Hakikat Sebuah Amal: Kajian Mendalam Hadis HR Muslim No. 2699
Dalam perjalanan hidup seorang manusia, amal perbuatan menjadi tolok ukur yang kasat mata. Kita melihat seseorang berjuang, berilmu, dan bersedekah, lalu secara naluriah kita memberikan label kemuliaan padanya. Namun, di balik panggung dunia yang fana ini, ada sebuah pengadilan hakiki di mana semua topeng akan terbuka. Di sanalah, nilai sejati dari setiap perbuatan akan ditimbang bukan dari bentuk luarnya, melainkan dari esensi terdalam yang tersembunyi di dalam hati: niat.
Sebuah hadis agung yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan nomor 2699 menjadi pengingat yang begitu kuat dan mengguncang tentang realitas ini. Hadis ini bukan sekadar narasi, melainkan sebuah cermin besar yang memaksa kita untuk menatap jauh ke dalam diri, mempertanyakan kembali motivasi di balik setiap langkah, ucapan, dan pengorbanan yang kita lakukan. Hadis ini membawa kita pada sebuah pemahaman bahwa amal-amal yang paling spektakuler di mata manusia bisa menjadi debu yang beterbangan di hadapan Allah jika landasannya keropos.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِihَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِilَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Dari Abu Hurairah dia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid. Dia didatangkan lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya, dan dia pun mengenalinya. Allah bertanya, 'Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab, 'Aku berperang karena-Mu hingga aku mati syahid.' Allah berfirman, 'Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan sebagai seorang yang gagah berani, dan itu telah dikatakan.' Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Selanjutnya adalah seorang laki-laki yang menuntut ilmu, mengajarkannya, dan membaca Al-Qur'an. Dia didatangkan lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya, dan dia pun mengenalinya. Allah bertanya, 'Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab, 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur'an karena-Mu.' Allah berfirman, 'Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan sebagai seorang 'alim (orang berilmu), dan engkau membaca Al-Qur'an agar dikatakan sebagai seorang qari' (pembaca Al-Qur'an), dan itu telah dikatakan.' Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Dan seorang laki-laki yang Allah luaskan rezekinya dan Allah berikan kepadanya berbagai macam harta. Dia didatangkan lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya, dan dia pun mengenalinya. Allah bertanya, 'Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab, 'Tidak ada satu jalan pun yang Engkau cintai untuk berinfak padanya melainkan aku berinfak di jalan itu karena-Mu.' Allah berfirman, 'Engkau dusta! Engkau melakukannya agar dikatakan sebagai seorang jawad (dermawan), dan itu telah dikatakan.' Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya lalu dilemparkan ke dalam neraka."
Tiga Golongan, Tiga Amal Agung, Satu Tragedi
Hadis ini menyajikan tiga potret manusia dengan amal yang luar biasa. Jika kita melihatnya dari kacamata dunia, mereka adalah pahlawan, cendekiawan, dan filantropis. Mereka adalah sosok-sosok yang berada di puncak piramida sosial dan spiritual. Namun, di hadapan Pengadilan Ilahi, status duniawi mereka luruh tak bersisa. Mari kita bedah satu per satu tragedi yang menimpa mereka.
1. Sang Pejuang yang Berharap Gelar 'Pemberani'
Amal pertama yang disorot adalah perjuangan di medan perang hingga menemui kesyahidan. Dalam ajaran Islam, mati syahid adalah salah satu kedudukan tertinggi yang bisa dicapai seorang hamba. Darahnya menjadi saksi, dosanya diampuni, dan surga menantinya. Ini adalah sebuah pengorbanan puncak, di mana nyawa—aset paling berharga—dipersembahkan.
Dalam hadis ini, sang pejuang dihadirkan di hadapan Allah. Allah, Yang Maha Mengetahui, tidak langsung menghakiminya. Dia memulai dengan mengingatkan nikmat-nikmat yang telah diberikan: kekuatan fisik, keberanian, dan kesempatan untuk berjuang. Ketika ditanya apa yang ia lakukan dengan semua itu, jawabannya terdengar begitu mulia, "Aku berperang karena-Mu hingga aku mati syahid." Sebuah pengakuan yang sempurna di telinga manusia.
Namun, Allah Yang Maha Mengetahui isi hati membongkar kebohongan yang tersembunyi di balik pengakuan itu. "Engkau dusta!" Firman Allah ini pastilah menggelegar dan meruntuhkan seluruh bangunan kebanggaan yang ia miliki. "Engkau berperang supaya dikatakan sebagai seorang yang gagah berani (jur'ah), dan itu telah dikatakan."
