Dalam tradisi keilmuan Islam Sunni, khususnya dalam mazhab Hanafi, sebuah karya monumental yang sering menjadi rujukan utama adalah Radd al-Muhtar ‘ala Durr al-Mukhtar. Karya besar ini lebih dikenal secara luas dengan sebutan Hasyiyah Ibnu Abidin. Nama lengkap penulisnya adalah Imam Muhammad Amin bin Abidin (wafat 1252 H), seorang ulama besar dari Damaskus, Suriah. Karya hasyiyah (catatan pinggir atau komentar ekstensif) ini bukan sekadar anotasi biasa, melainkan sebuah sintesis komprehensif yang mengolah dan menjelaskan seluk-beluk fikih Hanafi yang sangat kompleks.
Untuk memahami pentingnya Hasyiyah Ibnu Abidin, kita harus melihat konteksnya. Fikih Hanafi, meskipun kaya dan terstruktur, memiliki warisan kitab-kitab terdahulu yang terkadang saling tumpang tindih atau memerlukan penjelasan kontekstual. Ibnu Abidin mengambil peran sentral sebagai mujaddid (pembaharu) mazhab pada masanya. Ia berhasil menyaring ribuan fatwa, pandangan para ulama mujtahid mazhab Hanafi, dan menyajikannya dalam kerangka yang sistematis dan mudah diakses oleh para fuqaha (ahli fikih) generasi berikutnya.
Metodologi Ibnu Abidin dalam menyusun Hasyiyah Ibnu Abidin sangat teliti. Ia memulai komentarnya di atas kitab induk Durr al-Mukhtar karya Al-Kasani. Namun, komentarnya jauh melampaui sekadar penjelasan makna kata per kata. Ibnu Abidin seringkali mengutip secara langsung dari kitab-kitab mu'tabarah (tepercaya) yang lebih tua, seperti karya Al-Haskafi (penyusun Ad-Durr Al-Mukhtar), Al-Marghinani, dan Ibnu Humam. Tujuan utamanya adalah mengurai dalil-dalil yang mendasari suatu hukum, membandingkan pandangan yang berbeda dalam mazhab, dan yang terpenting, menentukan pandangan mana yang dianggap mu'tamad (paling kuat dan dapat dijadikan pegangan).
Salah satu fitur paling menonjol dari karya ini adalah kemampuannya untuk menengahi antara kerumitan teks-teks klasik dan kebutuhan praktis umat kontemporer Ibnu Abidin. Ia sangat memperhatikan 'urf (kebiasaan setempat) dan maslahah mursalah (kemaslahatan umum) selama tidak bertentangan dengan nash (teks dasar) yang kuat. Ini menunjukkan kedalaman pemahamannya terhadap prinsip-prinsip ushul fikih, tidak hanya sekadar hafalan cabang fikih.
Hingga kini, Hasyiyah Ibnu Abidin—sering disingkat menjadi Hasyiyah saja di kalangan ulama—tetap menjadi reference point final (titik rujukan terakhir) dalam mazhab Hanafi. Ketika terjadi perselisihan pendapat mengenai suatu masalah, para ulama akan merujuk kepada Hasyiyah untuk mengetahui pandangan yang diunggulkan oleh mazhab. Hal ini karena Ibnu Abidin dianggap telah melakukan proses tarjih (penentuan mana yang lebih kuat) secara tuntas.
Karya ini mencakup seluruh bab fikih, mulai dari ibadah (thaharah, shalat, puasa), muamalah (jual beli, utang piutang), hingga hukum keluarga dan perdata. Keindahan bahasa Arabnya yang padat, namun kaya makna, menuntut pembaca untuk memiliki bekal keilmuan yang memadai. Para penuntut ilmu yang mendalami fikih Hanafi seringkali menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk sekadar memahami bagian-bagian tertentu dari Hasyiyah Ibnu Abidin karena ketelitiannya dalam menyebutkan perbedaan pendapat bahkan di antara murid-murid mazhab itu sendiri.
Keberadaan Hasyiyah Ibnu Abidin membuktikan bahwa Islam selalu memiliki mekanisme internal untuk menjaga kemurnian dan relevansi ajaran fikihnya. Ibnu Abidin berhasil melakukan kodifikasi dan pembaruan tanpa keluar dari koridor mazhab yang diikutinya. Ia adalah jembatan yang menghubungkan pemikiran para imam besar abad pertengahan dengan kebutuhan fatwa di era modern awal.
Banyak ulama besar setelahnya yang masih bergantung pada otoritas karyanya. Mempelajari Hasyiyah Ibnu Abidin adalah memasuki laboratorium pemikiran fikih yang paling matang dan teruji dalam tradisi Hanafi. Ini adalah bukti nyata dari warisan intelektual Islam yang tidak pernah berhenti berkembang dan memberikan jawaban bagi tantangan zaman, selama pondasi metodologisnya diletakkan oleh ulama sekelas Imam Ibnu Abidin. Kedalaman dan keluasan cakupannya menjadikan karya ini sebuah monumen tak tergantikan dalam perpustakaan fikih global.