Memahami Kedalaman Kasih: Hadis Tentang Ibu dalam Islam

Ilustrasi Ibu dan Anak Siluet seorang ibu memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang, melambangkan kehangatan dan perlindungan. Kasih Sayang Ibu Tiada Tara Siluet seorang ibu memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang, melambangkan kehangatan dan perlindungan.

Pendahuluan: Akar Kemuliaan Seorang Ibu

Dalam tatanan sosial dan spiritual Islam, tidak ada sosok yang dimuliakan setara dengan seorang ibu. Posisinya bukan sekadar hubungan biologis, melainkan sebuah institusi agung yang menjadi pondasi keluarga, masyarakat, dan peradaban. Islam, melalui Al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah Muhammad SAW, meletakkan ibu pada singgasana kehormatan yang tiada duanya. Ia adalah madrasah pertama bagi seorang anak, guru kehidupan yang menanamkan nilai-nilai fundamental, dan pintu gerbang menuju surga.

Memahami hadis-hadis tentang ibu adalah menyelami samudra hikmah yang mengajarkan kita tentang pengorbanan, cinta tanpa syarat, dan arti sejati dari bakti. Setiap sabda Nabi SAW yang berkaitan dengan ibu adalah penegasan betapa vitalnya peran perempuan ini dalam struktur keimanan seorang Muslim. Artikel ini akan mengupas secara mendalam berbagai hadis tentang ibu, menyingkap lapisan-lapisan maknanya, serta merefleksikan relevansinya dalam kehidupan modern. Dari perintah untuk mendahulukannya tiga kali lipat di atas ayah, hingga pernyataan bahwa surga berada di bawah telapak kakinya, setiap ajaran adalah mutiara yang membimbing kita untuk menjadi anak yang saleh dan meraih ridha ilahi.

Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu: Makna Terdalam Sebuah Kiasan

Salah satu ungkapan yang paling masyhur dan mengakar kuat dalam benak umat Muslim adalah "Surga itu di bawah telapak kaki ibu." Ungkapan ini berasal dari hadis yang diriwayatkan dengan beberapa redaksi, di antaranya adalah hadis dari Mu'awiyah bin Jahimah As-Sulami.

أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ فَقَالَ هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

Artinya: "Jahimah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan aku datang untuk meminta petunjukmu. Beliau bersabda: 'Apakah engkau masih memiliki ibu?' Ia menjawab: 'Ya.' Beliau bersabda: 'Tetaplah bersamanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.'"

(HR. An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Hadis ini bukanlah pernyataan harfiah bahwa surga secara fisik terletak di bawah kaki ibu. Ini adalah sebuah majas atau kiasan yang sangat dalam dan kuat maknanya. Mari kita bedah makna filosofis di baliknya.

1. Ketaatan dan Kerendahan Hati

Ungkapan "di bawah telapak kaki" menyiratkan puncak kerendahan hati dan kepatuhan seorang anak kepada ibunya. Kaki adalah bagian tubuh yang paling bawah, yang menopang seluruh beban dan bersentuhan langsung dengan tanah. Meletakkan surga di sana berarti bahwa untuk meraih ganjaran tertinggi dari Allah SWT, seorang anak harus menempatkan dirinya dalam posisi yang paling rendah di hadapan ibunya. Ini adalah tentang melenyapkan ego, kesombongan, dan rasa lebih tinggi dari ibu. Ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariat Allah. Memenuhi panggilannya, mendengarkan nasihatnya, dan melayani kebutuhannya adalah bentuk konkret dari merendahkan diri ini.

2. Ridha Ibu adalah Kunci Ridha Allah

Jalan menuju surga adalah jalan yang diridhai oleh Allah. Hadis ini secara implisit menghubungkan ridha Allah dengan ridha seorang ibu. Dengan berbakti, melayani, dan membahagiakan ibu, seorang anak sedang meniti jalan untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Sebaliknya, menyakiti hati ibu, membuatnya murka, atau mengabaikannya adalah tindakan yang dapat menutup pintu surga, karena hal tersebut mengundang murka Allah. Telapak kaki ibu menjadi simbol dari "pintu" atau "jalan" yang harus dilalui. Jika kita ingin melangkah ke surga, kita harus melewati "pintu" keridhaan ibu terlebih dahulu.

