Dalam hamparan sejarah yang luas, ada nama-nama yang bersinar laksana bintang penunjuk arah, yang cahayanya tidak pernah padam ditelan zaman. Salah satu nama yang paling harum dan mulia adalah Aminah binti Wahb, sosok wanita pilihan yang ditakdirkan menjadi wadah suci bagi lahirnya manusia paling agung, penutup para nabi dan rasul. Beliau adalah ibu Nabi Muhammad SAW. Kisah hidupnya, meskipun singkat, sarat dengan pelajaran tentang kemuliaan nasab, kesucian jiwa, kesabaran dalam ujian, dan cinta keibuan yang tak terhingga. Memahami kisahnya adalah menyelami akar dari pohon kenabian yang agung, memahami ketetapan ilahi yang telah dipersiapkan dengan begitu indah.
Kisah ibu Nabi Muhammad bukanlah sekadar catatan biografi. Ia adalah sebuah mozaik yang tersusun dari kepingan-kepingan kemuliaan, kehormatan, dan takdir yang luhur. Setiap babak dalam hidupnya, dari masa gadisnya yang terhormat hingga saat-saat terakhirnya di Abwa, merupakan bagian dari skenario agung untuk menyambut kedatangan sang pembawa rahmat bagi seluruh alam. Beliau adalah wanita yang namanya akan selalu disebut dengan penuh hormat dan cinta oleh miliaran umat manusia, sebagai ibunda dari kekasih Allah SWT.
Nasab yang Terjaga dan Keluarga Terhormat
Kemuliaan Sayyidah Aminah tidak datang secara tiba-tiba. Ia terlahir dari benih yang baik, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang terpandang dan dihormati di tengah masyarakat Mekkah. Nasab atau garis keturunannya bertemu dengan nasab Nabi Muhammad pada kakek mereka yang bernama Kilab bin Murrah. Ini menunjukkan betapa dekat dan terhormatnya jalinan kekerabatan antara keluarga ayah dan ibu Nabi Muhammad SAW. Secara rinci, nasabnya adalah Aminah binti Wahb bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Sedangkan nasab ayah Nabi Muhammad adalah Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab.
Ayahnya, Wahb bin Abdu Manaf, adalah seorang pemimpin dari Bani Zuhrah, salah satu klan terkemuka dalam suku Quraisy. Bani Zuhrah dikenal sebagai klan yang bijaksana, dihormati, dan memiliki kedudukan penting dalam struktur sosial Mekkah. Wahb sendiri merupakan sosok yang disegani karena kebijaksanaan, kedermawanan, dan akhlaknya yang luhur. Ia adalah representasi dari nilai-nilai kebangsawanan Arab pada masanya. Dengan demikian, Aminah tumbuh sebagai putri seorang pemimpin, mewarisi kehormatan dan martabat yang melekat pada keluarganya.
Ibunya bernama Barrah binti Abdul Uzza bin Utsman bin Abduddar bin Qushay bin Kilab. Ibunya juga berasal dari keluarga Quraisy yang terpandang, dari klan Bani Abduddar, yang secara turun-temurun memegang kehormatan sebagai penjaga kunci Ka'bah. Pertemuan nasab dari kedua orang tuanya pada Qushay bin Kilab, tokoh legendaris yang menyatukan kembali suku Quraisy dan membangun Mekkah, semakin menegaskan betapa istimewanya latar belakang keluarga Sayyidah Aminah. Ia adalah muara dari dua aliran sungai kemuliaan Quraisy, sebuah persiapan sempurna dari Allah SWT untuk seorang wanita yang akan melahirkan manusia termulia.
Tumbuh di bawah asuhan orang tua yang mulia dan dalam lingkungan keluarga besar yang terhormat membentuk kepribadian Aminah. Ia tidak hanya dikenal karena kecantikannya, tetapi juga karena kecerdasan, tutur katanya yang lembut, adabnya yang halus, serta kesucian dirinya yang terjaga. Di tengah masyarakat Jahiliyah, di mana banyak nilai-nilai luhur telah terkikis, Aminah bersinar laksana permata yang terjaga di dalam cangkangnya. Ia adalah perwujudan dari kehormatan dan kemurnian, sebuah bejana suci yang dipersiapkan oleh Sang Pencipta untuk menampung cahaya kenabian.
