Kisah cinta dalam sejarah Islam sering kali dikaitkan dengan sosok mulia Ali bin Abi Thalib. Cinta yang ia rasakan, terutama terhadap Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah ﷺ, bukanlah sekadar gejolak emosi biasa. Cinta tersebut berlandaskan ketakwaan, penghormatan, dan kecintaan mendalam kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Ketika seseorang merasakan getaran hati yang mendalam—sebuah rasa cinta yang diharapkan membawa kebaikan dunia dan akhirat—cara terbaik adalah memohon petunjuk dan keberkahan dari Sang Pencipta segala rasa. Dalam tradisi Islam, doa menjadi jembatan utama untuk mengarahkan segala hajat hati kepada Allah SWT.
Meskipun banyak riwayat mengenai keteguhan hati Ali bin Abi Thalib, doa yang ia panjatkan ketika hatinya mulai terpaut pada sosok yang dicintainya dikenal karena kesucian dan pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Doa ini menunjukkan kerendahan hati dan penyerahan diri total kepada kehendak Ilahi.
Berikut adalah lafal doa yang sering dikaitkan dengan konteks tersebut, yang intinya memohon agar cinta yang dirasakan membawa kepada kebaikan dan dijauhkan dari fitnah dunia:
Artinya: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta-Mu, dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu, serta amalan yang dapat menyampaikan kepadaku cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah kecintaan-Mu lebih aku cintai daripada diriku sendiri, keluargaku, dan daripada air yang sejuk.”
Doa ini memiliki kedalaman spiritual yang luar biasa. Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai pintu gerbang ilmu, tidak hanya meminta agar cintanya terwujud, tetapi ia memprioritaskan tiga hal utama:
Puncak permohonan ini adalah menjadikan kecintaan kepada Allah melebihi segalanya—bahkan melebihi kecintaan kepada diri sendiri (ego), keluarga (ikatan fitri), dan kebutuhan dasar seperti air dingin (yang sangat berharga saat haus). Ini menunjukkan kematangan spiritual yang tinggi.
Kisah pernikahan Ali dan Fatimah adalah teladan sempurna bagaimana cinta yang murni berlandaskan iman. Pernikahan mereka dibangun di atas dasar kesederhanaan dan ketaatan. Ketika seseorang berdoa dengan ketulusan seperti ini, Allah SWT sering kali memberikan jalan yang lapang dan penuh berkah.
Doa semacam ini dapat diamalkan oleh siapa saja yang sedang merasakan jatuh cinta, sebagai upaya untuk menyucikan niat dan memohon agar ikatan tersebut menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah, bukan justru menjauhkan.
Catatan Penting: Meskipun doa ini sangat populer dan memiliki makna yang indah sejalan dengan spiritualitas Ali bin Abi Thalib, penting bagi pembaca untuk selalu memverifikasi sumber riwayat hadis atau atsar yang otentik jika mencari dalil spesifik. Namun, esensi permohonan cinta kepada Allah adalah inti dari ajaran Islam.
Ketika kita memohon doa saat jatuh cinta, kita sedang mengajarkan diri sendiri bahwa cinta sejati tidak hanya tentang perasaan romantis, tetapi juga tentang tanggung jawab spiritual. Cinta yang didoakan dengan cara ini cenderung lebih langgeng karena fondasinya adalah nilai-nilai ilahiah.
Proses memohon doa ini menggeser fokus dari "bagaimana aku bisa mendapatkan dia?" menjadi "bagaimana aku dan dia bisa sama-sama mendapatkan cinta Allah?". Pergeseran fokus ini mengubah dinamika hubungan dari yang bersifat egois menjadi kolaboratif dalam ketaatan. Di mata Ali bin Abi Thalib, cinta yang paling utama adalah cinta kepada Yang Maha Mencintai.
Dengan demikian, doa tersebut berfungsi sebagai filter spiritual. Jika cinta yang dirasakan tidak sejalan dengan permintaan doa ini (misalnya, jika cinta itu mendorong pada perbuatan maksiat atau melupakan kewajiban), maka seharusnya hati menyadari bahwa ada sesuatu yang keliru dalam arah perasaan tersebut. Doa Ali bin Abi Thalib adalah panduan agar hati selalu condong kepada yang Maha Benar.