistik, melainkan sebuah perjalanan spiritual untuk menemukan kembali sumber kebahagiaan sejati.
Analisis Leksikal: Membongkar Struktur Kata "Alhamdulillah"
Untuk memahami kedalaman sebuah frasa, kita perlu memulainya dari fondasi dasarnya, yaitu kata-kata yang menyusunnya. "Alhamdulillah" terdiri dari tiga komponen utama yang masing-masing membawa makna fundamental.
1. "Al-" (ال)
Awalan "Al-" dalam bahasa Arab adalah sebuah artikel definitif (ma'rifah), setara dengan "the" dalam bahasa Inggris. Namun, dalam konteks "Al-Hamdu", para ulama tafsir menjelaskan bahwa "Al-" di sini memiliki fungsi yang lebih luas, yaitu lil istighraq, yang berarti mencakup keseluruhan, totalitas, atau segala jenis. Jadi, ketika kita mengucapkan "Al-Hamdu", kita tidak sedang membicarakan satu jenis pujian saja, melainkan segala bentuk pujian, seluruh pujian yang pernah terucap, yang sedang terucap, dan yang akan terucap oleh seluruh makhluk di alam semesta. Pujian dari malaikat, manusia, jin, hewan, tumbuhan, bahkan benda mati yang bertasbih dengan cara mereka sendiri—semuanya tercakup dalam "Al-" ini. Ini adalah pengakuan bahwa totalitas pujian adalah milik Allah semata.
2. "Hamd" (حمد)
Inilah inti dari frasa ini. "Hamd" sering diterjemahkan sebagai "pujian". Namun, maknanya jauh lebih kaya daripada itu. Dalam tradisi linguistik Arab, ada beberapa kata yang berdekatan artinya namun memiliki nuansa berbeda, seperti Mad-h (مدح) dan Syukr (شكر).
- Mad-h (Pujian biasa): Mad-h adalah pujian yang bisa diberikan kepada siapa saja, baik karena kebaikan yang ia berikan maupun karena kualitas yang dimilikinya, bahkan jika kualitas itu tidak memberimu manfaat langsung. Anda bisa memuji seorang penyair di masa lalu atas keindahan syairnya. Pujian ini bisa tulus, bisa juga tidak.
- Syukr (Syukur/Terima Kasih): Syukr adalah ungkapan terima kasih yang spesifik sebagai respons atas sebuah kebaikan atau nikmat yang diterima. Anda bersyukur kepada seseorang karena ia telah menolong Anda. Syukr selalu terikat dengan adanya nikmat yang mendahuluinya.
- Hamd (Pujian Agung): Hamd berada di tingkatan yang lebih tinggi dan lebih komprehensif. Hamd adalah pujian yang didasari oleh rasa cinta (mahabbah) dan pengagungan (ta'zhim). Kita melakukan hamd kepada Allah bukan hanya karena nikmat yang telah Dia berikan (seperti syukr), tetapi juga karena kesempurnaan Dzat dan Sifat-sifat-Nya yang agung, terlepas dari apakah kita menerima nikmat tersebut secara langsung atau tidak. Kita memuji Allah karena Dia adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih), Al-'Alim (Maha Mengetahui), Al-Hakim (Maha Bijaksana), bahkan sebelum kita merasakan buah dari sifat-sifat tersebut. Jadi, hamd mencakup syukr, tetapi jauh lebih luas.
Dengan demikian, "Al-Hamdu" berarti segala pujian agung yang tulus, yang lahir dari cinta dan pengagungan, atas kesempurnaan Dzat dan perbuatan-Nya.
3. "Li-llah" (لله)
Bagian terakhir ini terdiri dari preposisi "Li-" (لِ) yang berarti "untuk", "milik", atau "kepunyaan", dan "Allah" (الله), nama agung Tuhan Yang Maha Esa. Gabungan "Lillah" menegaskan kepemilikan dan tujuan akhir. Ia menyatakan bahwa segala bentuk pujian agung yang telah kita definisikan tadi pada hakikatnya hanya pantas dan hanya berhak disematkan kepada Allah. Pujian yang kita berikan kepada makhluk pada dasarnya adalah pujian kepada Sang Pencipta yang telah menganugerahkan kelebihan pada makhluk tersebut. Ketika kita memuji keindahan alam, kepintaran seseorang, atau kelezatan makanan, secara esensial kita sedang memuji Allah yang menciptakan itu semua. "Lillah" mengarahkan semua vektor pujian menuju satu titik pusat: Allah SWT.