Bunga Quraisy yang Menjadi Dambaan
Seiring berjalannya waktu, Aminah tumbuh menjadi seorang gadis yang kecantikan dan kemuliaan akhlaknya menjadi buah bibir di seluruh Mekkah. Ia digelari sebagai *Zahratu Quraisy*, yang berarti Bunga Kaum Quraisy. Gelar ini bukan semata-mata karena parasnya yang menawan, tetapi lebih kepada keseluruhan pribadinya yang memancarkan keanggunan, ketenangan, dan kehormatan. Tutur katanya sopan, perilakunya terjaga, dan pandangannya senantiasa menunduk penuh rasa malu yang terpuji. Ia adalah cerminan dari seorang wanita terhormat yang didambakan oleh setiap pemuda bangsawan Quraisy pada masa itu.
Banyak pemuka dan pemuda dari keluarga-keluarga terpandang di Mekkah yang berhasrat untuk mempersuntingnya. Mereka datang kepada ayahnya, Wahb, untuk menyampaikan pinangan, berharap dapat menjalin ikatan keluarga dengan Bani Zuhrah yang terhormat melalui pernikahan dengan putri mereka yang istimewa. Namun, takdir telah menuliskan sebuah nama lain untuknya, sebuah nama yang kelak akan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah manusia. Allah SWT telah memilihkan untuknya seorang pendamping yang sepadan dalam kemuliaan nasab dan keluhuran budi, yaitu Abdullah bin Abdul Muthalib dari Bani Hasyim.
Kisah tentang penolakan pinangan-pinangan ini bukanlah karena kesombongan, melainkan karena sebuah penantian akan takdir terbaik. Seolah-olah ada sebuah bisikan ilahi yang menjaga hati Wahb dan Aminah untuk menunggu datangnya pasangan yang paling tepat. Pilihan ini bukanlah pilihan sembarangan, karena pernikahan yang akan terjadi bukanlah sekadar penyatuan dua insan, melainkan penyatuan dua keluarga besar dan terhormat, Bani Zuhrah dan Bani Hasyim, untuk sebuah tujuan yang jauh lebih agung: lahirnya sang penyelamat umat manusia.
Pernikahan Penuh Berkah dengan Abdullah
Abdullah bin Abdul Muthalib adalah putra kesayangan Abdul Muthalib, pemimpin besar kaum Quraisy dan penjaga Ka'bah. Abdullah dikenal sebagai pemuda paling tampan, paling berakhlak mulia, dan paling dicintai di Mekkah. Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa di wajahnya terpancar sebuah cahaya istimewa, yang diyakini sebagai *Nur Muhammad* (cahaya kenabian) yang diwariskan turun-temurun dari para nabi sebelumnya. Cahaya inilah yang membuat banyak wanita di Mekkah terpikat dan berharap dapat menjadi istrinya, berharap agar cahaya itu berpindah ke dalam rahim mereka.
Kisah pernikahan ini diawali oleh sebuah peristiwa besar yang menyangkut nazar Abdul Muthalib. Dahulu, saat menggali kembali sumur Zamzam yang telah lama hilang, Abdul Muthalib hanya memiliki satu putra. Ia merasa lemah dan bernazar, jika Allah memberinya sepuluh orang putra, ia akan mengorbankan salah satunya di sisi Ka'bah. Allah mengabulkan doanya, dan ketika sepuluh putranya telah dewasa, undian pun dilakukan. Nama yang keluar adalah Abdullah, putra yang paling ia cintai. Namun, atas saran para pemuka Quraisy dan seorang peramal, pengorbanan itu digantikan dengan seratus ekor unta, menjadikan Abdullah dikenal sebagai *al-Dhabih* (yang disembelih), merujuk pada dua leluhurnya, Nabi Ismail AS dan dirinya sendiri yang hampir dikorbankan.
