Ilustrasi: Kerapuhan ekspektasi manusia.
Kearifan Ali bin Abi Thalib Tentang Ekspektasi
Dalam pergulatan kehidupan, manusia secara kodrati senantiasa menanamkan harapan. Harapan ini bisa ditujukan pada diri sendiri, masa depan, atau, yang paling sering menjadi sumber gejolak batin, pada sesama manusia. Mengenai hal ini, terdapat sebuah kebijaksanaan mendalam yang sering dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, seorang figur sentral dalam sejarah Islam: "Berharap pada manusia akan mendatangkan kekecewaan." Kutipan ini bukan sekadar ungkapan pesimisme, melainkan sebuah pengamatan tajam mengenai hakikat dasar sifat kemanusiaan.
Mengapa harapan yang ditambatkan pada manusia cenderung berujung pada rasa kecewa? Jawabannya terletak pada sifat dasar manusia itu sendiri. Manusia, sehebat atau semulia apa pun ia, adalah makhluk yang rentan terhadap kekurangan, berubah-ubah, dan memiliki keterbatasan. Mereka bisa lupa, terdorong oleh kepentingan pribadi, atau sekadar gagal memenuhi standar ideal yang kita tetapkan dalam benak kita.
Ali bin Abi Thalib, melalui pengalamannya yang kaya sebagai pemimpin besar, menyadari bahwa menempatkan jangkar kebahagiaan atau kepastian nasib sepenuhnya pada orang lain adalah sebuah kesalahan strategis dalam menjalani hidup. Ketika kita menaruh harapan besar pada janji seorang teman, kesetiaan seorang rekan, atau konsistensi seorang pemimpin, kita sedang membangun istana di atas pasir yang mudah tersapu gelombang.
Perbedaan Antara Harapan dan Ketergantungan
Penting untuk membedakan antara memiliki harapan dalam konteks positif (seperti berharap saudara kita sukses) dengan membangun ketergantungan emosional atau fungsional yang absolut pada orang lain. Harapan yang sehat adalah harapan yang disertai dengan upaya mandiri dan kesadaran akan kemungkinan kegagalan. Namun, ketika harapan itu bertransformasi menjadi satu-satunya sumber validasi diri atau sumber solusi atas masalah kita, maka pintu kekecewaan sudah terbuka lebar.
Kekecewaan timbul bukan hanya karena orang lain tidak memenuhi ekspektasi kita, tetapi juga karena kita telah melupakan bahwa setiap individu membawa beban, kelemahan, dan agenda tersendiri yang mungkin bertentangan dengan harapan kita. Harapan yang berlebihan pada manusia seringkali merupakan refleksi dari keinginan kita untuk melihat versi ideal dari mereka, bukan versi nyata mereka.
Menghadapi Realitas dengan Kekuatan Batin
Lalu, bagaimana seharusnya kita hidup jika tidak boleh berharap pada sesama? Bijak kebijaksanaan ini mengajarkan kita untuk menggeser fokus harapan. Jika harapan pada manusia sering mengecewakan, maka harapan yang paling aman dan abadi adalah harapan yang diarahkan kepada sumber kekuatan yang tidak pernah berubah: Tuhan Yang Maha Esa. Ketergantungan pada kekuatan ilahi memberikan landasan emosional yang jauh lebih stabil.
Selain itu, kesadaran ini mendorong individu untuk meningkatkan kemandirian dan ketahanan diri. Ketika kita tidak lagi bergantung pada pujian atau bantuan orang lain untuk merasa utuh, setiap tindakan baik yang mereka lakukan akan menjadi bonus yang menyenangkan, bukan lagi sebuah keharusan yang jika tidak terpenuhi akan melukai jiwa. Dengan menerima ketidaksempurnaan orang lain—dan juga ketidaksempurnaan diri kita sendiri—kita dapat membangun hubungan yang lebih realistis dan mengurangi intensitas rasa sakit saat terjadi perbedaan pendapat atau kegagalan.
Intinya, pesan Ali bin Abi Thalib adalah sebuah undangan untuk hidup lebih realistis, lebih mandiri, dan menempatkan sumber kepastian pada fondasi yang kokoh. Manusia adalah kawan seperjalanan yang indah, namun bukan tumpuan akhir bagi jiwa yang mencari kedamaian.