3. Mengingat Jasa dan Pengorbanan

Kiasan ini juga mengajak kita untuk merenungkan seluruh pengorbanan yang telah ibu curahkan. Sejak dalam kandungan, ibu menanggung beban fisik yang luar biasa. Ia mengalami mual, kelelahan, dan perubahan tubuh yang drastis. Saat melahirkan, ia mempertaruhkan nyawanya, berada di antara hidup dan mati. Setelah itu, ia menyusui, begadang merawat kita saat sakit, membersihkan kotoran kita tanpa rasa jijik, dan mencurahkan seluruh energi dan waktunya untuk memastikan kita tumbuh sehat dan bahagia. Semua pengorbanan ini ia lakukan dengan "kaki" yang terus melangkah, menopang keluarga, dan merawat kita. Maka, sangat pantas jika surga, sebagai balasan tertinggi, diletakkan di bawah "kaki" yang telah bekerja begitu keras demi kita.

Prioritas Tertinggi: "Ibumu, Ibumu, Ibumu, Kemudian Ayahmu"

Salah satu hadis paling fundamental yang mengatur hierarki bakti dalam keluarga adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Hadis ini memberikan panduan yang sangat jelas dan tegas mengenai siapa yang harus diprioritaskan dalam berbakti.

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ

Artinya: "Seorang pria datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?' Beliau menjawab: 'Ibumu.' Pria itu bertanya lagi, 'Kemudian siapa?' Beliau menjawab: 'Kemudian ibumu.' Pria itu bertanya lagi, 'Kemudian siapa?' Beliau menjawab: 'Kemudian ibumu.' Pria itu bertanya lagi, 'Kemudian siapa?' Beliau menjawab: 'Kemudian ayahmu.'"

(HR. Bukhari dan Muslim)

Pengulangan kata "ibumu" sebanyak tiga kali bukanlah tanpa sebab. Para ulama menjelaskan hikmah di balik penekanan luar biasa ini.

1. Tiga Fase Eksklusif Penuh Perjuangan

Imam Al-Qurthubi dan ulama lainnya menjelaskan bahwa penyebutan ibu sebanyak tiga kali merujuk pada tiga fase penderitaan dan pengorbanan luar biasa yang hanya dialami oleh seorang ibu, tidak oleh seorang ayah.

  • Fase Kehamilan (Al-Haml): Selama sembilan bulan, ibu membawa kita dalam rahimnya. Ia menanggung beban fisik, perubahan hormon, kesulitan tidur, dan berbagai ketidaknyamanan lainnya. Ini adalah perjuangan soliter yang hanya ia yang merasakannya.
  • Fase Melahirkan (Al-Wadh'): Proses persalinan adalah perjuangan hidup dan mati. Rasa sakit yang dialami seorang ibu saat melahirkan digambarkan sebagai salah satu rasa sakit terhebat yang bisa dialami manusia. Ayah mungkin merasakan cemas, tetapi ibu merasakan sakit fisiknya secara langsung.
  • Fase Menyusui (Ar-Radha'): Selama dua tahun, ibu memberikan ASI, yang merupakan sumber gizi terbaik bagi bayi. Ini menuntut kesabaran, waktu, dan energi yang besar, seringkali mengorbankan waktu istirahatnya, terutama di malam hari.

Ketiga fase ini adalah "monopoli" pengorbanan seorang ibu. Ayah berperan penting dalam mencari nafkah dan melindungi keluarga, tetapi tiga beban berat ini dipikul sendiri oleh ibu. Oleh karena itu, Islam memberinya hak tiga kali lebih besar untuk dihormati dan dilayani dengan baik.

2. Kelembutan dan Kasih Sayang

Selain tiga fase fisik tersebut, ibu secara alami memiliki kelembutan, kasih sayang, dan perhatian yang lebih besar terhadap anak-anaknya. Ia adalah sumber ketenangan emosional dan pusat kehangatan dalam keluarga. Kebutuhan akan kelembutan dan kasih sayang ini menjadikan posisi ibu sangat sentral. Penekanan tiga kali ini juga bisa dimaknai sebagai pengingat agar kita senantiasa membalas kelembutan tersebut dengan perlakuan yang lebih lembut lagi.

3. Bukan Berarti Mengabaikan Ayah

Penting untuk digarisbawahi, hadis ini sama sekali tidak bertujuan untuk merendahkan posisi ayah. Ayah tetap memiliki kedudukan yang sangat mulia dan hak untuk dihormati, sebagaimana disebutkan di urutan keempat. Ayah adalah tulang punggung keluarga, pelindung, dan pemberi nafkah. Namun, hadis ini memberikan skala prioritas dalam hal pelayanan dan kebaikan, di mana porsi untuk ibu harus tiga kali lebih besar karena pengorbanannya yang juga tiga kali lebih spesifik dan berat.