Setelah peristiwa besar itu, Abdul Muthalib merasa sudah saatnya untuk mencarikan istri terbaik bagi putra kesayangannya. Pandangannya pun tertuju pada gadis paling mulia di Mekkah, Aminah binti Wahb. Dengan penuh keyakinan, Abdul Muthalib beserta putranya, Abdullah, mendatangi kediaman Wahb bin Abdu Manaf untuk meminang Aminah. Pinangan dari keluarga Bani Hasyim yang begitu terhormat tentu saja disambut dengan tangan terbuka oleh keluarga Bani Zuhrah. Mereka melihat kesepadanan yang sempurna antara Abdullah yang gagah dan berakhlak mulia dengan Aminah yang suci dan terhormat.
Pernikahan pun dilangsungkan dengan penuh kegembiraan dan kemegahan, menyatukan dua klan paling berpengaruh di Mekkah. Pernikahan ini menjadi perbincangan di seluruh kota, sebuah peristiwa yang dirayakan oleh banyak orang. Kehidupan rumah tangga Abdullah dan Aminah, meskipun sangat singkat, diliputi oleh cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan. Mereka adalah pasangan ideal yang saling menghormati dan menyayangi. Dari penyatuan suci inilah, Allah SWT menakdirkan benih manusia paling mulia mulai bersemayam di dalam rahim ibu Nabi Muhammad.
Masa Kehamilan yang Penuh Cahaya dan Tanda
Kebahagiaan sebagai sepasang suami istri tidak berlangsung lama. Sesuai dengan tradisi kaum Quraisy, para pemudanya harus bekerja dan berdagang untuk menafkahi keluarga. Beberapa waktu setelah pernikahan mereka, Abdullah pun berangkat dalam sebuah kafilah dagang menuju Syam (Suriah). Saat itu, Sayyidah Aminah telah mengandung benih suci di dalam rahimnya, meskipun mungkin pada awalnya ia belum menyadarinya. Kepergian sang suami tercinta tentu menyisakan kerinduan, namun ia menjalaninya dengan penuh kesabaran.
Masa kehamilan yang dialami oleh ibu Nabi Muhammad sangatlah istimewa dan berbeda dari kehamilan wanita pada umumnya. Ia tidak merasakan beban atau kesulitan yang biasa dirasakan oleh ibu hamil. Sebaliknya, kehamilannya terasa ringan dan penuh dengan ketenangan. Peristiwa-peristiwa luar biasa mulai menyertainya, menandakan bahwa janin yang dikandungnya bukanlah manusia biasa.
Salah satu tanda yang paling masyhur adalah mimpi yang dialaminya. Dalam mimpinya, datang suara atau sosok yang memberitahukan kepadanya, "Sesungguhnya engkau tengah mengandung pemimpin umat ini." Suara itu juga berpesan, "Apabila ia telah lahir ke dunia, maka ucapkanlah, 'Aku melindungkannya dengan Yang Maha Esa dari kejahatan setiap pendengki,' lalu namailah ia Muhammad." Nama "Muhammad" sendiri pada masa itu sangat tidak lazim digunakan di kalangan bangsa Arab, yang semakin menunjukkan keistimewaan petunjuk ini.
Tanda agung lainnya adalah cahaya yang terpancar dari dirinya. Sayyidah Aminah sering kali melihat seberkas cahaya keluar dari dalam dirinya. Cahaya itu begitu terang hingga ia bisa melihat istana-istana di Busra, di negeri Syam. Peristiwa ini bukan sekadar penglihatan biasa, melainkan sebuah isyarat nubuwah yang agung. Cahaya itu melambangkan petunjuk dan ajaran Islam yang kelak akan dibawa oleh putranya, yang sinarnya akan menerangi kegelapan di seluruh penjuru dunia, bahkan hingga ke wilayah kekuasaan Romawi di Syam. Ini adalah janji ilahi yang ditampakkan melalui sang ibunda yang mulia.