Di sinilah letak tragedinya. Motivasi utamanya bukanlah mencari keridhaan Allah. Tujuan akhirnya bukanlah meninggikan kalimat-Nya. Hasrat terdalamnya adalah pujian manusia, pengakuan dari sesama, dan gelar 'pemberani' yang disematkan oleh masyarakat. Allah Maha Adil. Dia memberikan apa yang pejuang itu inginkan: dia mendapatkan pujian di dunia. Orang-orang mengagumi keberaniannya, namanya mungkin diabadikan dalam sejarah, dan keluarganya bangga. Dia telah menerima 'upahnya' secara tunai di dunia. Namun, karena niatnya bukan untuk Allah, maka di akhirat, tidak ada lagi imbalan yang tersisa untuknya selain siksa yang pedih. Amalnya yang agung itu menjadi sia-sia.
Pelajaran ini sangat relevan. Berapa banyak dari kita yang melakukan sebuah tindakan heroik atau pengorbanan besar, namun di sudut hati yang paling dalam, kita mendambakan validasi? Kita ingin dilihat, diakui, dan dipuji. Keinginan ini, jika tidak dikendalikan, dapat menggerogoti keikhlasan dan mengubah amal emas menjadi arang yang tak bernilai.
2. Sang Intelektual yang Haus Sebutan 'Alim'
Golongan kedua adalah representasi dari dunia keilmuan dan spiritual. Seorang yang menuntut ilmu, mengajarkannya, dan tekun membaca Al-Qur'an. Dalam tradisi Islam, orang berilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Mereka adalah pewaris para nabi, pelita bagi umat, dan pemandu jalan menuju kebenaran. Amal mereka adalah amal yang manfaatnya terus mengalir, mencerahkan akal dan menyucikan jiwa banyak orang.
Sama seperti yang pertama, dia dihadirkan dan diingatkan akan nikmat-nikmat Allah, terutama nikmat akal, pemahaman, dan kemampuan untuk belajar serta mengajar. Jawabannya pun terdengar sangat saleh, "Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur'an karena-Mu." Dia mengklaim bahwa seluruh aktivitas intelektual dan spiritualnya dipersembahkan murni untuk Allah.
Lagi-lagi, Allah membuka tabir kepalsuan di hatinya. "Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan sebagai seorang 'alim (orang berilmu), dan engkau membaca Al-Qur'an agar dikatakan sebagai seorang qari' (pembaca yang mahir)." Inilah penyakit subtil yang mengintai para penuntut ilmu dan ahli ibadah: kebanggaan intelektual dan spiritual.
Niatnya bukanlah untuk mengamalkan ilmu, bukan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan umat, dan bukan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Ilmu. Niatnya adalah untuk mendapatkan status sosial sebagai 'orang pintar', 'cendekiawan', 'ustaz', atau 'qari bersuara merdu'. Dia menikmati decak kagum para pendengar, rasa hormat dari para murid, dan undangan ke berbagai majelis. Allah pun memberikan apa yang ia cari di dunia. Dia terkenal sebagai seorang alim, dihormati sebagai qari. Namanya harum, dan pendapatnya didengar. Dia telah menerima bayarannya di dunia. Namun di akhirat, ilmunya tidak menjadi penolong, melainkan menjadi hujjah yang memberatkannya.
Ilmu tanpa keikhlasan adalah seperti tubuh tanpa ruh. Ia mungkin terlihat mengesankan dari luar, namun di dalamnya kosong dan tak bernyawa. Ia tidak mampu mengangkat pemiliknya ke derajat yang mulia di sisi Allah.
Fenomena ini sangat nyata di zaman modern. Di era media sosial, ilmu seringkali menjadi komoditas untuk membangun citra diri. Seseorang bisa saja rajin membagikan kutipan-kutipan bijak, menampilkan bacaan Al-Qur'an yang indah, atau terlibat dalam debat-debat intelektual, namun motivasi di baliknya adalah untuk mengumpulkan 'like', 'share', dan pengikut. Hadis ini menjadi peringatan keras bagi siapa saja yang bergelut di dunia ilmu dan dakwah agar senantiasa memeriksa kemurnian niatnya.
3. Sang Dermawan yang Mendamba Julukan 'Jawad'
Golongan ketiga adalah sosok yang dikagumi karena kedermawanannya. Allah telah memberinya kelapangan rezeki dan berbagai jenis harta. Kedermawanan adalah sifat yang sangat dicintai Allah. Ia adalah manifestasi dari rasa syukur, empati, dan keyakinan bahwa rezeki berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Seorang dermawan adalah tangan Allah di muka bumi, yang menyalurkan nikmat-Nya kepada mereka yang membutuhkan.