Ridha Allah Bergantung pada Ridha Orang Tua

Hubungan antara anak dan orang tua dalam Islam tidak hanya bersifat horizontal (hubungan antar manusia), tetapi juga vertikal (berhubungan langsung dengan Allah SWT). Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin 'Amr menegaskan hubungan spiritual ini.

رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

Artinya: "Ridha Rabb (Allah) ada pada ridha orang tua, dan murka Rabb (Allah) ada pada murka orang tua."

(HR. Tirmidzi, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Meskipun hadis ini menyebut "orang tua" (al-walid) secara umum, jika kita menggabungkannya dengan hadis "ibumu tiga kali", maka menjadi jelas bahwa mendapatkan ridha ibu adalah prioritas utama untuk meraih ridha Allah.

Implikasi Spiritual dari Ridha Ibu

Hadis ini mengubah paradigma bakti kepada ibu dari sekadar kewajiban sosial menjadi sebuah ibadah agung. Setiap tindakan yang kita lakukan untuk menyenangkan hati ibu, sekecil apa pun, bernilai ibadah di mata Allah.

  • Sebuah Senyuman: Memberikan senyuman tulus kepada ibu saat bertemu dengannya bisa menjadi sebab turunnya rahmat Allah.
  • Tutur Kata Lembut: Berbicara dengan suara yang rendah, sopan, dan penuh hormat adalah bentuk zikir yang mendatangkan ridha-Nya.
  • Membantu Pekerjaan Rumah: Membantu meringankan beban pekerjaan rumahnya tanpa diminta adalah sedekah yang paling utama.
  • Mendoakannya: Mengangkat tangan dan mendoakan kebaikan untuknya, baik di hadapannya maupun dalam kesendirian, adalah cara langsung berkomunikasi dengan Allah untuk memohonkan ridha bagi ibu, yang pada akhirnya akan kembali kepada kita.

Sebaliknya, setiap perbuatan yang membuat ibu tidak ridha, kecewa, atau sakit hati berpotensi mengundang murka Allah. Murka Allah bisa menjelma dalam berbagai bentuk: kesulitan dalam rezeki, hilangnya keberkahan dalam hidup, kegelisahan hati, hingga kesulitan di akhirat kelak. Oleh karena itu, menjaga perasaan ibu dan memastikan ia selalu ridha adalah investasi terbesar untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ancaman Keras: Dosa Besar Durhaka kepada Ibu

Sebagaimana Islam menjanjikan pahala terbesar bagi yang berbakti kepada ibu, Islam juga memberikan ancaman paling keras bagi mereka yang durhaka. Durhaka kepada orang tua (uququl walidain), khususnya kepada ibu, termasuk dalam kategori dosa-dosa besar (al-kaba'ir).

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: الإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ

Artinya: "Maukah aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa besar yang paling besar?" Kami menjawab, "Tentu, wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua."

(HR. Bukhari dan Muslim)

Menempatkan durhaka kepada orang tua persis setelah syirik (menyekutukan Allah) menunjukkan betapa seriusnya dosa ini. Syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni jika dibawa mati, dan durhaka kepada orang tua berada di tingkat setelahnya. Ini adalah sebuah peringatan yang sangat tegas.

Bentuk-Bentuk Durhaka yang Sering Diremehkan

Durhaka tidak hanya sebatas melakukan kekerasan fisik atau mencaci maki. Ada banyak bentuk durhaka yang lebih halus dan seringkali tidak disadari, terutama kepada ibu yang hatinya lebih sensitif.

  • Mengatakan "Ah" atau "Uh": Al-Quran secara eksplisit melarang ini dalam Surat Al-Isra ayat 23. Mengucapkan keluhan kecil yang menunjukkan kejengkelan atau ketidaksabaran sudah terhitung sebagai bentuk awal kedurhakaan.
  • Menatap dengan Pandangan Tajam: Memandang ibu dengan tatapan sinis, meremehkan, atau penuh amarah adalah perbuatan yang sangat menyakiti hatinya dan tergolong durhaka.
  • Membuatnya Menangis: Menyebabkan ibu meneteskan air mata karena perkataan atau perbuatan kita adalah dosa yang sangat besar. Tangisan seorang ibu yang tersakiti oleh anaknya bisa menjadi penghalang keberkahan.
  • Lebih Mementingkan Orang Lain: Mendahulukan kepentingan teman, pasangan, atau bahkan hobi di atas permintaan atau kebutuhan ibu adalah bentuk pengabaian yang menyakitkan.
  • Mengungkit-ungkit Pemberian: Jika seorang anak memberikan sesuatu kepada ibunya, baik materi maupun jasa, kemudian mengungkit-ungkitnya di kemudian hari, hal itu dapat melukai perasaannya dan menghapus pahala kebaikan tersebut.