Seluruh pengalaman spiritual ini dijalani oleh Aminah dengan penuh keimanan dan kepasrahan. Ia memahami bahwa ada sesuatu yang agung sedang terjadi dalam dirinya. Ia menjaga kandungannya dengan segenap jiwa dan raga, memanjatkan doa, dan bersyukur atas anugerah luar biasa yang dipercayakan kepadanya. Ia sedang mempersiapkan diri untuk menjadi ibu dari sosok yang akan mengubah wajah dunia.
Kabar Duka dan Ujian Kesabaran
Di tengah kebahagiaan menanti kelahiran sang buah hati, sebuah kabar duka datang menyelimuti keluarga besar Abdul Muthalib. Kafilah dagang dari Syam telah kembali ke Mekkah, namun Abdullah tidak ada di antara mereka. Dikabarkan bahwa dalam perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan memutuskan untuk singgah di Yatsrib (kelak bernama Madinah) untuk beristirahat di rumah kerabat dari pihak neneknya, dari klan Bani Najjar. Namun, sakitnya semakin parah hingga akhirnya ia menghembuskan napas terakhirnya di sana. Abdullah wafat dan dimakamkan di Yatsrib, sebelum sempat melihat wajah putra yang sangat dinantikannya.
Berita wafatnya Abdullah menjadi pukulan yang sangat berat bagi Sayyidah Aminah. Ia harus kehilangan suami yang begitu ia cintai saat dirinya tengah mengandung. Dunia yang terasa indah mendadak diselimuti awan kelabu kesedihan. Di usia yang masih sangat muda, ia harus menyandang status sebagai seorang janda. Namun, di sinilah kekuatan dan ketegaran jiwa ibu Nabi Muhammad diuji dan terbukti.
Meskipun hatinya remuk redam, Aminah menunjukkan kesabaran dan ketabahan yang luar biasa. Ia tidak meratap secara berlebihan atau menyalahkan takdir. Imannya yang tulus kepada Tuhan Yang Maha Esa memberinya kekuatan untuk menerima cobaan ini. Ia memfokuskan seluruh perhatian dan kasih sayangnya pada janin yang ada di dalam kandungannya. Anak ini adalah satu-satunya peninggalan berharga dari suaminya, amanah yang harus ia jaga dengan segenap kekuatan.
Abdul Muthalib, sang kakek, turut merasakan duka yang mendalam atas kepergian putra kesayangannya. Ia pun mencurahkan seluruh perhatiannya kepada menantunya yang sedang mengandung. Aminah tidak dibiarkan sendiri dalam kesedihannya. Ia berada dalam lindungan dan pengawasan penuh dari sang mertua, yang memastikan segala kebutuhannya tercukupi. Warisan yang ditinggalkan oleh Abdullah tidak banyak, hanya beberapa ekor unta, beberapa ekor domba, dan seorang budak wanita dari Habasyah bernama Barakah (yang lebih dikenal sebagai Ummu Aiman), yang kelak akan menjadi pengasuh setia Nabi Muhammad.
Lahirnya Sang Pembawa Rahmat
Waktu terus berjalan, dan saat yang dinanti-nantikan pun tiba. Pada hari Senin di bulan Rabiul Awal, di sebuah masa yang dikenal sebagai Tahun Gajah—masa ketika Raja Abrahah dari Yaman berusaha menghancurkan Ka'bah namun digagalkan oleh kawanan burung Ababil—Sayyidah Aminah merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Proses kelahirannya, seperti masa kehamilannya, juga diiringi oleh peristiwa-peristiwa yang menakjubkan dan penuh berkah.
Ia melahirkan putranya di rumahnya di Mekkah. Proses persalinan itu berjalan dengan sangat mudah dan lancar, tanpa rasa sakit yang menyiksa seperti yang dialami wanita pada umumnya. Saat sang bayi terlahir, cahaya yang pernah ia lihat selama kehamilan kini memancar kembali dengan lebih terang, menerangi seluruh ruangan hingga langit-langit rumah. Diriwayatkan bahwa pada saat kelahirannya, terjadi berbagai peristiwa ajaib di belahan dunia lain: padamnya api suci yang disembah oleh kaum Majusi di Persia yang telah menyala selama seribu tahun, serta runtuhnya empat belas balkon istana Kisra, Kaisar Persia. Semua ini adalah pertanda runtuhnya kemusyrikan dan lahirnya era baru yang penuh dengan cahaya tauhid.