Jadi, terjemahan harfiah "Segala puji bagi Allah" sebenarnya sudah cukup baik, namun pemahaman mendalamnya adalah: "Totalitas pujian yang sempurna, yang lahir dari rasa cinta dan pengagungan, hanya dan selamanya menjadi hak mutlak milik Allah, Sang Pemilik Kesempurnaan Dzat dan Sifat."
Alhamdulillah dalam Al-Qur'an: Fondasi Kitab Suci
Posisi kalimat Alhamdulillah dalam Al-Qur'an menunjukkan betapa sentralnya konsep ini dalam pandangan dunia Islam. Ia bukan sekadar kalimat biasa, melainkan pilar utama yang menyangga seluruh bangunan wahyu.
Pembuka Surah Al-Fatihah
Ayat yang paling terkenal mengandung frasa ini adalah ayat kedua dari surah pertama, Al-Fatihah, yang menjadi "ibu" dari Al-Qur'an (Ummul Kitab).
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
"Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam." (QS. Al-Fatihah: 2)
Mengapa Al-Qur'an dimulai dengan pujian? Ini mengajarkan sebuah adab fundamental kepada manusia. Sebelum meminta (seperti dalam ayat "Ihdinash-shirathal mustaqim"), sebelum menyatakan komitmen ("Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in"), hal pertama yang harus dilakukan seorang hamba adalah mengakui keagungan Tuhannya. Dengan memulai dengan "Alhamdulillah", kita menempatkan diri pada posisi yang benar: sebagai hamba yang fana di hadapan Sang Pencipta Yang Maha Sempurna. Kita mengakui bahwa semua yang ada, termasuk diri kita dan kemampuan kita untuk berdoa, adalah anugerah dari-Nya. Ini adalah pengakuan awal yang melandasi seluruh interaksi kita dengan Allah. Ayat ini langsung dilanjutkan dengan "Rabbil 'alamin" (Tuhan seluruh alam), yang memberikan alasan mengapa pujian itu mutlak milik-Nya: karena Dialah yang menciptakan, memelihara, mengatur, dan menguasai segala sesuatu.
Penutup Doa Para Penghuni Surga
Jika Al-Fatihah menunjukkan Alhamdulillah sebagai pembuka interaksi dengan Allah di dunia, Al-Qur'an juga menunjukkan bahwa kalimat ini akan menjadi penutup dari segala kenikmatan di akhirat.
...وَءَاخِرُ دَعْوَىٰهُمْ أَنِ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
"...Dan penutup doa mereka ialah: 'Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin' (segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam)." (QS. Yunus: 10)
Ayat ini menggambarkan keadaan para penghuni surga. Setelah merasakan segala kenikmatan abadi yang tak terbayangkan, kata terakhir yang terucap dari lisan mereka adalah Alhamdulillah. Ini menunjukkan bahwa puncak dari kebahagiaan dan kepuasan tertinggi adalah kesadaran penuh untuk memuji Allah. Di surga, tidak ada lagi permintaan, tidak ada lagi keluh kesah. Yang tersisa hanyalah gelombang pujian dan syukur yang tak berkesudahan atas segala karunia-Nya. Kalimat ini menjadi awal dan akhir, pembuka di dunia dan penutup di surga.
Pujian Atas Penciptaan dan Wahyu
Al-Qur'an juga menggunakan Alhamdulillah dalam konteks spesifik untuk mensyukuri nikmat penciptaan dan nikmat diturunkannya petunjuk.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَجَعَلَ ٱلظُّلُمَٰتِ وَٱلنُّورَ...
"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang..." (QS. Al-An'am: 1)
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ
"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya." (QS. Al-Kahfi: 1)
Dua ayat pembuka dari dua surah yang berbeda ini menyoroti dua nikmat terbesar: nikmat ijad (penciptaan) dan nikmat hidayah (petunjuk). Surah Al-An'am memuji Allah atas penciptaan alam semesta fisik, langit dan bumi, gelap dan terang. Ini adalah nikmat eksistensial. Tanpa penciptaan-Nya, kita tidak akan ada. Sementara itu, Surah Al-Kahfi memuji Allah atas diturunkannya Al-Qur'an, petunjuk yang lurus tanpa kebengkokan. Ini adalah nikmat spiritual. Tanpa petunjuk-Nya, kita akan tersesat dalam kegelapan meskipun kita ada secara fisik. Mengucapkan Alhamdulillah berarti mengakui dan mensyukuri kedua dimensi nikmat ini secara bersamaan.