Rasulullah SAW juga bersabda bahwa Allah mengharamkan durhaka kepada para ibu. Ini menunjukkan bahwa menyakiti ibu adalah perbuatan yang secara langsung dilaknat oleh Allah. Keberkahan hidup seorang anak sangat terkait erat dengan bagaimana ia memperlakukan ibunya. Jika ia membuat ibunya menderita, maka besar kemungkinan hidupnya pun akan dipenuhi dengan kesulitan dan penderitaan.

Kisah Teladan: Uwais Al-Qarni, Penghuni Langit yang Tak Dikenal di Bumi

Kisah Uwais Al-Qarni adalah manifestasi tertinggi dari birrul walidain (bakti kepada orang tua), khususnya kepada ibu. Meskipun ia bukan seorang sahabat yang pernah bertemu langsung dengan Nabi Muhammad SAW, namanya disebut oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, termasuk Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Kemuliaan Uwais tidak datang dari ilmu agamanya yang masyhur atau kepemimpinannya dalam perang, melainkan dari baktinya yang luar biasa kepada ibunya.

Uwais tinggal di Yaman bersama ibunya yang sudah tua, lumpuh, dan buta. Ia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk merawat sang ibu. Ia bekerja sebagai penggembala domba, dan upah yang didapatnya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari bersama ibunya. Ia tidak pernah membiarkan ibunya kelaparan atau merasa tidak nyaman. Semua permintaan ibunya ia penuhi dengan segera.

Suatu hari, sang ibu mengungkapkan keinginan terbesarnya: pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Bagi Uwais, ini adalah permintaan yang hampir mustahil. Mereka sangat miskin dan tidak memiliki kendaraan. Jarak antara Yaman dan Mekkah sangat jauh, melintasi padang pasir yang panas dan berbahaya. Namun, Uwais tidak mengatakan "tidak" atau mengeluh. Ia memikirkan cara untuk mewujudkan impian ibunya.

Setiap hari, Uwais membeli seekor anak lembu dan menggendongnya naik-turun bukit. Orang-orang di kampungnya menganggapnya gila. Mereka menertawakannya, "Untuk apa kau lakukan itu, Uwais?" Uwais hanya tersenyum dan terus berlatih. Hari demi hari, bulan demi bulan, anak lembu itu tumbuh menjadi sapi dewasa yang berat, dan otot-otot Uwais pun menjadi sangat kuat.

Ketika musim haji tiba, barulah orang-orang paham maksud dari latihannya. Uwais Al-Qarni menggendong ibunya di punggungnya, berjalan kaki dari Yaman ke Mekkah. Ia menjadi "kendaraan" bagi ibunya, menapaki ratusan kilometer di bawah terik matahari. Ia dengan sabar merawat ibunya selama perjalanan, memastikan ibunya makan, minum, dan beristirahat dengan cukup.

Sesampainya di Mekkah, ia melaksanakan seluruh rukun haji sambil terus menggendong ibunya. Di depan Ka'bah, ia berdoa, "Ya Allah, ampunilah semua dosa ibuku." Ibunya bertanya, "Lalu bagaimana dengan dosamu, wahai anakku?" Uwais menjawab, "Dengan terampuninya dosa Ibu, maka Ibu akan masuk surga. Cukuplah ridha Ibu yang akan membawaku kepada ampunan Allah."

Karena baktinya yang luar biasa inilah, Rasulullah SAW bersabda kepada Umar bin Khattab, "Nanti akan datang seseorang dari Yaman bernama Uwais... ia sangat berbakti kepada ibunya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, pasti Allah akan mengabulkannya. Jika engkau bisa meminta agar ia memohonkan ampun untukmu, maka lakukanlah."

Kisah ini mengajarkan bahwa derajat seseorang di sisi Allah tidak selalu diukur dari popularitasnya di dunia. Bakti yang tulus kepada seorang ibu, yang dilakukan dalam kesunyian dan jauh dari pandangan manusia, dapat mengangkat derajat seseorang melebihi para ahli ibadah sekalipun. Doa seorang anak yang sangat berbakti kepada ibunya menjadi mustajab di sisi Allah.