Bayi itu terlahir dalam keadaan bersih, sudah terkhitan, dan dengan tali pusar yang sudah terpotong. Ia terlahir dalam posisi bersujud, sebagai tanda kepatuhannya kepada Sang Pencipta sejak detik pertama kehadirannya di dunia. Saat Aminah menatap wajah putranya, hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan dan kedamaian yang tak terkira. Wajah bayi itu memancarkan ketenangan dan keagungan. Ia teringat akan pesan dalam mimpinya, maka ia pun menamainya Muhammad, sebuah nama yang berarti "yang terpuji".
Kabar kelahiran cucu yang telah menjadi yatim itu segera disampaikan kepada Abdul Muthalib. Sang kakek datang dengan penuh suka cita. Ia mengangkat bayi itu, membawanya ke dalam Ka'bah, lalu berdoa dan bersyukur kepada Allah. Abdul Muthalib mengadakan perjamuan besar untuk seluruh penduduk Mekkah sebagai wujud syukurnya atas kelahiran sang cucu, yang ia yakini akan memiliki kedudukan yang agung di masa depan.
Masa Penyusuan dan Pengasuhan Awal
Sudah menjadi tradisi di kalangan bangsawan Quraisy pada masa itu untuk mencarikan ibu susu bagi bayi-bayi mereka di perkampungan Badui di padang pasir. Tujuannya ada beberapa: agar bayi-bayi itu tumbuh di lingkungan dengan udara yang lebih bersih dan sehat, agar fisik mereka menjadi lebih kuat, dan yang terpenting, agar mereka dapat belajar bahasa Arab yang paling murni dan fasih sejak kecil. Bahasa Arab di perkotaan seperti Mekkah dianggap telah banyak tercampur dengan bahasa para pendatang.
Mengikuti tradisi ini, Sayyidah Aminah pun mencari wanita dari Bani Sa'ad yang bisa menyusui putranya. Awalnya, yang menyusui Nabi Muhammad untuk beberapa hari adalah Tsuwaibah Al-Aslamiyyah, budak dari pamannya, Abu Lahab. Namun, untuk pengasuhan jangka panjang, diperlukan seorang ibu susu dari pedesaan.
Datanglah serombongan wanita dari Bani Sa'ad ke Mekkah untuk mencari bayi susuan. Di antara mereka ada seorang wanita bernama Halimah binti Abi Dzuaib, yang lebih dikenal sebagai Halimah As-Sa'diyah. Pada saat itu, Halimah dan keluarganya sedang mengalami kesulitan ekonomi. Unta tunggangannya kurus dan lambat, dan air susu untanya pun kering. Karena kondisinya ini, ia menjadi yang terakhir mendapatkan bayi susuan.
Semua wanita Bani Sa'ad menolak untuk mengambil Muhammad kecil karena beliau adalah seorang anak yatim. Mereka berpikir, "Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak yatim? Tentu upah yang akan kami terima tidak akan sebesar dari bayi yang ayahnya masih hidup." Namun, karena Halimah tidak mendapatkan bayi lain, ia pun berdiskusi dengan suaminya. "Demi Allah, aku tidak suka kembali bersama kawan-kawanku tanpa membawa seorang bayi pun. Aku akan mengambil anak yatim itu," kata Halimah. Suaminya setuju, seraya berharap semoga Allah memberikan keberkahan melalui anak itu.
Dan benar saja, sejak saat Muhammad kecil berada dalam pangkuannya, keberkahan yang luar biasa langsung mereka rasakan. Air susu Halimah yang tadinya kering, tiba-tiba menjadi deras, cukup untuk menyusui Muhammad dan putra kandungnya. Unta betina mereka yang kurus kering, tiba-tiba kantung susunya penuh. Unta tunggangan mereka yang lambat, kini menjadi yang tercepat di antara rombongan. Keberkahan terus melimpah di rumah Halimah selama Muhammad tinggal bersama mereka. Kambing-kambing mereka pulang dengan perut kenyang dan penuh air susu, sementara ternak orang lain kurus dan kelaparan. Halimah dan suaminya sadar bahwa mereka telah membawa pulang seorang anak yang penuh berkah.
