Representasi simbolik dari warisan literatur Ibnu Abi Dunya.
Ibnu Abi Dunya, dengan nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Sufyan al-Baghdadi, adalah salah satu tokoh intelektual terkemuka pada abad ke-3 Hijriyah (abad ke-9 Masehi). Berasal dari Baghdad, kota ilmu pada masa kejayaan Abbasiyah, beliau dikenal bukan hanya sebagai seorang ahli hadis yang ketat dalam periwayatannya, tetapi juga sebagai seorang sufi, penyair, dan penasihat moral yang sangat dihormati. Kedudukannya dalam dunia keilmuan Islam sangat unik; ia menjembatani tradisi hadis lisan dengan praktik spiritualitas tasawuf yang mulai berkembang pesat pada masanya.
Berbeda dengan banyak tokoh sufi kontemporer yang lebih fokus pada aspek mistis, Ibnu Abi Dunya sangat menekankan pendekatan zuhud (asketisme), etika, dan perilaku (akhlak) yang bersumber langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah. Warisannya adalah koleksi karya tulis yang memberikan panduan praktis bagi seorang Muslim untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan melalui kesederhanaan hidup, pengendalian diri, dan pengabdian murni.
Karya Ibnu Abi Dunya yang paling monumental dan berpengaruh adalah kitab-kitabnya yang membahas tentang zuhud (ketidakbergantungan pada dunia) dan qana'ah (merasa cukup). Bagi Ibnu Abi Dunya, zuhud bukanlah berarti meninggalkan dunia secara total, melainkan memandang dunia sebagai sarana menuju akhirat, bukan sebagai tujuan akhir. Ia sering mengingatkan para penguasa dan bangsawan pada masanya tentang bahaya keserakahan dan cinta berlebihan terhadap harta duniawi.
Karya-karyanya seperti Kitab az-Zuhd dan Kitab al-Wara' (Kesalehan/Kehati-hatian) menjadi rujukan utama bagi generasi berikutnya dalam memahami bagaimana menjalani hidup yang saleh di tengah hiruk pikuk kehidupan kota besar seperti Baghdad. Ia mengajarkan bahwa ketenangan jiwa (sakinah) hanya dapat dicapai ketika hati terlepas dari keterikatan materi yang fana.
Salah satu aspek menarik dari kehidupan Ibnu Abi Dunya adalah perannya sebagai penasihat moral bagi para khalifah dan elite politik, meskipun ia sendiri dikenal sangat sederhana dan menolak kemewahan. Ia menggunakan pengaruh intelektualnya untuk menasihati para penguasa agar berlaku adil, mengingat tanggung jawab mereka di hadapan Allah, dan menjauhi kesenangan sesaat. Pendekatan penasihatannya selalu didasarkan pada hadis-hadis sahih dan kisah para sahabat, membuatnya lebih mudah diterima oleh kalangan penguasa yang menghargai tradisi.
Meskipun dikenal karena dimensi tasawuf dan etika, dasar keilmuan Ibnu Abi Dunya adalah 'ulumul hadis. Ia meriwayatkan ribuan hadis dari guru-guru besar seperti Imam Ahmad bin Hanbal. Para ulama hadis menilai sanadnya kuat, meskipun beberapa kritikus menyoroti kecenderungannya memasukkan riwayat yang bersifat mauquf (berhenti pada sahabat) atau maqthur (berhenti pada tabiin) dalam pembahasan akhlak dan nasihat spiritual, yang mana hal ini diperbolehkan dalam ranah nasihat non-hukum.
Secara keseluruhan, warisan Ibnu Abi Dunya adalah manifestasi dari sintesis antara fiqh (hukum), hadis (tradisi), dan suluk (perjalanan spiritual). Ia menunjukkan bahwa keimanan yang kokoh terwujud dalam tindakan nyata: kesederhanaan, kejujuran, dan ketekunan dalam beribadah. Kehidupan dan tulisan-tulisannya terus relevan sebagai panduan bagi Muslim yang mencari keseimbangan antara aktivitas duniawi dan persiapan untuk kehidupan abadi. Beliau adalah mercusuar bagi mereka yang ingin menyucikan hati tanpa meninggalkan tanggung jawab sosial dan keilmuan.