Alhamdulillah dalam Sunnah: Praktik Kehidupan Sehari-hari
Nabi Muhammad ﷺ, sebagai teladan terbaik, menunjukkan kepada kita bagaimana mengintegrasikan Alhamdulillah menjadi napas kehidupan. Beliau tidak hanya mengajarkannya, tetapi juga mempraktikkannya dalam setiap aspek, mengubah hal-hal yang dianggap sepele menjadi ibadah yang bernilai.
Setelah Makan dan Minum
Salah satu praktik yang paling umum adalah mengucapkan Alhamdulillah setelah selesai makan dan minum. Ini bukan sekadar etiket, tetapi sebuah pengakuan mendalam.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya Allah benar-benar ridha terhadap seorang hamba yang jika ia makan suatu makanan, ia memuji Allah atasnya, dan jika ia minum suatu minuman, ia memuji Allah atasnya." (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan betapa besarnya nilai pujian setelah makan. Keridhaan Allah, sesuatu yang dicari oleh setiap Muslim, bisa diraih dengan amalan yang begitu sederhana. Mengapa? Karena saat kita mengucapkan Alhamdulillah, kita mengakui bahwa makanan yang baru saja kita nikmati bukanlah hasil usaha kita semata. Ada proses panjang yang seluruhnya berada dalam kuasa Allah: dari turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, hingga kemampuan tubuh kita untuk mencerna dan mengambil manfaat darinya. Ucapan ini mengubah makan dari sekadar aktivitas biologis menjadi sebuah ibadah syukur.
Ketika Bersin
Praktik lain yang diajarkan Rasulullah ﷺ adalah mengucapkan Alhamdulillah setelah bersin.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, "Jika salah seorang dari kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan 'Alhamdulillah', dan hendaklah saudaranya (yang mendengar) mendoakannya dengan 'Yarhamukallah' (semoga Allah merahmatimu). Jika saudaranya mengucapkan 'Yarhamukallah', maka hendaklah ia membalasnya dengan 'Yahdikumullah wa yushlih baalakum' (semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki keadaanmu)." (HR. Bukhari)
Secara medis, bersin adalah mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing dan juga merupakan proses pelepasan tekanan besar dari dalam tubuh. Mengucapkan Alhamdulillah setelahnya adalah bentuk syukur atas nikmat kesehatan dan perlindungan Allah dari penyakit. Dialog yang terjadi setelahnya—saling mendoakan—menunjukkan bagaimana satu ucapan Alhamdulillah dapat mempererat tali persaudaraan dan menyebarkan rahmat di antara sesama Muslim.
Kalimat yang Mengisi Timbangan Kebaikan
Rasulullah ﷺ juga menekankan bobot spiritual dari kalimat ini, menggambarkannya sebagai sesuatu yang sangat berat dalam timbangan amal di hari kiamat.
"Kesucian (thaharah) itu setengah dari iman. 'Alhamdulillah' itu memenuhi timbangan (Mizan). 'Subhanallah walhamdulillah' keduanya memenuhi antara langit dan bumi." (HR. Muslim)
Analogi ini sungguh luar biasa. Jika kita membayangkan sebuah timbangan amal yang begitu besar, yang akan menimbang seluruh perbuatan kita, maka satu ucapan "Alhamdulillah" yang tulus sudah cukup untuk memenuhinya. Ini bukan karena panjangnya kalimat, tetapi karena kedalaman makna yang dikandungnya: sebuah pengakuan total atas keagungan Allah yang mencakup seluruh eksistensi. Ini mengajarkan kita untuk tidak pernah meremehkan zikir, betapapun singkatnya.
Perbedaan Mendasar Antara Hamd dan Syukr
Meskipun sering digunakan secara bergantian, para ulama telah menggarisbawahi perbedaan esensial antara Hamd (pujian) dan Syukr (syukur). Memahami perbedaan ini akan memperkaya makna Alhamdulillah bagi kita.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, dalam kitabnya yang monumental Madarij As-Salikin, menjelaskan perbedaan ini dengan sangat indah.