Meskipun menyerahkan putranya untuk disusui di tempat yang jauh, Sayyidah Aminah selalu merindukan dan memantau perkembangannya. Setiap beberapa waktu, Halimah akan membawa Muhammad kecil kembali ke Mekkah untuk mengunjungi ibunya, melepas rindu yang mendalam antara ibu dan anak.
Perjalanan Terakhir Menuju Yatsrib
Setelah sekitar dua tahun masa penyusuan, Halimah mengembalikan Muhammad kepada ibunya. Namun, karena melihat keberkahan yang luar biasa dan khawatir akan wabah penyakit di Mekkah, Halimah memohon agar diizinkan merawat Muhammad lebih lama. Aminah pun mengizinkannya. Muhammad kecil tinggal di perkampungan Bani Sa'ad hingga terjadi peristiwa pembelahan dada (*syaqqus shadr*), yang membuat Halimah khawatir dan akhirnya memulangkannya secara permanen kepada ibunya di Mekkah.
Muhammad kecil kini kembali dalam asuhan langsung sang ibunda. Hari-hari mereka dipenuhi dengan kehangatan dan cinta. Sayyidah Aminah mencurahkan seluruh kasih sayangnya kepada putra satu-satunya itu. Ia sering menceritakan tentang sosok ayahnya, Abdullah, seorang ayah yang tampan, baik hati, dan sangat mencintainya meskipun belum pernah bertemu. Cerita-cerita ini menanamkan rasa cinta dan hormat di hati Muhammad kecil kepada ayahnya.
Ketika Muhammad berusia sekitar enam tahun, Sayyidah Aminah merasakan sebuah kerinduan yang mendalam. Ia ingin berziarah ke makam suaminya tercinta di Yatsrib. Selain itu, ia juga ingin memperkenalkan putranya kepada keluarga dari pihak neneknya, Bani Najjar, yang tinggal di sana. Ia pun mempersiapkan sebuah perjalanan panjang, menempuh jarak ratusan kilometer melintasi padang pasir dari Mekkah ke Yatsrib.
Dalam perjalanan ini, mereka tidak sendirian. Mereka ditemani oleh pengasuh setia, Ummu Aiman, dan mungkin juga sang kakek, Abdul Muthalib. Perjalanan ini menjadi sebuah kenangan indah yang tak terlupakan bagi Muhammad kecil. Ia melihat dunia yang lebih luas, merasakan perjalanan di atas unta, dan yang terpenting, ia menghabiskan waktu yang berkualitas bersama ibunda tercintanya.
Setibanya di Yatsrib, mereka disambut hangat oleh kerabat dari Bani Najjar. Mereka tinggal di sana selama kurang lebih satu bulan. Selama di Yatsrib, Aminah membawa putranya mengunjungi makam Abdullah. Di sanalah, sang ibu dan anak berdiri di samping pusara suami dan ayah yang mereka cintai, menumpahkan kerinduan dan memanjatkan doa. Momen ini pastilah sangat emosional dan membekas kuat dalam ingatan Muhammad kecil. Selain berziarah, Muhammad kecil juga diajak bermain bersama sepupu-sepupunya dari Bani Najjar. Ia belajar berenang di sebuah kolam milik mereka dan menghabiskan waktu dengan penuh kegembiraan. Bulan itu adalah bulan yang penuh dengan cinta, kenangan, dan pengenalan akan akar keluarganya.
Wafatnya Sang Ibunda Tercinta di Abwa
Setelah sebulan berada di Yatsrib, Sayyidah Aminah dan rombongan kecilnya memutuskan untuk kembali ke Mekkah. Perasaan bahagia karena telah menunaikan niatnya bercampur dengan kesedihan karena harus meninggalkan kota tempat suaminya dimakamkan. Mereka pun memulai perjalanan pulang, menapaki kembali jalur padang pasir yang panas dan gersang.
