Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah salah satu tokoh sentral dalam sejarah Islam, cucu kesayangan dari Nabi Muhammad SAW dan putra dari Ali bin Abi Thalib (Khalifah keempat) serta Fatimah az-Zahra (putri Nabi Muhammad SAW). Kedudukannya sebagai Ahlul Bait (keluarga inti Nabi) memberikannya posisi yang sangat mulia dan dihormati dalam pandangan umat Islam, khususnya bagi Muslim Syiah dan banyak Sunni. Sejak kecil, Husain dibesarkan dalam lingkungan kenabian, menerima pendidikan langsung dari kakeknya, Nabi Muhammad SAW, yang sangat mencintainya.
Interaksi antara Husain dan Rasulullah SAW sering dicatat dalam berbagai riwayat. Nabi SAW pernah bersabda, "Husain dariku dan aku dari Husain," yang menekankan kedekatan spiritual dan ikatan darah yang tak terpisahkan. Kehidupan awal Husain dihabiskan di Madinah, menyaksikan dan mempelajari secara langsung bagaimana pemerintahan Islam dijalankan oleh kakeknya, dan kemudian oleh ayah dan saudara laki-lakinya, Hasan bin Ali.
Ilustrasi Simbolis Keturunan Suci dan Peranannya
Setelah wafatnya Muawiyah bin Abi Sufyan, tantangan politik memuncak. Yazid bin Muawiyah naik takhta, sebuah suksesi yang dipandang oleh Husain sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Islam yang dibawa oleh kakeknya. Husain memegang teguh prinsip untuk tidak membaiat (memberikan sumpah setia) kepada penguasa yang dianggapnya tidak adil dan korup. Bagi Husain, integritas ajaran Islam jauh lebih penting daripada kekuasaan duniawi.
Pada masa inilah, banyak surat dan utusan dari penduduk Kufah (Irak saat itu) yang datang kepadanya, memohon agar ia memimpin mereka melawan tirani yang mereka rasakan di bawah kekuasaan Bani Umayyah. Setelah melalui proses pertimbangan yang mendalam dan konsultasi dengan kerabat dekatnya, termasuk saudara lelakinya yang masih hidup dan ibunya (dalam beberapa riwayat), Husain memutuskan untuk menanggapi panggilan tersebut, meskipun ia telah diperingatkan akan bahaya besar yang menanti.
Perjalanan Husain menuju Kufah adalah sebuah perjalanan yang ditandai dengan kejujuran moral dan kesiapan menghadapi konsekuensi. Ia tidak pergi untuk merebut takhta demi kekuasaan pribadi, melainkan untuk menegakkan keadilan (amar ma'ruf nahi munkar) dan mengembalikan pemerintahan Islam kepada jalur yang benar.
Puncak dari kisah perjuangan Husain bin Ali adalah peristiwa di Karbala, sebuah dataran di Irak. Pasukan Husain, yang jumlahnya sangat sedikit—terdiri dari keluarga, sahabat, dan pengikut setia—dihadang dan dikepung oleh pasukan besar yang dikirim oleh Yazid. Meskipun dikepung, ditolak akses air, dan menghadapi ancaman kematian, Husain dan rombongannya menolak untuk menyerah atau tunduk pada kekuasaan yang dianggapnya tidak sah.
Peristiwa heroik dan tragis ini mencapai klimaksnya pada hari Asyura, di mana Husain dan hampir semua laki-laki dewasa dari rombongannya gugur sebagai syuhada. Kematian Husain di Karbala bukanlah akhir dari kisahnya, melainkan titik awal dari warisan abadi. Pengorbanannya menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan, penegasan prinsip di atas segalanya, dan perjuangan menegakkan kebenaran meskipun harus dibayar dengan nyawa.
Hingga kini, kisah Husain bin Ali dikenang dan diperingati oleh jutaan umat Islam di seluruh dunia, terutama melalui ritual peringatan Asyura. Semangatnya dalam membela kebenaran dan menolak kepalsuan terus menginspirasi banyak generasi untuk selalu berdiri tegak di sisi keadilan, menjadikannya ikon universal keberanian moral.