- Penyebabnya: Syukur (syukr) dilakukan secara spesifik sebagai balasan atas suatu nikmat yang telah diterima. Ada sebab-akibat yang jelas: Anda menerima kebaikan, lalu Anda bersyukur. Di sisi lain, Pujian (hamd) lebih luas. Kita memuji Allah bukan hanya karena nikmat yang Dia berikan, tetapi juga karena kesempurnaan Dzat dan Sifat-Nya. Kita memuji-Nya karena Dia adalah Al-Ghafur (Maha Pengampun) bahkan saat kita tidak berbuat dosa, kita memuji-Nya sebagai Asy-Syafi (Maha Penyembuh) bahkan saat kita sehat. Hamd adalah untuk siapa Allah itu, sedangkan syukr adalah untuk apa yang Allah berikan.
- Objeknya: Anda bisa bersyukur kepada manusia yang berbuat baik kepada Anda. Namun, Al-Hamd dalam pengertiannya yang paling sempurna (dengan awalan "Al-") hanya layak ditujukan kepada Allah. Pujian kepada makhluk bersifat terbatas dan metaforis, sementara pujian kepada Allah bersifat mutlak dan hakiki.
- Cara Mengungkapkannya: Syukur memiliki tiga pilar: (a) pengakuan dalam hati bahwa nikmat itu dari Allah, (b) pengucapan dengan lisan (misalnya dengan mengatakan Alhamdulillah), dan (c) penggunaan nikmat tersebut dalam ketaatan kepada Allah (misalnya menggunakan harta untuk bersedekah, menggunakan kesehatan untuk beribadah). Sementara itu, Hamd lebih terfokus pada pengakuan dan ekspresi verbal/hati atas keagungan-Nya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa Hamd lebih umum dari satu sisi dan lebih khusus dari sisi lain. Lebih umum karena penyebabnya bisa karena nikmat atau tanpa nikmat (karena Dzat-Nya). Lebih khusus karena ia hanya pantas ditujukan kepada Allah dalam bentuknya yang mutlak. Dengan mengucapkan "Alhamdulillah", kita sebenarnya telah mencakup makna syukur di dalamnya, sekaligus melampauinya. Kita tidak hanya berterima kasih, tetapi kita juga mengagumi Sang Pemberi Nikmat itu sendiri.
Alhamdulillah 'ala Kulli Hal: Pujian dalam Setiap Keadaan
Salah satu tingkatan tertinggi dalam mengamalkan Alhamdulillah adalah mampu mengucapkannya tidak hanya saat menerima kabar baik, tetapi juga saat ditimpa musibah. Rasulullah ﷺ memberikan teladan dalam hal ini.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Rasulullah ﷺ jika melihat sesuatu yang beliau sukai, beliau mengucapkan: "Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush shalihat" (Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan). Dan jika beliau melihat sesuatu yang tidak beliau sukai, beliau mengucapkan: "Alhamdulillah 'ala kulli hal" (Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan). (HR. Ibnu Majah, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Mengucapkan "Alhamdulillah 'ala kulli hal" saat kesulitan bukanlah bentuk kepasrahan yang pasif atau penyangkalan terhadap rasa sakit. Sebaliknya, ini adalah sebuah pernyataan iman yang sangat kuat. Ini adalah pengakuan bahwa:
- Allah Maha Bijaksana: Kita mungkin tidak memahami hikmah di balik musibah ini, tetapi kita yakin bahwa Allah, dengan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, memiliki rencana yang lebih baik. Ada kebaikan tersembunyi yang belum kita lihat.
- Nikmat Lain Masih Ada: Musibah yang menimpa kita mungkin hanya satu aspek kecil dari kehidupan. Di tengah kesulitan itu, masih ada ribuan nikmat lain yang sering kita lupakan: nikmat napas, nikmat iman, nikmat kesehatan pada organ tubuh lainnya, dan lain-lain. Ucapan ini mengalihkan fokus kita dari apa yang hilang kepada apa yang masih ada.
- Penggugur Dosa: Musibah yang dihadapi dengan sabar dan rida dapat menjadi sarana penggugur dosa dan peninggi derajat di sisi Allah. Alhamdulillah karena Allah masih peduli untuk membersihkan kita melalui ujian.
- Semua Berasal dari Allah dan Akan Kembali kepada-Nya: Ini adalah bentuk lain dari istirja' (mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un). Kita mengakui bahwa kita dan semua yang kita miliki adalah milik Allah, dan Dia berhak mengambilnya kapan saja.
