Pertanyaan mengenai bunyi lafal terakhir Surah An-Nasr ayat 3 adalah sebuah gerbang pembuka menuju samudra hikmah yang luas. Secara singkat dan teknis, bunyi lafal terakhir dari ayat tersebut ketika berhenti (waqaf) adalah "Tawwābā". Bunyi akhir yang terdengar jelas adalah "-bā", sebuah vokal 'a' yang dipanjangkan sebagai penerapan salah satu kaidah ilmu tajwid.
Namun, jawaban ini barulah permukaan dari sebuah lautan makna yang agung. Bunyi "-bā" yang kita dengar bukanlah sekadar fonetik, melainkan kulminasi dari sebuah surah pendek yang merangkum esensi kemenangan, kerendahan hati, dan hakikat hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Untuk memahaminya secara utuh, kita perlu menyelam lebih dalam, membedah setiap lapisannya, mulai dari tajwid, tafsir, hingga konteks historis yang melingkupinya.
Kaligrafi "Surah An-Nasr"
Analisis Ayat Terakhir: Sebuah Perintah Agung di Puncak Kejayaan
Mari kita perhatikan secara saksama ayat ketiga dari Surah An-Nasr secara keseluruhan. Ayat ini menjadi penutup dan puncak dari pesan yang disampaikan dalam surah tersebut.فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Terjemahannya: "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia adalah Maha Penerima taubat."
Ayat ini terdiri dari beberapa segmen perintah dan penegasan yang saling berkaitan. Jika kita bedah lebih lanjut, kita akan menemukan struktur yang sangat indah:- Perintah Pertama: Tasbih (فَسَبِّحْ - Fa Sabbiḥ). Ini adalah perintah untuk menyucikan Allah dari segala kekurangan.
- Perintah Kedua: Tahmid (بِحَمْدِ رَبِّكَ - Biḥamdi Rabbika). Perintah untuk memuji Allah, menyandingkan kesucian-Nya dengan pujian atas segala karunia-Nya.
- Perintah Ketiga: Istighfar (وَاسْتَغْفِرْهُ - Wastagfirh). Perintah untuk memohon ampunan kepada-Nya.
- Penegasan: Sifat Allah (إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا - Innahū kāna tawwābā). Sebuah penegasan yang menenangkan hati bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Penerima taubat.
Kaidah Tajwid pada Lafal "Tawwābā"
Bunyi "-bā" yang memanjang di akhir kata تَوَّابًا saat kita berhenti membacanya (waqaf) diatur oleh sebuah kaidah tajwid yang disebut **Mad 'Iwadh**.Secara bahasa, 'Mad' berarti panjang, dan 'Iwadh' berarti pengganti. Mad 'Iwadh terjadi apabila ada huruf yang berharakat Fathatain (ـً) dan bacaan diwaqafkan (dihentikan). Dalam kasus ini, bunyi tanwin (an) dihilangkan dan diganti dengan bacaan mad (panjang) sebanyak dua harakat atau satu alif.
Jadi, kata تَوَّابًا (Tawwāban) jika dibaca bersambung (wasal) dengan ayat selanjutnya (jika ada) akan berbunyi "-ban". Namun, karena ini adalah akhir ayat dan akhir surah, maka secara alami kita akan berhenti. Saat berhenti inilah kaidah Mad 'Iwadh berlaku, mengubah bunyi "-ban" menjadi "-bā" yang dipanjangkan.
Kaidah ini tidak hanya berlaku di sini. Ia berlaku di seluruh Al-Qur'an pada kata-kata yang berakhir dengan fathatain, kecuali jika huruf terakhirnya adalah Ta Marbutah (ة). Contoh lain adalah pada kata عَلِيمًا (dibaca 'Alīmā saat waqaf) atau حَكِيمًا (dibaca Ḥakīmā saat waqaf). Keindahan tajwid memastikan bahwa setiap pemberhentian dalam bacaan Al-Qur'an memiliki ritme dan keharmonisan yang terjaga.Konteks Surah An-Nasr: Surat Kemenangan dan Isyarat Perpisahan
Untuk memahami kedalaman makna di balik perintah bertasbih, bertahmid, dan beristighfar yang diakhiri dengan penegasan sifat Allah At-Tawwab, kita harus memahami kapan dan mengapa surah ini diturunkan. Surah An-Nasr (Pertolongan) adalah salah satu surah Madaniyyah yang, menurut banyak riwayat, merupakan surah terakhir yang turun secara lengkap.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)
Terjemahannya: "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (1), dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah (2), maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia adalah Maha Penerima taubat (3)."
