Filsafat administrasi adalah cabang ilmu yang mengkaji hakikat, tujuan, dan dasar-dasar pemikiran mendalam mengenai praktik pengelolaan sumber daya organisasi, baik publik maupun privat. Dalam ranah yang kompleks ini, dua lensa utama—aksiologi dan etika—memainkan peran krusial dalam membentuk bagaimana keputusan dibuat dan bagaimana organisasi seharusnya beroperasi. Administrasi bukan sekadar prosedur teknis; ia adalah arena di mana nilai-nilai dipertaruhkan dan norma perilaku ditegakkan.
Aksiologi adalah studi filosofis tentang nilai. Dalam konteks administrasi, aksiologi berfokus pada pertanyaan mendasar: Apa yang dianggap baik, berharga, dan diinginkan dalam proses administrasi? Ini melampaui efisiensi operasional semata. Administrasi harus didasarkan pada nilai-nilai yang dianut, seperti keadilan, pelayanan publik, keberlanjutan, atau profitabilitas (tergantung konteks organisasi).
Seorang administrator yang berlandaskan aksiologi yang kuat akan selalu mempertanyakan tujuan akhir dari setiap kebijakan. Apakah tujuan tersebut semata-mata mencapai target kuantitatif, atau apakah terdapat nilai kualitatif yang lebih tinggi yang ingin dicapai, seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat atau penciptaan lingkungan kerja yang suportif? Aksiologi mendorong administrator untuk mengidentifikasi hierarki nilai dan memastikan bahwa keputusan yang diambil selaras dengan nilai fundamental tersebut. Jika organisasi mengagungkan transparansi, maka setiap proses harus mencerminkan nilai transparansi tersebut, bahkan jika itu berarti mengurangi kecepatan pengambilan keputusan jangka pendek.
Sementara aksiologi menentukan apa yang diinginkan, etika administrasi menentukan bagaimana cara mencapainya secara moral benar. Etika berkaitan dengan prinsip moral, tanggung jawab, dan perilaku yang pantas dalam menjalankan wewenang. Administrasi publik, khususnya, sangat terikat pada tuntutan etis karena melibatkan amanah publik dan sumber daya kolektif.
Isu-isu etika administrasi meliputi konflik kepentingan, akuntabilitas, kejujuran, dan perlakuan yang adil terhadap semua pemangku kepentingan. Dilema etis sering muncul ketika dua nilai yang baik saling bertentangan. Contoh klasik adalah ketika efisiensi (nilai instrumental) harus dikorbankan demi keadilan prosedural (nilai moral). Etika memaksa administrator untuk membuat pilihan yang tidak hanya sah secara hukum tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Tanpa kerangka etis yang kokoh, administrasi rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan diskriminasi.
Kekuatan administrasi modern terletak pada sintesis kedua perspektif ini. Administrasi yang efektif dan berkelanjutan haruslah bernilai (aksiologis) sekaligus bermoral (etis). Jika administrasi hanya berfokus pada nilai tanpa etika, hasilnya adalah organisasi yang efisien namun tanpa hati nurani—mencapai tujuan dengan cara apa pun. Sebaliknya, administrasi yang hanya berpegang teguh pada etika tanpa visi nilai yang jelas berisiko menjadi pasif dan tidak memberikan dampak positif yang signifikan karena takut mengambil risiko yang diperlukan untuk inovasi.
Filsafat administrasi menuntut adanya dialog berkelanjutan antara apa yang kita yakini benar (aksiologi) dan bagaimana kita bertindak sesuai keyakinan tersebut (etika). Misalnya, dalam konteks kebijakan lingkungan, nilai (aksiologi) mungkin adalah 'kelestarian alam', sementara etika menetapkan bahwa 'pembuangan limbah industri tidak boleh merugikan komunitas lokal'. Integrasi ini memastikan bahwa tujuan organisasi tidak hanya luhur tetapi juga dicapai melalui cara yang menghormati martabat manusia dan integritas sistem. Pemikiran filosofis ini adalah fondasi untuk menciptakan tata kelola yang tidak hanya produktif tetapi juga beradab.