Bakti yang Tak Pernah Usai: Memuliakan Ibu Setelah Wafat

Berbakti kepada ibu tidak berhenti ketika ia telah meninggal dunia. Islam mengajarkan bahwa pintu bakti tetap terbuka lebar, bahkan setelah ibu berpulang ke rahmatullah. Ini menunjukkan betapa langgengnya ikatan antara seorang anak dan ibunya.

Seorang pria dari Bani Salamah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW:

"Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk bakti kepada kedua orang tuaku yang bisa aku lakukan setelah mereka meninggal?" Beliau menjawab, "Ya, (yaitu) mendoakan keduanya, memintakan ampunan untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah mereka tiada, menyambung tali silaturahmi yang tidak akan tersambung kecuali melalui mereka, dan memuliakan teman-teman mereka."

(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Hadis ini memberikan panduan praktis tentang cara melanjutkan bakti kepada ibu yang telah tiada.

1. Mendoakan dan Memohonkan Ampunan

Ini adalah bentuk bakti yang paling utama dan paling dibutuhkan oleh ibu di alam barzakh. Doa seorang anak saleh adalah salah satu dari tiga amalan yang pahalanya tidak akan terputus. Rutin mendoakan, "Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira" (Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka telah menyayangiku di waktu kecil), adalah hadiah terbaik yang bisa dikirimkan seorang anak.

2. Bersedekah Atas Nama Ibu

Melakukan amal jariyah, seperti menyumbang untuk pembangunan masjid, wakaf sumur, atau memberikan Al-Quran, lalu meniatkan pahalanya untuk almarhumah ibu, adalah cara yang sangat dianjurkan. Setiap kali amal tersebut memberikan manfaat kepada orang lain, pahalanya akan terus mengalir kepada ibu di alam kubur.

3. Memenuhi Janji dan Wasiatnya

Jika ibu pernah memiliki nazar, utang, atau wasiat yang belum sempat terpenuhi semasa hidupnya, maka menjadi kewajiban anak untuk menunaikannya selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat.

4. Menyambung Silaturahmi dengan Kerabat dan Sahabat Ibu

Mengunjungi dan berbuat baik kepada saudara-saudara ibu (paman dan bibi dari pihak ibu), serta menjaga hubungan baik dengan sahabat-sahabat karibnya adalah cara yang indah untuk menghormati kenangannya. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Sesungguhnya kebaikan yang terbaik adalah seseorang menyambung tali persahabatan dengan teman-teman ayahnya (dan ibunya)."

Dengan melakukan hal-hal ini, seorang anak tidak hanya mengirimkan pahala kepada ibunya, tetapi juga menjaga namanya tetap hidup dalam kebaikan dan menunjukkan kepada dunia betapa besar cinta dan hormatnya kepada sang ibu, bahkan setelah raga mereka terpisah.

Kesimpulan: Ibu adalah Pintu Surga yang Paling Tengah

Dari serangkaian hadis yang telah dibahas, terbentang sebuah pesan yang agung dan konsisten: posisi ibu dalam Islam adalah sentral, mulia, dan tak tergantikan. Ia adalah jalan terdekat menuju ridha Allah dan kunci untuk membuka pintu surga. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Jika engkau mau, sia-siakanlah pintu itu atau jagalah ia." (HR. Tirmidzi). Menjaga "pintu" ini, khususnya pintu yang bernama ibu, adalah tugas seumur hidup yang dipenuhi dengan keberkahan.

Berbakti kepada ibu bukanlah sekadar tradisi atau anjuran moral, melainkan pilar keimanan yang kokoh. Setiap kebaikan yang kita persembahkan untuknya, mulai dari tutur kata yang lembut, senyuman yang tulus, pelayanan yang ikhlas, hingga doa yang tak putus, adalah investasi abadi untuk kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, setiap kelalaian, setiap kata kasar, dan setiap tetes air matanya yang jatuh karena kita, adalah kerugian besar yang bisa menutup pintu rahmat dan keberkahan.

Marilah kita merenungi kembali hubungan kita dengan ibu kita. Jika ia masih hidup, muliakanlah ia selagi ada kesempatan. Jangan menunggu hingga ia tiada untuk merasakan penyesalan. Jika ia telah tiada, teruslah kirimkan hadiah terbaik berupa doa dan amal saleh atas namanya. Karena pada akhirnya, di bawah telapak kakinyalah terhampar jalan menuju surga yang kita dambakan.

🏠 Homepage