Asbabun Nuzul: Peristiwa Fathu Makkah
Para ulama tafsir sepakat bahwa surah ini turun berkaitan dengan peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Ini adalah puncak dari perjuangan dakwah Rasulullah ﷺ selama lebih dari dua dekade. Sebuah kemenangan besar yang diraih tanpa pertumpahan darah yang berarti. Kota yang dahulu mengusir beliau dan para sahabatnya, kini membuka gerbangnya dan tunduk pada panji tauhid.Peristiwa Fathu Makkah bukanlah sekadar penaklukan militer, melainkan kemenangan ideologi, moral, dan spiritual. Saat itu, Rasulullah ﷺ menunjukkan akhlak termulia dengan memberikan ampunan massal kepada penduduk Makkah yang pernah memusuhi beliau.Ayat pertama dan kedua (إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ، وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا) adalah gambaran langsung dari peristiwa agung ini. Pertolongan (نَصْرُ) dari Allah telah tiba, kemenangan (الْفَتْحُ) telah terwujud, dan hasilnya adalah manusia dari berbagai kabilah Arab datang berbondong-bondong (أَفْوَاجًا) untuk memeluk Islam. Di tengah euforia kemenangan inilah, ayat ketiga turun sebagai pedoman. Apa respons yang paling tepat saat berada di puncak kesuksesan? Bukan pesta pora. Bukan arogansi. Bukan balas dendam. Melainkan, kembali kepada Allah dengan tiga amalan inti: Tasbih, Tahmid, dan Istighfar.
Isyarat Dekatnya Ajal Rasulullah ﷺ
Surah ini juga membawa sebuah pesan tersembunyi yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang memiliki pemahaman mendalam. Sahabat-sahabat senior seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ibnu Abbas memahami surah ini sebagai pertanda bahwa tugas Rasulullah ﷺ di dunia telah tuntas. Kemenangan total telah diraih, risalah telah tersampaikan secara sempurna. Ini berarti, waktu bagi beliau untuk kembali ke haribaan-Nya telah dekat.Diriwayatkan bahwa ketika surah ini turun, Rasulullah ﷺ membacakannya kepada para sahabat. Banyak yang bergembira, namun Abu Bakar menangis. Ketika ditanya, beliau menjawab, "Ini adalah pertanda wafatnya Rasulullah ﷺ." Logikanya sederhana: jika tugas telah paripurna, maka sang utusan akan dipanggil pulang.
Pemahaman ini menambah kedalaman makna pada ayat ketiga. Perintah untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar bukan hanya sebagai respons atas kemenangan, tetapi juga sebagai persiapan untuk bertemu dengan Allah. Ini adalah amalan penutup, sebuah penyempurnaan dari seluruh amal yang telah dilakukan sepanjang hidup.
Tafsir Mendalam: Menggali Mutiara Hikmah dari Setiap Kata
Sekarang, mari kita gali lebih dalam makna dari setiap segmen pada ayat ketiga, yang berujung pada kata "Tawwābā".1. Tasbih (فَسَبِّحْ): Menyucikan Allah di Tengah Kemenangan
Tasbih berasal dari kata سَبَحَ (sabaḥa) yang berarti 'berenang' atau 'bergerak cepat'. Secara istilah, tasbih berarti menyucikan Allah dari segala sifat kekurangan, sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya, dan dari segala bentuk penyerupaan dengan makhluk-Nya. Ketika kita mengucapkan "Subhanallah", kita sedang mendeklarasikan, "Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan."
Perintah untuk bertasbih setelah meraih kemenangan besar adalah sebuah pelajaran fundamental tentang kerendahan hati. Kemenangan Fathu Makkah bisa dengan mudah menimbulkan rasa bangga dan sombong dalam diri manusia. Dengan bertasbih, seorang Muslim diingatkan bahwa kemenangan ini murni berasal dari Allah. Bukan karena kekuatan pasukan, kehebatan strategi, atau keunggulan persenjataan. Semua itu hanyalah sarana. Hakikat pertolongan dan kemenangan datang dari Dzat Yang Maha Suci dari segala ketergantungan pada sebab-akibat duniawi.
Tasbih adalah pengakuan bahwa "aku dan pasukanku tidak memiliki andil hakiki dalam kemenangan ini, semua ini adalah karya-Mu semata, ya Allah. Engkau Maha Suci dari membutuhkan bantuanku atau bantuan siapapun."2. Tahmid (بِحَمْدِ رَبِّكَ): Memuji Allah sebagai Sumber Nikmat
Perintah tasbih segera digandengkan dengan tahmid (memuji). Frasa بِحَمْدِ رَبِّكَ (dengan memuji Tuhanmu) menunjukkan bahwa penyucian itu harus disertai dengan pujian. Jika tasbih menafikan segala kekurangan dari Allah, maka tahmid menetapkan segala kesempurnaan dan pujian bagi-Nya.