Ketika dihadirkan, sang dermawan ini dengan percaya diri menyatakan amalnya. Setelah mengakui nikmat harta yang melimpah, dia berkata, "Tidak ada satu jalan pun yang Engkau cintai untuk berinfak padanya melainkan aku berinfak di jalan itu karena-Mu." Pernyataannya menyiratkan totalitas dalam berderma. Dia membangun masjid, menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, dan mendanai kegiatan kebaikan lainnya. Secara lahiriah, kontribusinya bagi masyarakat sangat besar.
Namun, vonis dari Allah tetap sama. "Engkau dusta! Engkau melakukannya agar dikatakan sebagai seorang jawad (dermawan), dan itu telah dikatakan." Niat sejatinya bukanlah untuk mencari wajah Allah atau membantu sesama dengan tulus. Tujuan utamanya adalah reputasi. Dia ingin dikenal sebagai seorang filantropis ulung, namanya terpampang di plakat-plakat donasi, dan kisahnya dibicarakan sebagai teladan kedermawanan.
Allah sekali lagi menunjukkan keadilan-Nya. Sang dermawan mendapatkan apa yang ia dambakan. Di dunia, ia dihormati, dipuji, dan dianggap sebagai pilar komunitas. Mungkin ia mendapatkan penghargaan, liputan media, dan rasa terima kasih yang melimpah dari banyak orang. Itulah upahnya. Namun, karena niatnya tercemar oleh keinginan untuk dipuji, maka di timbangan akhirat, tumpukan hartanya yang ia infakkan tidak memiliki bobot sama sekali. Amalnya hangus terbakar oleh api riya'.
Ini adalah refleksi yang mendalam tentang budaya memberi di zaman kita. Seringkali, tindakan amal dibarengi dengan publisitas yang masif. Meskipun ada niat baik untuk menginspirasi orang lain, ada garis tipis yang memisahkan antara syiar dan riya'. Hadis ini mengajak kita untuk lebih banyak melakukan sedekah sembunyi-sembunyi, di mana hanya Allah yang menjadi saksi. Karena amal yang tersembunyi lebih sulit dijangkiti oleh penyakit ingin dilihat dan dipuji.
Mengurai Benang Kusut Niat: Ikhlas vs. Riya'
Hadis HR Muslim 2699 ini, pada intinya, adalah pelajaran fundamental tentang dua konsep yang saling bertolak belakang: Ikhlas dan Riya'.
Memahami Ikhlas: Ruh dari Segala Amal
Ikhlas secara bahasa berarti murni, bersih, dan jernih. Dalam terminologi syariat, ikhlas adalah memurnikan niat dalam beribadah hanya untuk Allah semata, tanpa mencampurinya dengan tujuan-tujuan lain, terutama yang bersifat duniawi seperti pujian manusia, harta, atau jabatan. Ikhlas adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dan satu-satunya penonton dari setiap amal yang kita lakukan. Ia adalah ruh yang menghidupkan jasad amal. Tanpa ikhlas, amal sebagus apa pun hanyalah bangkai yang tak bernilai.
Seorang yang ikhlas tidak peduli apakah amalnya dilihat orang atau tidak. Pujian tidak membuatnya terbang, dan celaan tidak membuatnya tumbang. Fokusnya hanya satu: apakah Allah ridha dengan apa yang ia lakukan? Inilah tingkatan spiritualitas tertinggi, di mana seorang hamba berhasil melepaskan diri dari belenggu penilaian manusia dan hanya bergantung pada penilaian Allah.
Mengenali Riya': Syirik yang Tersembunyi
Riya' berasal dari kata ra'a yang berarti melihat. Riya' adalah melakukan suatu amal kebaikan agar dilihat dan dipuji oleh manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyebutnya sebagai "syirik kecil" atau "syirik yang tersembunyi" (syirkul khafiy). Mengapa disebut syirik? Karena ketika seseorang beramal karena ingin dipuji manusia, pada hakikatnya ia telah menyekutukan Allah dalam niatnya. Ia menjadikan pujian manusia sebagai 'tuhan' lain yang ia sembah di samping Allah.
Penyakit riya' ini sangat halus dan licik. Ia bisa menyelinap ke dalam hati orang yang paling alim dan paling ahli ibadah sekalipun. Ia bisa muncul dalam berbagai bentuk:
- Riya' dalam Penampilan: Menampakkan kekhusyukan dalam shalat saat ada orang lain, atau berpenampilan sederhana agar dianggap zuhud.
- Riya' dalam Ucapan: Berbicara dengan dalil-dalil agar dianggap alim, atau menceritakan amal-amal baik yang telah dilakukan.
