Hukum waris perdata merupakan salah satu cabang hukum yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, terutama ketika menyangkut pengaturan dan pembagian harta peninggalan seseorang setelah ia meninggal dunia. Di Indonesia, hukum waris perdata secara umum merujuk pada aturan yang berlaku bagi masyarakat yang menganut hukum Barat atau yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW). Memahami hukum waris perdata menjadi krusial agar proses pembagian warisan berjalan adil, sesuai hukum, dan terhindar dari perselisihan di antara ahli waris.
Hukum waris perdata di Indonesia sebagian besar diadopsi dari hukum Belanda. Prinsip utamanya adalah pembagian harta peninggalan (boedel) yang dilakukan berdasarkan undang-undang (ab intestaat) atau berdasarkan wasiat (testamentair). Terdapat beberapa kategori ahli waris yang diakui dalam hukum waris perdata, yaitu:
KUH Perdata mengklasifikasikan ahli waris berdasarkan golongan untuk menentukan siapa yang berhak mewaris dan dalam urutan apa. Golongan-golongan ini adalah:
Penting untuk dicatat bahwa ahli waris dalam golongan yang lebih tinggi akan mengesampingkan ahli waris dalam golongan yang lebih rendah. Artinya, jika ada ahli waris dari golongan pertama, maka ahli waris dari golongan kedua, ketiga, dan keempat tidak berhak mewaris.
Pembagian harta warisan dapat dilakukan secara ab intestaat (tanpa wasiat) atau testamentair (dengan wasiat).
Dalam kasus ini, pembagian harta peninggalan dilakukan berdasarkan urutan dan bagian yang telah ditetapkan dalam KUH Perdata. Jika ada anak dan suami/istri, mereka akan berbagi harta. Besaran bagian masing-masing akan diatur sesuai dengan ketentuan undang-undang. Misalnya, jika pewaris meninggalkan suami/istri dan satu anak, maka harta dibagi dua; masing-masing mendapat separuh. Jika ada suami/istri dan dua anak atau lebih, maka suami/istri mendapat seperempat dan sisanya dibagi rata di antara anak-anak.
Seseorang memiliki kebebasan untuk membuat surat wasiat yang isinya berupa penunjukan ahli waris atau pemberian hibah kepada pihak tertentu. Namun, kebebasan ini dibatasi oleh konsep reservering van de legitieme portie atau hak bagian mutlak bagi ahli waris tertentu (terutama keturunan). Artinya, meskipun ada wasiat, ahli waris sah (seperti anak) tetap berhak atas bagian minimum yang dijamin oleh undang-undang. Jika wasiat tersebut mengurangi hak bagian mutlak mereka, maka wasiat tersebut dapat dinyatakan batal atau disesuaikan.
Dalam hukum waris perdata, konsep anak luar kawin atau anak hasil hubungan di luar pernikahan memiliki posisi yang berbeda. Anak luar kawin hanya dapat mewaris dari ibunya dan keturunannya. Ia tidak mewaris dari ayah biologisnya kecuali ada pengakuan sah dari ayah. Namun, ada kemungkinan mereka dapat diakui sebagai ahli waris jika diangkat oleh hakim berdasarkan alasan-alasan tertentu, atau jika ada wasiat yang dibuat untuk mereka.
Proses pembagian warisan, terutama yang melibatkan harta dalam jumlah besar atau ada potensi perselisihan, seringkali kompleks. Banyak hal yang perlu diperhatikan, mulai dari identifikasi harta, penetapan ahli waris yang sah, hingga proses eksekusi pembagian. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum atau notaris yang memahami hukum waris perdata. Mereka dapat memberikan panduan yang tepat, membantu dalam pembuatan surat wasiat, proses balik nama aset, dan penyelesaian sengketa waris jika terjadi. Memahami hukum waris perdata bukan hanya tentang hak, tetapi juga tentang kewajiban untuk menjalankan kehendak terakhir pewaris secara adil dan tertib.