Namun, takdir berkata lain. Di tengah perjalanan, di sebuah tempat yang bernama Abwa, yang terletak di antara Yatsrib dan Mekkah, Sayyidah Aminah tiba-tiba jatuh sakit. Kondisinya dengan cepat memburuk. Di tengah padang pasir yang sepi, jauh dari sanak saudara, ibu Nabi Muhammad merasakan ajalnya semakin dekat.
Dalam saat-saat terakhirnya, ia memeluk erat putranya yang baru berusia enam tahun. Dengan tatapan penuh cinta dan air mata yang berlinang, ia membisikkan kata-kata perpisahan yang puitis dan penuh makna. Diriwayatkan ia berkata:
"Setiap yang hidup pasti akan mati, dan setiap yang baru pasti akan usang. Setiap yang besar akan sirna. Dan aku pun akan mati, tetapi kenanganku akan abadi. Aku telah melahirkan seorang anak yang suci dan meninggalkan kebaikan."
Kata-kata ini menunjukkan keimanan, kepasrahan, dan keyakinannya akan masa depan agung putranya. Di pangkuan putranya dan di hadapan Ummu Aiman yang setia, ruh suci Sayyidah Aminah binti Wahb akhirnya kembali ke haribaan Sang Pencipta. Langit seolah ikut berduka, padang pasir menjadi saksi bisu atas kepergian seorang ibu yang mulia. Muhammad kecil, yang sebelumnya telah menjadi yatim karena kehilangan ayah, kini harus menjadi yatim piatu di usia yang masih sangat belia.
Tangis bocah enam tahun itu pecah di tengah kesunyian Abwa. Ia baru saja kehilangan satu-satunya pelindung, sumber kasih sayang, dan kehangatan dalam hidupnya. Ummu Aiman dengan sigap memeluk dan menenangkan anak asuhnya. Dengan bantuan seadanya, mereka memakamkan jenazah Sayyidah Aminah di tempat itu juga, di Abwa. Makam itu menjadi penanda abadi dari cinta seorang ibu yang berakhir dalam sebuah perjalanan penuh makna.
Perjalanan kembali ke Mekkah terasa sangat berbeda. Jika saat berangkat dipenuhi dengan antusiasme, kini perjalanan pulang diselimuti oleh duka yang mendalam. Ummu Aiman membawa Muhammad kecil kembali ke hadapan kakeknya, Abdul Muthalib, sebagai seorang anak yatim piatu. Peristiwa tragis ini meninggalkan luka yang sangat dalam di jiwa Muhammad, sebuah kesedihan yang akan selalu ia kenang sepanjang hidupnya.
Warisan Abadi dan Kenangan yang Tak Lekang
Meskipun kebersamaan ibu dan anak ini hanya berlangsung selama enam tahun, warisan cinta, kasih sayang, dan pendidikan karakter yang ditanamkan oleh Sayyidah Aminah sangatlah besar. Ia adalah sosok pertama yang memberikan cinta tanpa syarat, yang mengajarkan kelembutan, dan yang menanamkan nilai-nilai luhur pada diri Nabi Muhammad. Sentuhan, pelukan, dan dongeng-dongengnya tentang sang ayah adalah fondasi dari kepribadian agung yang kelak akan dimiliki oleh Rasulullah SAW.
Rasa cinta dan kenangan kepada ibundanya tidak pernah pudar dari hati Nabi Muhammad, bahkan setelah puluhan tahun berlalu. Beliau selalu mengenangnya dengan penuh hormat dan kasih sayang. Sebuah peristiwa yang sangat menyentuh terjadi bertahun-tahun kemudian, saat beliau telah menjadi seorang Nabi dan Rasul. Ketika dalam perjalanan menuju Mekkah, baik dalam riwayat saat Perjanjian Hudaibiyah atau setelah Fathu Makkah, beliau melewati Abwa. Beliau meminta izin kepada Allah SWT untuk menziarahi makam ibundanya.