- Riya' dalam Perbuatan: Memperpanjang sujud saat tahu ada yang memperhatikan, atau memberi sedekah dalam jumlah besar di depan umum agar disebut dermawan.
Tiga tokoh dalam hadis ini adalah contoh sempurna dari bagaimana riya' dapat menghancurkan amal-amal yang paling agung sekalipun. Mereka semua terjatuh bukan karena amalnya yang kurang, tetapi karena niatnya yang salah alamat.
Bagaimana Cara Memupuk dan Menjaga Keikhlasan?
Setelah memahami betapa krusialnya niat dan betapa berbahayanya riya', pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana kita bisa menumbuhkan dan merawat keikhlasan dalam hati? Ini adalah perjuangan seumur hidup, jihad terbesar melawan hawa nafsu. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa diupayakan:1. Selalu Memperbarui Niat (Tajdidun Niyyah)
Niat adalah sesuatu yang dinamis dan bisa berubah di tengah-tengah amal. Bisa jadi kita memulai suatu perbuatan dengan ikhlas, namun di pertengahan jalan, bisikan setan dan hawa nafsu menyisipkan keinginan untuk dipuji. Oleh karena itu, penting untuk senantiasa memperbarui dan meluruskan niat sebelum, saat, dan sesudah beramal. Berdoalah, "Ya Allah, aku lakukan ini hanya untuk-Mu, maka terimalah."
2. Merahasiakan Amal Kebaikan
Salah satu cara paling efektif untuk melatih keikhlasan adalah dengan memiliki "simpanan" amal rahasia yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Allah. Shalat malam saat semua orang tertidur, sedekah yang dimasukkan ke kotak amal tanpa seorang pun melihat, atau membantu orang lain secara anonim. Amal-amal yang tersembunyi ini akan menjadi benteng yang melindungi hati dari serangan riya'.
3. Mengingat Hakikat Diri dan Keagungan Allah
Sadari bahwa kita ini hanyalah hamba yang lemah dan tidak memiliki daya upaya apa pun. Setiap kebaikan yang bisa kita lakukan semata-mata berasal dari taufik dan pertolongan Allah. Jika kita bisa berjuang, berilmu, atau berderma, itu semua karena nikmat dari-Nya. Lalu, apa yang pantas kita sombongkan? Sebaliknya, sadari keagungan Allah. Hanya Dia yang layak disembah, hanya pujian-Nya yang sejati, dan hanya ridha-Nya yang patut dicari.
4. Memandang Remeh Pujian dan Celaan Manusia
Latihlah hati untuk tidak terlalu terpengaruh oleh penilaian manusia. Ingatlah bahwa manusia yang memuji kita hari ini, bisa jadi mencela kita esok hari. Mereka tidak bisa memberi kita manfaat atau menimpakan mudarat tanpa izin Allah. Pujian mereka tidak akan menambah kemuliaan kita di sisi Allah, dan celaan mereka tidak akan mengurangi derajat kita. Gantungkan harapan hanya kepada Allah, Sang Pemilik pujian yang abadi.
5. Memperbanyak Doa
Hati berada dalam genggaman Allah, Dia-lah yang membolak-balikkannya. Maka, jangan pernah lelah untuk berdoa memohon keikhlasan. Salah satu doa yang diajarkan oleh Nabi adalah: "Allahumma inni a'udzu bika an usyrika bika wa ana a'lam, wa astaghfiruka lima laa a'lam" (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu atas apa yang tidak aku ketahui).
Kesimpulan: Penentu Nilai Ada di dalam Hati
Hadis HR Muslim 2699 adalah sebuah pelajaran abadi yang menembus ruang dan waktu. Ia mengingatkan kita bahwa dalam Islam, kualitas lebih utama daripada kuantitas, dan esensi lebih penting daripada penampilan. Tiga sosok yang digambarkan dalam hadis—sang syuhada, sang alim, dan sang dermawan—memberikan kita gambaran yang jelas bahwa amal besar tanpa niat yang lurus ibarat fatamorgana di padang pasir: terlihat indah dari kejauhan, namun hampa saat didekati.
Pada akhirnya, perjalanan kita adalah perjalanan menuju Allah, bukan menuju pengakuan manusia. Pengadilan terakhir adalah pengadilan niat, di mana semua isi hati akan ditampakkan. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk meluruskan niat, membersihkan hati dari segala penyakit riya' dan sum'ah (ingin didengar), dan menerima setiap amal kita, sekecil apa pun itu, sebagai persembahan yang murni hanya untuk-Nya. Karena sebuah biji kurma yang disedekahkan dengan ikhlas lebih berat timbangannya di sisi Allah daripada gunung emas yang diinfakkan karena ingin disebut dermawan.