Golongan Surat An-Nasr: Surat Madaniyah dan Puncak Kemenangan Islam

نَصْرٌ Ilustrasi Ka'bah sebagai simbol kemenangan dan pertolongan Allah dalam Surat An-Nasr.

Al-Qur'an, sebagai wahyu ilahi yang diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun, memiliki konteks historis yang kaya dalam setiap surat dan ayatnya. Para ulama telah mengklasifikasikan surat-surat dalam Al-Qur'an menjadi dua golongan utama: Makkiyah dan Madaniyah. Klasifikasi ini bukan sekadar pembagian geografis, melainkan sebuah kerangka untuk memahami evolusi dakwah Islam, perubahan fokus syariat, dan kondisi umat Islam pada masa pewahyuan. Surat An-Nasr, surat ke-110 dalam mushaf Al-Qur'an, adalah salah satu surat yang memiliki signifikansi historis yang luar biasa. Pertanyaan mengenai golongannya—apakah ia Makkiyah atau Madaniyah—membuka pintu kepada pemahaman yang lebih dalam tentang pesan kemenangan, kerendahan hati, dan pertanda agung yang terkandung di dalamnya.

Berdasarkan konsensus mayoritas ulama tafsir dan hadis, Surat An-Nasr tergolong sebagai surat Madaniyah. Penetapan ini didasarkan pada waktu dan konteks turunnya wahyu, yang menjadi kriteria utama dalam klasifikasi ini. Memahami mengapa An-Nasr digolongkan sebagai Madaniyah tidak hanya menjawab pertanyaan teknis dalam Ulumul Qur'an, tetapi juga menguak makna berlapis yang tersembunyi di balik tiga ayatnya yang singkat namun padat makna.

Teks Surat An-Nasr dan Terjemahannya

Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam pembahasan mengenai golongan dan tafsirnya, mari kita renungkan kembali ayat-ayat mulia dari Surat An-Nasr yang menjadi pusat kajian kita.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ (١)

وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا (٢)

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا (٣)

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,

2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,

3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.

Membedah Konsep Makkiyah dan Madaniyah

Untuk memahami sepenuhnya mengapa Surat An-Nasr digolongkan Madaniyah, penting bagi kita untuk memiliki pemahaman yang kokoh tentang definisi dan karakteristik dari kedua golongan surat ini. Para ulama menggunakan beberapa pendekatan, namun yang paling diterima dan akurat adalah klasifikasi berdasarkan periode waktu, bukan lokasi geografis.

Karakteristik Surat Makkiyah

Surat Makkiyah adalah surat-surat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebelum peristiwa Hijrah ke Madinah. Periode Makkah ini berlangsung selama kurang lebih 13 tahun, di mana dakwah Islam masih dalam tahap awal, menghadapi penolakan keras dari kaum kafir Quraisy. Oleh karena itu, tema dan gaya bahasa surat-surat Makkiyah sangat khas:

Contoh surat Makkiyah antara lain Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, Al-Mulk, dan sebagian besar surat-surat dalam Juz 'Amma (Juz 30).

Karakteristik Surat Madaniyah

Surat Madaniyah adalah surat-surat yang diturunkan setelah peristiwa Hijrah, meskipun lokasinya bisa jadi di Madinah, Makkah (seperti saat Fathu Makkah), atau bahkan di tempat lain selama perjalanan Nabi. Periode Madinah berlangsung selama 10 tahun dan merupakan fase pembentukan negara Islam, konsolidasi komunitas, dan penyempurnaan syariat. Ciri-cirinya adalah:

Contoh surat Madaniyah yang terkenal adalah Al-Baqarah, Ali 'Imran, An-Nisa', Al-Ma'idah, dan At-Taubah.

Analisis: Mengapa Surat An-Nasr adalah Madaniyah?

Dengan memahami kerangka Makkiyah dan Madaniyah, kita dapat dengan jelas menempatkan Surat An-Nasr dalam kategori Madaniyah. Ada beberapa alasan kuat yang mendukung klasifikasi ini, yang semuanya berpusat pada konteks historis turunnya surat ini.

1. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Wahyu)

Asbabun Nuzul adalah kunci utama untuk menentukan golongan surat ini. Para ulama sepakat bahwa Surat An-Nasr diturunkan berkaitan dengan peristiwa besar dalam sejarah Islam: Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah. Karena Fathu Makkah terjadi jauh setelah peristiwa Hijrah, maka secara otomatis surat yang berkaitan dengannya tergolong Madaniyah.

Beberapa riwayat bahkan menyebutkan bahwa surat ini diturunkan pada hari-hari Tasyriq di Mina, saat Nabi Muhammad SAW melaksanakan Haji Wada' (Haji Perpisahan) pada tahun ke-10 Hijriyah. Ini menjadikannya salah satu surat terakhir yang diturunkan kepada beliau, hanya beberapa bulan sebelum wafatnya. Lokasi turunnya mungkin di sekitar Makkah (Mina), tetapi karena waktunya setelah Hijrah, ia tetap dikategorikan sebagai Madaniyah.

2. Analisis Konten dan Tema

Isi dari Surat An-Nasr secara eksplisit menggambarkan sebuah realitas yang hanya terwujud pada periode Madinah. Mari kita bedah temanya:

Tema-tema ini—kemenangan militer-politis dan konversi massal—sangat berbeda dengan tema-tema surat Makkiyah yang berfokus pada perjuangan mempertahankan iman individu dalam lingkungan yang memusuhi.

Tafsir Mendalam Ayat per Ayat Surat An-Nasr

Untuk lebih menghayati makna dan hikmah dari surat ini, mari kita menyelami tafsir dari setiap ayatnya, dengan tetap mengingat konteks Madaniyah-nya.

Ayat 1: إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"

Ayat ini dibuka dengan kata "إِذَا" (idzaa), sebuah kata keterangan waktu yang menunjukkan kepastian terjadinya sesuatu di masa depan. Ini adalah janji Allah yang pasti akan ditepati.

نَصْرُ ٱللَّهِ (Nashrullah - Pertolongan Allah): Kata "Nashr" bukan sekadar bantuan biasa. Ia bermakna pertolongan yang membawa kepada kemenangan telak atas musuh. Penyandaran kata "Nashr" kepada "Allah" (Nashrullah) menegaskan bahwa kemenangan ini murni berasal dari kekuatan dan kehendak ilahi, bukan semata-mata karena kekuatan strategi atau jumlah pasukan kaum Muslimin. Ini adalah pengingat mendasar bahwa sumber segala kekuatan adalah Allah. Sepanjang periode Madinah, kaum Muslimin seringkali menghadapi musuh yang lebih besar dari segi jumlah dan persenjataan, seperti dalam Perang Badar dan Khandaq. Kemenangan mereka selalu diyakini sebagai "Nashrullah".

وَٱلْفَتْحُ (Wal-Fath - dan Kemenangan/Penaklukan): Kata "Al-Fath" secara harfiah berarti "pembukaan". Dalam konteks ini, para mufasir sepakat bahwa yang dimaksud adalah Fathu Makkah, "Pembukaan Kota Makkah". Mengapa disebut "pembukaan"? Karena dengan takluknya Makkah, terbukalah pintu bagi penyebaran Islam ke seluruh Jazirah Arab tanpa halangan berarti. Makkah adalah benteng paganisme dan pusat spiritual bangsa Arab. Ketika benteng ini runtuh dan Ka'bah disucikan dari berhala, seolah-olah sumbat yang menghalangi laju dakwah telah terbuka lebar. Kemenangan ini bukanlah kemenangan yang destruktif, melainkan sebuah "pembukaan" menuju era baru yang penuh rahmat dan hidayah.

Ayat 2: وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا

"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"

Ayat ini merupakan konsekuensi logis dari ayat pertama. Setelah pertolongan Allah dan kemenangan besar itu datang, buahnya pun terlihat dengan jelas. Kata "رَأَيْتَ" (ra'aita - engkau melihat) ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW, memberinya kabar gembira bahwa beliau akan menyaksikan sendiri hasil dari perjuangan dan kesabarannya selama bertahun-tahun.