Tahmid adalah ekspresi syukur yang paling puncak. Ini adalah pengakuan bahwa segala nikmat, termasuk nikmat kemenangan dan hidayah bagi umat manusia, bersumber dari-Nya. Pujian ini bukan hanya untuk nikmat yang diterima, tetapi juga untuk kebijaksanaan di balik setiap ketetapan-Nya, termasuk ujian dan kesulitan yang telah dilalui sebelum kemenangan tiba.
Penggabungan tasbih dan tahmid (سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ) adalah salah satu dzikir yang paling dicintai Allah. Ia merangkum dua pilar utama dalam mengenal Allah: menyucikan-Nya dari segala yang tak pantas (tanzih) dan menetapkan bagi-Nya segala sifat terpuji (itsbat). Di puncak kejayaan, seorang pemimpin sejati seperti Rasulullah ﷺ tidak menepuk dada, melainkan menundukkan kepala seraya lisan dan hatinya memuji Allah, Sang Penguasa dan Pemelihara alam semesta (رَبِّكَ).3. Istighfar (وَاسْتَغْفِرْهُ): Memohon Ampun di Momen Paling Sempurna
Inilah bagian yang paling mengejutkan dan mendalam. Mengapa Rasulullah ﷺ, seorang yang ma'shum (terjaga dari dosa besar), diperintahkan untuk memohon ampun (istighfar) pada momen paling gemilang dalam sejarah dakwahnya? Bukankah ini saat untuk merayakan pencapaian?
Ini mengajarkan kita beberapa pelajaran krusial:- Kesadaran akan Kekurangan Diri: Sekalipun sebuah tugas telah dilaksanakan dengan sempurna menurut standar manusia, di hadapan keagungan Allah, pasti ada kekurangan dan kelalaian. Istighfar adalah pengakuan akan kelemahan diri dan ketidaksempurnaan amal di hadapan kesempurnaan Allah. Mungkin ada niat yang tidak sepenuhnya lurus, ada hak yang terlewatkan, atau ada cara yang lebih baik yang tidak terpikirkan.
- Menjaga Diri dari 'Ujub (Kagum pada Diri Sendiri): Istighfar adalah penawar paling mujarab untuk penyakit hati bernama 'ujub dan takabur. Dengan memohon ampun, seseorang secara sadar meruntuhkan potensi bibit-bibit kesombongan yang mungkin muncul setelah meraih sukses besar. Ia mengakui, "Bukan karena aku hebat, melainkan karena ampunan dan rahmat-Mu, ya Allah."
- Istighfar sebagai Puncak Ibadah: Bagi para nabi dan orang-orang saleh, istighfar bukanlah sekadar permohonan ampun atas dosa, melainkan sebuah bentuk penghambaan dan kedekatan kepada Allah. Rasulullah ﷺ sendiri bersabda bahwa beliau beristighfar kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari. Ini adalah cerminan dari tingginya makrifat (pengenalan) beliau kepada Allah. Semakin seseorang mengenal keagungan Allah, semakin ia merasa kerdil dan butuh pada ampunan-Nya.
- Penyempurna Amal: Setiap ibadah besar dan pencapaian penting dalam Islam seringkali diakhiri dengan istighfar. Setelah shalat, kita dianjurkan beristighfar. Setelah menunaikan ibadah haji di Arafah, umat Islam diperintahkan memohon ampun. Demikian pula setelah kemenangan besar, istighfar menjadi stempel penyempurna, membersihkan amal tersebut dari segala noda yang mungkin mencemarinya.
4. Penegasan (إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا): Pintu Harapan yang Selalu Terbuka
Inilah kita sampai pada lafal terakhir, kata kunci yang menjadi jawaban dari pertanyaan awal. Setelah serangkaian perintah yang menunjukkan kerendahan hati seorang hamba, Allah menutup surah ini dengan sebuah penegasan yang menghapus segala kekhawatiran: إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Sungguh, Dia adalah Maha Penerima taubat).Makna At-Tawwab
Kata تَوَّابًا (Tawwābā) berasal dari akar kata ت-و-ب (ta-wa-ba) yang berarti 'kembali'. Nama Allah "At-Tawwab" memiliki makna yang sangat kaya. Ia tidak hanya berarti "Yang Menerima taubat", tetapi juga "Yang Terus-menerus dan Selalu Menerima taubat". Bentuk kata فَعَّال (fa''āl) dalam bahasa Arab menunjukkan makna superlatif dan kontinuitas.
Makna "At-Tawwab" memiliki dua dimensi:- Allah yang Memberi Inspirasi untuk Bertaubat: Sebelum seorang hamba bertaubat, Allah-lah yang terlebih dahulu 'kembali' kepada hamba-Nya dengan rahmat-Nya, membukakan hatinya, dan memberinya taufiq untuk menyadari kesalahan dan keinginan untuk kembali kepada-Nya.
