Dalam rentang waktu sejarah peradaban manusia, kebutuhan untuk berkomunikasi dan merekam informasi telah menjadi dorongan utama inovasi. Sebelum kertas ditemukan, sebelum mesin cetak beroperasi, bahkan sebelum aksara dapat ditulis dengan mudah di atas daun atau kulit hewan, manusia purba telah menemukan cara untuk meninggalkan jejaknya. Salah satu bentuk alat komunikasi paling awal dan paling tahan lama yang kita kenal adalah prasasti. Gambar-gambar alat komunikasi dalam bentuk prasasti ini bukan sekadar ukiran batu, melainkan jendela berharga menuju pemikiran, kepercayaan, hukum, dan kisah-kisah dari masa lalu yang jauh.
Prasasti, secara umum, merujuk pada tulisan atau gambar yang diukir atau digoreskan pada permukaan yang keras dan tahan lama seperti batu, logam, atau keramik. Fungsinya sangat beragam. Ada prasasti yang berisi dekrit atau hukum yang dikeluarkan oleh penguasa, bertujuan untuk diketaui dan dipatuhi oleh rakyatnya. Prasasti semacam ini berfungsi sebagai media komunikasi massa tertulis pertama di zamannya. Bayangkan seorang raja yang memerintahkan agar undang-undang baru diukir di batu agar semua orang dapat membacanya, atau setidaknya dapat melihatnya dan mengetahui bahwa ada aturan yang mengikat. Ini adalah bentuk komunikasi yang bersifat permanen dan dapat diakses publik.
Contoh prasasti batu yang menampilkan ukiran aksara purba.
Lebih dari sekadar penyampai hukum, prasasti juga menjadi wadah ekspresi pribadi dan sejarah. Banyak prasasti ditemukan berisi catatan persembahan kepada dewa-dewi, ucapan terima kasih atas keberhasilan, atau bahkan puisi dan kisah pribadi. Prasasti ini memberikan dimensi yang lebih personal pada pemahaman kita tentang kehidupan di masa lalu. Melalui gambar alat komunikasi dalam bentuk prasasti, kita bisa melihat bagaimana masyarakat kuno berinteraksi dengan lingkungannya, bagaimana mereka memuliakan kekuatan alam atau kekuatan supranatural, dan bagaimana mereka menyimpan kenangan akan peristiwa penting.
Salah satu contoh prasasti yang paling terkenal di Indonesia adalah Prasasti Yupa dari Kerajaan Kutai Martadipura. Prasasti ini tidak hanya berisi silsilah raja-raja, tetapi juga pengakuan kekuasaan seorang raja bernama Mulawarman. Ukiran aksara Pallawa di atas batu ini menjadi bukti konkret adanya sebuah kerajaan besar yang berkuasa di Kalimantan Timur ribuan tahun yang lalu. Prasasti-prasasti semacam ini sangat krusial bagi para sejarawan karena menyediakan data primer yang tidak dapat disangkal keasliannya. Tanpa prasasti, banyak babak penting dalam sejarah nusantara akan tetap menjadi misteri yang sulit terpecahkan.
Ilustrasi bagaimana manusia purba mungkin mengukir prasasti.
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban, bentuk prasasti pun mengalami evolusi. Dari sekadar ukiran sederhana pada batu kasar, prasasti berkembang menjadi lebih halus, menggunakan berbagai jenis logam seperti perunggu atau lempengan emas, bahkan ada yang diukir pada koin. Di peradaban lain, kita menemukan prasasti pada tugu-tugu monumental, gerbang kota, atau dinding kuil. Setiap perubahan bentuk seringkali mencerminkan kemajuan teknologi, perubahan sistem pemerintahan, atau pergeseran nilai-nilai budaya.
Prasasti seringkali menjadi "media" yang memaksa penggunanya untuk berpikir dua kali sebelum menyampaikan pesan. Sifatnya yang permanen dan sulit diubah berarti setiap goresan memiliki bobot dan konsekuensi. Ini berbeda dengan media komunikasi modern yang serba cepat dan mudah dihapus. Prasasti menuntut ketelitian, perencanaan, dan pemahaman mendalam tentang apa yang ingin disampaikan. Dalam konteks ini, gambar alat komunikasi prasasti menjadi simbol ketekunan dan kelanggengan sebuah pesan.
Meskipun teknologi komunikasi telah melesat jauh dari ukiran batu, warisan prasasti tetap relevan. Prasasti adalah fondasi dari tradisi komunikasi tertulis. Mereka mengajarkan kita tentang pentingnya menyimpan informasi, tentang kekuatan kata-kata yang diabadikan, dan tentang bagaimana pesan dapat melintasi ruang dan waktu untuk berbicara kepada generasi yang akan datang. Setiap kali kita melihat replika prasasti, membaca terjemahannya, atau bahkan hanya membayangkan proses pembuatannya, kita sedang terhubung dengan akar peradaban manusia dan evolusi alat komunikasi yang tak terpisahkan dari keberlangsungan umat manusia.
Oleh karena itu, mempelajari dan mengapresiasi prasasti, beserta berbagai gambar alat komunikasi yang merepresentasikannya, adalah tindakan menghargai sejarah panjang kita dalam berusaha memahami, merekam, dan menyampaikan gagasan serta informasi. Prasasti adalah bukti bahwa keinginan untuk berkomunikasi adalah salah satu dorongan paling fundamental dalam diri manusia, dorongan yang telah ada sejak awal peradaban dan terus berkembang hingga kini.