ٱلنَّاسَ (An-Naas - Manusia): Kata ini merujuk pada bangsa Arab secara umum, terutama kabilah-kabilah yang sebelumnya ragu-ragu atau bahkan memusuhi Islam. Mereka menganggap konflik antara Muslimin dan Quraisy sebagai pertarungan internal keluarga. Namun, setelah Fathu Makkah, persepsi mereka berubah total.

يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ (Yadkhulūna fī dīnillāh - Mereka masuk ke dalam agama Allah): Ini menggambarkan proses konversi yang aktif dan sukarela. Mereka tidak dipaksa, melainkan "masuk" dengan kesadaran setelah melihat bukti kebenaran yang nyata. Agama yang mereka masuki ditegaskan sebagai "agama Allah", bukan agama Muhammad atau agama suku tertentu, untuk menekankan universalitas dan kemurnian ajaran Islam.

أَفْوَاجًا (Afwājā - Berbondong-bondong/Dalam Rombongan Besar): Inilah kata kunci yang membedakan periode ini dengan periode Makkah. Di Makkah, orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, dan seringkali harus menanggung siksaan. Di Madinah, setelah Fathu Makkah, Islam menjadi kekuatan yang disegani. Orang-orang tidak lagi takut untuk menyatakan keislamannya. Mereka datang dalam delegasi-delegasi besar, rombongan suku, untuk berbai'at kepada Rasulullah SAW. Ini adalah pemandangan yang luar biasa dan menjadi bukti nyata atas janji Allah.

Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا

"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."

Ini adalah ayat penutup yang berisi perintah dan pelajaran paling fundamental. Setelah mencapai puncak kesuksesan duniawi (kemenangan dan dukungan massa), respons yang diajarkan Al-Qur'an bukanlah euforia, arogansi, atau pesta pora. Respons seorang hamba yang sejati adalah kembali kepada Tuhannya dalam kerendahan hati.

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ (Fasabbiḥ biḥamdi Rabbika - Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu): Perintah ini terdiri dari dua bagian. Tasbih (Subhanallah) adalah menyucikan Allah dari segala kekurangan dan sifat yang tidak layak bagi-Nya. Dalam konteks kemenangan, ini berarti mengakui bahwa kemenangan ini bersih dari campur tangan kekuatan selain Allah dan bersih dari segala cacat. Tahmid (Alhamdulillah) adalah memuji Allah atas segala nikmat dan kesempurnaan-Nya. Gabungan keduanya, "bertasbih dengan memuji," mengajarkan kita untuk menyucikan Allah sambil bersyukur. Kita menyucikan-Nya dari anggapan bahwa kemenangan ini karena hebatnya kita, dan kita memuji-Nya karena Dialah yang telah menganugerahkan nikmat ini.

وَٱسْتَغْفِرْهُ (Wastaghfirhu - dan mohonlah ampun kepada-Nya): Perintah ini mungkin terasa aneh. Mengapa di saat kemenangan besar justru diperintahkan untuk memohon ampun (istighfar)? Di sinilah letak kedalaman makna surat ini. Para ulama memberikan beberapa penjelasan:

  1. Sebagai Tanda Kerendahan Hati: Istighfar adalah pengakuan bahwa dalam setiap usaha dan perjuangan, pasti ada kekurangan, kelalaian, atau kesalahan yang tidak kita sadari. Kemenangan tidak boleh membuat kita merasa sempurna. Justru di puncak kesuksesanlah kita harus paling waspada terhadap sifat ujub (bangga diri) dan sombong.
  2. Sebagai Isyarat Selesainya Tugas: Sebagian besar sahabat senior, seperti Umar bin Khattab dan Abdullah bin Abbas, memahami ayat ini sebagai isyarat bahwa tugas Rasulullah SAW di dunia telah paripurna. Misi beliau untuk menyampaikan risalah dan menegakkan agama Allah telah mencapai puncaknya. Layaknya seorang pekerja yang menyelesaikan tugas besarnya, kini saatnya ia "melapor" dan memohon ampun atas segala kekurangan dalam pelaksanaan tugas tersebut, sebelum kembali kepada Sang Pemberi Tugas. Ini adalah isyarat halus akan dekatnya ajal beliau.
  3. Sebagai Teladan bagi Umat: Jika Nabi Muhammad SAW yang ma'shum (terjaga dari dosa) saja diperintahkan untuk beristighfar di puncak kejayaannya, apalagi kita sebagai umatnya yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Ini adalah pelajaran abadi bagi setiap pemimpin, pejuang, atau siapa pun yang meraih kesuksesan.

إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا (Innahū kāna tawwābā - Sungguh, Dia Maha Penerima tobat): Ayat ini ditutup dengan penegasan sifat Allah sebagai At-Tawwab. Kata "Tawwab" adalah bentuk superlatif yang berarti Maha Penerima tobat, lagi dan lagi, tanpa henti. Ini adalah sebuah pintu harapan yang terbuka lebar. Sebesar apa pun kekurangan kita, selama kita kembali kepada-Nya dengan tasbih, tahmid, dan istighfar, Dia akan selalu menerima tobat kita. Ini adalah penutup yang sempurna, memberikan ketenangan dan optimisme setelah perintah untuk introspeksi diri.

Surat An-Nasr sebagai Isyarat Wafatnya Rasulullah SAW

Salah satu aspek paling menyentuh dari tafsir Surat An-Nasr adalah pemahamannya sebagai na'yu atau pemberitahuan akan dekatnya wafat Rasulullah SAW. Kisah dialog antara Umar bin Khattab dengan para sahabat senior Badar dan Abdullah bin Abbas menjadi bukti kuat pemahaman ini.

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Umar bin Khattab sering mengundang Ibnu Abbas, yang saat itu masih muda, untuk bergabung dalam majelisnya bersama para veteran Perang Badar. Sebagian dari mereka merasa heran dan bertanya, "Mengapa engkau mengundang anak ini bersama kami, padahal kami juga memiliki anak-anak seusianya?" Umar menjawab, "Sesungguhnya ia adalah orang yang kalian ketahui (karena kecerdasannya)."

Suatu hari, Umar mengundang mereka kembali dan bertanya, "Apa pendapat kalian tentang firman Allah, 'Idzaa jaa-a nashrullahi wal fat-h'?" Sebagian dari mereka menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampun kepada-Nya jika kita diberi pertolongan dan kemenangan." Sebagian yang lain diam. Lalu Umar bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah demikian pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?" Ia menjawab, "Tidak." Umar bertanya lagi, "Lalu bagaimana pendapatmu?" Ibnu Abbas menjawab, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda (dekatnya) ajalmu. Maka, 'bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat'." Mendengar jawaban itu, Umar bin Khattab berkata, "Aku tidak mengetahui dari surat ini kecuali apa yang engkau katakan."

Pemahaman ini diperkuat oleh riwayat dari Aisyah RA, yang mengatakan bahwa setelah turunnya surat ini, Rasulullah SAW sering sekali membaca dalam ruku' dan sujudnya: "Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika, Allahummaghfirli" (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku), sebagai wujud pengamalan langsung dari surat ini.

Kesimpulan: Hikmah Abadi dari Surat Madaniyah Ini

Menetapkan Surat An-Nasr sebagai golongan Madaniyah bukanlah sekadar latihan akademis dalam Ulumul Qur'an. Ia adalah kunci untuk membuka seluruh lapisan maknanya. Sebagai surat Madaniyah, ia berbicara tentang fase puncak dari sebuah perjuangan panjang yang dimulai di Makkah. Ia merangkum esensi dari dakwah Islam dalam tiga ayat singkat: perjuangan yang membuahkan pertolongan ilahi, kemenangan yang melahirkan penerimaan luas, dan kesuksesan yang harus disambut dengan kerendahan hati mutlak di hadapan Sang Pemberi Kemenangan.

Pelajaran dari Surat An-Nasr bersifat universal dan abadi:

Surat An-Nasr, dengan statusnya sebagai surat Madaniyah yang diturunkan di akhir masa kenabian, berfungsi sebagai epilog yang indah bagi risalah Nabi Muhammad SAW. Ia adalah surat kemenangan, surat kerendahan hati, dan sekaligus surat perpisahan yang penuh dengan optimisme akan ampunan Allah yang tak terbatas.

🏠 Homepage