- Allah yang Menerima Taubat Hamba: Setelah hamba itu kembali kepada-Nya dengan penyesalan dan permohonan ampun, Allah 'kembali' kepadanya dengan ampunan dan penerimaan.
Hubungan Istighfar dengan Sifat At-Tawwab
Mengapa ayat ini diakhiri dengan sifat At-Tawwab, bukan Al-Ghafur (Maha Pengampun) atau Ar-Rahim (Maha Penyayang)? Meskipun semua nama itu indah, "At-Tawwab" memiliki kaitan langsung dengan proses 'kembali'. Perintah istighfar adalah ajakan bagi hamba untuk 'kembali' kepada Allah, dan penegasan "Innahū kāna tawwābā" adalah jaminan bahwa Allah selalu siap untuk 'kembali' menerima hamba-Nya.
Ini adalah dialog ilahiah yang sempurna. Allah memerintahkan, "Kembalilah kepada-Ku dengan memohon ampun," lalu Dia meyakinkan, "Karena Aku sesungguhnya adalah Dzat yang selalu menanti dan menerima kepulanganmu."Lafal "Tawwābā" menjadi penutup yang sempurna. Ia mengunci seluruh pesan surah ini. Kemenangan besar yang diraih, euforia massa yang masuk Islam, semua itu harus dibingkai dengan kesadaran bahwa pintu untuk kembali kepada Allah—baik dari kelalaian kecil maupun dosa besar—selalu terbuka lebar. Kemenangan terbesar bukanlah menaklukkan kota, melainkan ketika seorang hamba berhasil menaklukkan egonya, menundukkan hatinya, dan kembali kepada Tuhannya, dan mendapati Tuhannya adalah At-Tawwab, Maha Penerima kepulangannya.
Relevansi Abadi: Pelajaran Surah An-Nasr untuk Kehidupan Modern
Surah An-Nasr bukanlah sekadar catatan sejarah. Ia adalah panduan hidup yang relevan sepanjang zaman. Setiap dari kita pasti mengalami "kemenangan" dalam skala yang berbeda-beda. Bisa jadi itu adalah kelulusan studi, mendapatkan pekerjaan impian, kesuksesan sebuah proyek, sembuh dari penyakit, atau keberhasilan dalam mendidik anak. Surah ini mengajarkan kita etika kesuksesan yang sejati:- Saat Sukses, Sucikan Allah (Tasbih): Sadari bahwa keberhasilan itu bukan semata-mata karena kehebatan kita. Itu adalah pertolongan dari Allah. Jauhkan diri dari kesombongan dengan menyucikan-Nya.
- Saat Sukses, Puji Allah (Tahmid): Ucapkan syukur dan pujian. Akui bahwa nikmat itu adalah anugerah dari-Nya. Bagikan kebahagiaan itu dengan cara yang diridhai-Nya.
- Saat Sukses, Mohon Ampun (Istighfar): Introspeksi diri. Mungkin ada jalan pintas yang diambil, ada hati yang tersakiti dalam prosesnya, atau ada kelalaian dalam menjaga niat. Mohon ampun untuk menyempurnakan kesuksesan itu dan menjaganya dari menjadi sumber malapetaka di kemudian hari.
- Selalu Ingat, Pintu Taubat Terbuka (At-Tawwab): Apapun kesalahan yang pernah kita lakukan dalam perjalanan menuju sukses, jangan pernah putus asa. Pintu untuk 'kembali' selalu terbuka. Allah Maha Penerima taubat. Kesadaran ini memberikan ketenangan dan optimisme dalam menjalani hidup.
Kesimpulan: Dari Bunyi "-bā" ke Samudra Rahmat At-Tawwab
Kita memulai perjalanan ini dari sebuah pertanyaan sederhana: bunyi lafal terakhir Surah An-Nasr ayat 3 adalah? Jawabannya adalah "-bā", yang merupakan penerapan kaidah Mad 'Iwadh pada kata "Tawwābā".
Namun, kita menemukan bahwa bunyi itu adalah puncak dari gunung es makna. Di baliknya, terdapat kisah kemenangan terbesar dalam sejarah Islam, Fathu Makkah. Terdapat isyarat tentang paripurnanya tugas kenabian. Terdapat formula abadi dalam merespons nikmat dan kesuksesan: kombinasi agung antara tasbih, tahmid, dan istighfar.
Dan pada akhirnya, kata "Tawwābā" itu sendiri adalah deklarasi rahmat Allah yang tak terbatas. Sebuah jaminan bahwa setelah segala perjuangan, kemenangan, dan bahkan kekurangan, selalu ada jalan untuk kembali. Allah, Sang At-Tawwab, selalu menunggu kepulangan hamba-Nya dengan pintu penerimaan yang terbuka lebar. Bunyi "-bā" yang kita lafalkan saat mengakhiri Surah An-Nasr sejatinya adalah gema dari harapan dan rahmat ilahi yang tak pernah putus.