Frasa singkat namun sarat makna ini, yang dinisbahkan kepada salah satu tokoh intelektual terbesar dalam sejarah Islam, Ali bin Abi Thalib, adalah sebuah instruksi praktis dan filosofis tentang cara mengamankan pengetahuan. Di era di mana informasi melimpah ruah dan mudah menguap, ajaran ini menjadi lebih relevan daripada sebelumnya. Ilmu, tanpa penjangkaran yang kuat, cenderung lepas dari ingatan, hilang ditelan waktu, atau terdistorsi oleh interpretasi baru.
Proses menulis memaksa otak untuk bekerja secara berbeda dibandingkan sekadar mendengarkan atau membaca secara pasif. Ketika kita menulis, kita melakukan tiga hal penting: pertama, kita menyaring informasi yang masuk, memilih inti sari yang paling penting. Kedua, kita mengorganisir ide-ide tersebut menjadi struktur yang logis dan koheren. Ketiga, kita menciptakan sebuah artefak fisik atau digital yang permanen sebagai bukti nyata dari pemahaman kita.
Dalam konteks zaman dahulu, sebelum adanya teknologi penyimpanan data massal, pena dan kertas adalah satu-satunya jangkar yang mampu melawan arus pelupaan. Ali bin Abi Thalib, yang terkenal dengan kecerdasannya yang tajam, menyadari bahwa memori manusia itu rapuh. Bahkan hafalan terbaik pun rentan terhadap kesalahan atau lupa. Dengan menulis, ilmu tersebut 'diikat' pada media eksternal, menjadikannya aset yang dapat diakses kapan saja, bukan hanya tersimpan dalam labirin otak.
Mengambil catatan saat menghadiri majelis ilmu atau membaca buku bukan sekadar tugas sekolah. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap pemberi ilmu. Ketika seseorang meluangkan waktu untuk menyalin atau merangkum pemikiran seorang guru, ia menunjukkan bahwa ia menghargai waktu dan kebijaksanaan yang dibagikan. Tindakan menulis ini menciptakan ikatan spiritual dan intelektual antara pembelajar dan sumber ilmu. Ia mengubah pengalaman sesaat menjadi warisan yang dapat ditinjau kembali di masa depan.
Bayangkan seorang pelajar yang mendengarkan ceramah mendalam mengenai fisika kuantum atau tafsir Al-Qur'an. Tanpa catatan, sebagian besar detail akan hilang dalam 24 jam. Namun, jika ia menuliskan poin-poin kunci, definisi, dan argumen utama, ia menciptakan peta jalan pribadinya menuju penguasaan materi tersebut. Proses 'mengikat' ini adalah tahap pertama dalam internalisasi ilmu—perjalanan dari sekadar tahu menjadi benar-benar memahami.
Meskipun kita kini hidup dikelilingi oleh ponsel pintar dan penyimpanan *cloud* tak terbatas, prinsip Ali bin Abi Thalib tetap berlaku. Mengetik di keyboard, menggunakan aplikasi pencatat digital, atau bahkan membuat *mind map* secara elektronik tetap merupakan bentuk penulisan. Yang terpenting adalah tindakan aktif untuk memindahkan informasi dari pikiran ke media permanen.
Tantangannya di era digital adalah godaan untuk menyalin-tempel (*copy-paste*) tanpa proses penyaringan dan pemahaman. Inilah mengapa kearifan Ali menjadi penyeimbang: ilmu harus diikat *dengan menulis*, bukan sekadar disimpan secara digital. Proses sintesis yang terjadi saat menulis tangan atau merangkai kata-kata sendiri adalah kunci retensi jangka panjang. Jika hanya sekadar menyimpan tautan tanpa pernah membacanya kembali, ilmu itu belum terikat; ia hanya mengambang di lautan data.
Setiap catatan yang kita buat adalah bata dalam membangun perpustakaan pengetahuan pribadi kita. Catatan-catatan ini, ketika dikumpulkan dan diorganisir, menjadi sumber daya tak ternilai saat kita membutuhkan klarifikasi, inspirasi, atau saat kita sendiri diminta untuk mengajar orang lain. Mereka adalah saksi bisu dari perjalanan intelektual kita.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan nasihat emas dari Ali bin Abi Thalib sebagai komitmen harian. Jangan biarkan pemikiran cemerlang atau pelajaran berharga hilang sia-sia. Ambil pena (baik pena digital maupun analog), dan mulailah mengikat ilmu yang telah Anda peroleh. Dengan demikian, ilmu tersebut tidak hanya menjadi milik masa kini, tetapi juga warisan berharga bagi masa depan.