Ketika berdiri di depan makam sederhana itu, Nabi Muhammad SAW menangis tersedu-sedu hingga membuat para sahabat yang menyertainya ikut menangis. Beliau menangis bukan karena meratapi takdir, melainkan karena gelora cinta dan rindu yang membuncah kepada sosok ibu yang telah lama meninggalkannya. Beliau bersabda, "Aku meminta izin kepada Tuhanku untuk memohonkan ampunan baginya, namun Dia tidak mengizinkanku. Dan aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka Dia mengizinkanku. Maka berziarahlah kalian ke kubur, karena ia dapat mengingatkan pada kematian."
Tangisan Rasulullah di makam ibunya adalah bukti paling nyata betapa dalam cinta dan penghormatan beliau. Ini mengajarkan kepada seluruh umatnya tentang pentingnya berbakti dan mengenang jasa seorang ibu, bahkan setelah ia tiada. Kisah Sayyidah Aminah menjadi simbol universal tentang kekuatan cinta seorang ibu yang mampu melintasi batas ruang dan waktu.
Kedudukan Mulia Ibunda Sang Nabi
Dalam khazanah keilmuan Islam, terdapat pembahasan mengenai status keimanan orang-orang yang hidup pada masa *fatrah*, yaitu masa kekosongan antara dua nabi (dalam hal ini antara Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW), termasuk di dalamnya kedua orang tua Nabi. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah berpandangan bahwa mereka termasuk golongan yang selamat (*ahlun najah*). Alasannya, dakwah tauhid yang murni belum sampai kepada mereka, sehingga mereka tidak dapat dibebani hukum syariat. Mereka dinilai berdasarkan *fitrah* mereka yang lurus, yang tidak menyekutukan Tuhan secara aktif dengan menyembah berhala.
Sayyidah Aminah dan Abdullah hidup dalam masyarakat yang menyembah berhala, namun tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan bahwa mereka secara pribadi ikut dalam praktik paganisme tersebut. Mereka mewarisi ajaran tauhid dari leluhur mereka, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, meskipun ajaran itu telah banyak kabur seiring waktu. Kesucian jiwa, keluhuran akhlak, dan pilihan Allah atas mereka untuk menjadi orang tua dari Nabi terakhir adalah bukti yang lebih dari cukup akan kedudukan mulia mereka di sisi-Nya.
Oleh karena itu, sebagai umat Islam, adab yang paling utama adalah menahan diri dari memperbincangkan hal ini lebih jauh dan meyakini kemuliaan mereka. Kita menyebut nama beliau, Sayyidah Aminah, dengan penuh hormat, mendoakan kebaikan untuknya, dan meyakini bahwa Allah SWT telah menempatkannya di tempat yang paling layak, sebagai balasan atas kesabaran dan perannya yang agung dalam sejarah kemanusiaan.
Penutup: Bunga Abadi di Taman Kenabian
Kisah hidup Sayyidah Aminah binti Wahb, ibu Nabi Muhammad SAW, adalah sebuah epik tentang kemuliaan, pilihan ilahi, dan pengorbanan. Ia adalah wanita yang nasabnya terjaga, akhlaknya mulia, dan jiwanya suci. Ia dipilih oleh Allah untuk menjadi rahim yang mengandung cahaya penutup para nabi. Hidupnya yang singkat dipenuhi dengan tanda-tanda kebesaran, ujian kesabaran, dan curahan cinta yang tak terbatas untuk putranya.
Meskipun ia tidak sempat menyaksikan putranya tumbuh dewasa dan mengemban risalah kenabian, perannya sebagai ibu tidak dapat dikesampingkan. Ia adalah gerbang pertama bagi kehadiran sang Rahmatan lil 'Alamin di muka bumi. Namanya akan selamanya terukir dalam sejarah sebagai wanita agung, sang Bunga Quraisy, yang menjadi ibunda dari manusia paling terpuji, Muhammad SAW. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada putranya, dan semoga Allah meridhai dan memuliakan ruh ibundanya yang tercinta.