Kemampuan untuk mengucapkan "Alhamdulillah 'ala kulli hal" dengan tulus dari hati adalah buah dari pemahaman tauhid yang mendalam. Ini adalah puncak dari ketenangan jiwa, di mana kebahagiaan seorang hamba tidak lagi bergantung pada pasang surutnya kondisi duniawi, melainkan pada hubungannya yang stabil dan kokoh dengan Allah SWT.
Menginternalisasi Alhamdulillah: Menuju Kehidupan yang Penuh Berkah
Mengetahui makna Alhamdulillah adalah satu hal, tetapi menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari diri adalah sebuah perjalanan seumur hidup. Ini bukan tentang pengucapan mekanis, melainkan tentang menumbuhkan "lensa Alhamdulillah" dalam memandang dunia.
1. Latihan Kesadaran (Mindfulness) Nikmat
Seringkali kita gagal bersyukur karena kita menganggap remeh nikmat-nikmat kecil. Mulailah hari dengan sengaja mencari hal-hal untuk dipuji. Saat bangun tidur, ucapkan Alhamdulillah bukan hanya karena diberi kehidupan lagi, tetapi sadari detailnya: mata yang masih bisa melihat, paru-paru yang bisa menghirup udara segar, kaki yang bisa menopang tubuh. Saat sarapan, rasakan setiap suap dan pikirkan perjalanan panjang makanan itu hingga sampai ke piring Anda. Latihan ini akan mempertajam kepekaan kita terhadap anugerah Allah yang tak terhitung jumlahnya.
2. Mengubah Keluhan Menjadi Pujian
Setiap kali dorongan untuk mengeluh muncul, berhentilah sejenak. Cobalah untuk membingkai ulang situasi tersebut dengan lensa Alhamdulillah. Terjebak macet? Alhamdulillah, masih punya kendaraan dan diberi waktu lebih untuk berzikir. Pekerjaan menumpuk? Alhamdulillah, masih punya pekerjaan yang halal. Anak-anak membuat rumah berantakan? Alhamdulillah, diberi karunia anak-anak yang sehat dan aktif. Pergeseran perspektif ini secara bertahap akan mengubah pola pikir kita dari negatif menjadi positif, dari kekurangan menjadi kelimpahan.
3. Merenungkan Asma'ul Husna (Nama-nama Allah yang Indah)
Seperti yang telah dibahas, Hamd berkaitan erat dengan Dzat dan Sifat Allah. Luangkan waktu setiap hari untuk merenungkan satu atau dua dari Asma'ul Husna. Pikirkan bagaimana sifat Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki) termanifestasi dalam hidup Anda, bagaimana sifat Al-Latif (Maha Lembut) telah melindungi Anda dari bahaya yang tak Anda sadari. Semakin dalam kita mengenal Allah melalui nama-nama-Nya, semakin tulus dan kuat pujian (hamd) yang keluar dari lisan dan hati kita.
4. Menjadikannya Zikir Rutin
Jadikan Alhamdulillah sebagai bagian dari zikir harian Anda, terutama setelah shalat. Mengucapkannya sebanyak 33 kali setelah shalat fardhu, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi ﷺ, adalah cara yang sangat efektif untuk menanamkan kalimat ini ke dalam alam bawah sadar kita. Lama-kelamaan, lisan akan secara otomatis mengucapkannya di berbagai kesempatan tanpa perlu dipikirkan secara sadar.
Kesimpulan: Kunci Pembuka Segala Kebaikan
"Alhamdulillah" lebih dari sekadar dua kata. Ia adalah sebuah worldview, sebuah filosofi hidup, sebuah deklarasi iman yang paling mendasar. Ia adalah pengakuan bahwa segala kebaikan berasal dari Allah, segala kesempurnaan adalah milik-Nya, dan segala pujian pada akhirnya kembali kepada-Nya. Dengan memahami dan menginternalisasi maknanya, kita membuka pintu menuju ketenangan jiwa, kepuasan hati (qana'ah), dan optimisme yang tak tergoyahkan oleh badai kehidupan.
Ia mengajarkan kita untuk melihat keindahan dalam kesederhanaan, hikmah dalam kesulitan, dan anugerah dalam setiap tarikan napas. Ia adalah kalimat pertama yang kita baca dalam Kitabullah dan kalimat terakhir yang diucapkan para penghuni surga. Semoga kita semua dimampukan oleh Allah untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang lisannya senantiasa basah dengan zikir, dan hatinya senantiasa bergetar dengan pujian kepada-Nya.
Alhamdulillahilladzi hadana lihadza wa ma kunna linahtadiya laula an hadanallah.
(Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.)