Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, sepupu sekaligus menantu Rasulullah ﷺ, dikenal tidak hanya karena keberaniannya di medan perang atau kedalaman ilmunya dalam hukum Islam, tetapi juga karena kebijaksanaan luar biasa yang sering kali terwujud dalam sikapnya yang tenang dan penuh pertimbangan. Salah satu aspek yang sering menjadi perbincangan dalam khazanah hikmah Islam adalah pemahamannya yang mendalam mengenai nilai sebuah diam (shamt).
Bagi Ali, diam bukanlah sekadar ketiadaan suara; ia adalah sebuah ruang di mana akal bekerja maksimal dan hati menemukan kejernihan. Dalam konteks dinamika sosial dan politik yang penuh gejolak pada masanya, kemampuan untuk memilih kapan harus bicara dan kapan harus menahan diri adalah manifestasi tertinggi dari kecerdasan emosional dan spiritual.
Diam Sebagai Filter Kebijaksanaan
Ali bin Abi Thalib pernah bersabda, "Diam adalah perhiasan bagi orang berakal dan selubung bagi orang bodoh." Ucapan ini secara tegas membedakan fungsi diam antara dua tipe manusia. Bagi orang yang berakal, diam adalah pilihan aktif; ia adalah filter yang menyaring perkataan agar hanya kebenaran, kebaikan, dan hal yang bermanfaat yang keluar. Diam memungkinkan seseorang untuk mendengarkan, mencerna informasi secara utuh, dan merumuskan jawaban yang paling tepat, bukan reaksi emosional sesaat.
Sebaliknya, bagi orang yang bodoh atau kurang ilmu, diam adalah keharusan karena keterbatasan pengetahuan mereka. Jika mereka berbicara, kebodohan mereka akan terungkap. Dalam konteks ini, diam menjadi penutup aurat intelektual.
"Jika engkau berbicara, maka ucapkanlah apa yang memberatkan timbangan kebaikanmu. Jika engkau diam, maka hal itu adalah ketenangan bagimu, selama ucapanmu tidak mengandung kebenaran yang harus disampaikan."
Menjaga Lisan dari Petaka
Banyak riwayat menunjukkan bahwa Ali sangat mewanti-wanti umat untuk menjaga lisan. Beliau memahami bahwa lidah adalah pintu gerbang utama menuju kesalahan besar. Kesalahan dalam berbicara dapat mengakibatkan permusuhan, merusak hubungan sosial, hingga menjerumuskan pelakunya ke dalam dosa yang sulit ditebus.
Diamnya Ali sering kali disalahartikan oleh sebagian pihak sebagai keragu-raguan atau ketidakpedulian. Namun, para sahabat yang mengenalnya tahu bahwa di balik keheningan itu tersimpan kalkulasi matang mengenai maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan). Ketika situasi menuntut klarifikasi, Ali berbicara dengan ketegasan yang mengalir dari pemahaman mendalam terhadap Al-Qur'an dan Sunnah. Namun, ketika perdebatan hanya bersifat ego atau kesia-siaan duniawi, memilih diam adalah bentuk jihad terbesar terhadap hawa nafsu untuk mendominasi percakapan.
Penyebab Kesunyian Ali
Ada beberapa alasan mendasar mengapa diam mendominasi sikap Ali bin Abi Thalib:
- Fokus pada Introspeksi (Muhasabah): Ali senantiasa sibuk mengoreksi diri sendiri. Ketika seseorang fokus pada memperbaiki kekurangan dirinya, energi verbalnya cenderung terpusat pada urusan yang lebih substansial, bukan pada mengkritik orang lain.
- Keterbatasan Waktu Duniawi: Beliau sering menekankan bahwa kehidupan dunia ini fana. Berbicara terlalu banyak tentang hal-hal yang tidak membawa manfaat ukhrawi dianggap membuang waktu berharga yang seharusnya dialokasikan untuk ibadah dan berpikir.
- Kekhawatiran Akan Kesalahan Logika: Ali sangat berhati-hati agar perkataannya tidak menyimpang dari kebenaran yang diwahyukan. Diam adalah cara aman untuk memastikan integritas keilmuan dan spiritualnya tetap terjaga.
Oleh karena itu, memahami diamnya Ali bin Abi Thalib adalah pelajaran penting bagi umat Muslim kontemporer. Di era informasi yang serba cepat ini, di mana setiap orang berlomba untuk bersuara, ketenangan dan kemampuan menahan lidah—seperti yang dicontohkan oleh Ali—menjadi komoditas langka yang justru membawa kemuliaan dan keberkahan hakiki. Diamnya beliau bukan tanda kelemahan, melainkan puncak kekuatan kendali diri seorang insan yang benar-benar bijaksana.