Pengantar: Frasa yang Melintasi Batas Lisan
"In Shaa Allah." Tiga kata yang begitu akrab di telinga kita. Terucap ringan, sering kali menjadi penutup janji, harapan, atau rencana. Dari percakapan di warung kopi hingga rapat direksi, dari obrolan keluarga hingga negosiasi bisnis, frasa ini seolah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari leksikon keseharian, khususnya bagi masyarakat Muslim di seluruh dunia. Namun, di balik kemudahannya untuk diucapkan, tersimpan sebuah samudra makna yang dalam, sebuah fondasi teologis yang kokoh, serta sebuah pandangan dunia yang utuh.
Artikel ini akan membawa kita menyelami kedalaman makna "In Shaa Allah" (إِنْ شَاءَ اللَّهُ). Kita akan membongkar lapis demi lapis signifikansinya, mulai dari akar bahasanya, perintah ilahi yang melatarbelakanginya, hingga implikasinya dalam membentuk karakter, etika, dan ketenangan jiwa seorang manusia. Ini bukan sekadar pembahasan tentang sebuah frasa, melainkan sebuah refleksi tentang hubungan antara hamba dengan Tuhannya, antara ikhtiar manusia dengan takdir ilahi, dan antara kesombongan dengan kerendahan hati.
Seringkali, kita menganggapnya sebagai ekspresi ketidakpastian, sebuah cara sopan untuk mengatakan "mungkin," atau bahkan, dalam beberapa konteks budaya, sebagai alasan untuk tidak menepati janji. Anggapan-anggapan ini, meski terkadang muncul dalam praktik, sejatinya telah mereduksi kekuatan dan keindahan makna aslinya. "In Shaa Allah" bukanlah tentang keraguan, melainkan tentang keyakinan. Bukan tentang kepasrahan buta, melainkan tentang kesadaran penuh. Ia adalah jangkar spiritual yang menjaga kapal kehidupan kita agar tetap stabil di tengah lautan ketidakpastian masa depan. Mari kita mulai perjalanan ini untuk memahami mengapa frasa sederhana ini sesungguhnya adalah sebuah deklarasi iman yang agung.
Akar Bahasa dan Struktur Kalimat
Untuk memahami sebuah konsep secara utuh, seringkali kita perlu kembali ke dasarnya: bahasa. Frasa "In Shaa Allah" berasal dari bahasa Arab dan terdiri dari tiga komponen kata yang masing-masing memiliki peran dan makna spesifik.
1. إِنْ (In)
Kata pertama, "In," adalah sebuah partikel kondisional dalam bahasa Arab. Secara harfiah, ia berarti "jika" atau "apabila." Fungsinya adalah untuk mengemukakan sebuah syarat. Penggunaan "In" menandakan bahwa kejadian yang akan disebutkan berikutnya bergantung pada terpenuhinya kondisi tertentu. Dalam konteks ini, kondisi tersebut adalah kehendak Allah. Ini adalah pintu gerbang yang menghubungkan niat dan rencana manusia dengan dimensi kehendak Ilahi.
2. شَاءَ (Shaa-a)
Kata kedua, "Shaa-a," adalah kata kerja (fi'il) dalam bentuk lampau (mādhi) yang berasal dari akar kata ش-ي-ء (shīn-yā'-hamzah). Maknanya adalah "dia (tunggal, laki-laki) telah berkehendak" atau "dia telah menginginkan." Subjek dari kata kerja ini, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit di sini, merujuk kepada entitas yang akan disebutkan setelahnya, yaitu Allah. Penggunaan bentuk lampau di sini menarik, karena dalam tata bahasa Arab, seringkali digunakan untuk menyatakan sesuatu yang pasti akan terjadi, seolah-olah sudah terjadi. Ini mengisyaratkan bahwa jika kehendak itu ada, maka kejadiannya adalah sebuah kepastian.
3. اللَّهُ (Allah)
Kata ketiga dan terakhir adalah "Allah," nama Tuhan yang Maha Esa dalam Islam. Dalam struktur kalimat ini, "Allah" berfungsi sebagai subjek (fā'il) dari kata kerja "Shaa-a." Jadi, dialah yang berkehendak.
Ketika ketiga kata ini digabungkan, "In Shaa Allah" secara harfiah berarti "Jika Allah telah berkehendak." Terjemahan yang lebih luwes dan umum digunakan adalah "Jika Allah menghendaki" atau "Dengan izin Allah." Struktur ini secara linguistik menempatkan semua rencana, harapan, dan janji manusia di bawah payung kedaulatan mutlak kehendak Tuhan. Ini adalah sebuah pengakuan verbal bahwa manusia, dengan segala kecerdasan dan kekuatannya, tidak memiliki kontrol absolut atas masa depan. Setiap detik yang akan datang, setiap peristiwa yang belum terjadi, berada sepenuhnya dalam genggaman dan kekuasaan-Nya.
Fondasi Teologis: Perintah Langsung dalam Al-Qur'an
Mengucapkan "In Shaa Allah" bukanlah sekadar tradisi budaya atau kebiasaan lisan yang berkembang seiring waktu. Ia adalah sebuah praktik yang berakar kuat pada perintah langsung dari Allah SWT di dalam Al-Qur'an. Landasan utamanya terdapat dalam Surah Al-Kahfi, ayat 23-24. Ayat ini turun sebagai respons terhadap sebuah peristiwa spesifik yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW.
Kisah di balik turunnya ayat ini (Asbabun Nuzul) sangatlah penting. Suatu ketika, sekelompok orang dari kaum Quraisy (beberapa riwayat menyebut mereka bersekongkol dengan kaum Yahudi Madinah) datang kepada Nabi Muhammad SAW untuk menguji kenabiannya. Mereka mengajukan tiga pertanyaan yang dianggap sulit dan hanya bisa dijawab oleh seorang nabi sejati: tentang para pemuda yang tertidur di gua (Ashabul Kahfi), tentang seorang pengembara agung (Dzulqarnain), dan tentang hakikat ruh.
Mendengar pertanyaan tersebut, dengan keyakinan bahwa wahyu akan segera turun untuk memberikan jawaban, Nabi Muhammad SAW berkata, "Aku akan menjawabnya besok." Namun, dalam pernyataan tersebut, beliau tidak menyertainya dengan ucapan "In Shaa Allah." Akibatnya, wahyu tidak kunjung turun. Hari berganti hari, bahkan hingga belasan hari, wahyu yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Hal ini membuat Nabi Muhammad SAW merasa sedih dan gelisah, sementara kaum Quraisy semakin mengejeknya, menganggapnya telah berbohong.
Setelah penantian yang cukup lama, akhirnya wahyu turun. Selain memberikan jawaban lengkap atas ketiga pertanyaan tersebut (yang kini menjadi bagian dari Surah Al-Kahfi dan Surah Al-Isra), Allah juga memberikan teguran dan pelajaran yang sangat berharga kepada Nabi-Nya dan seluruh umat manusia. Teguran inilah yang diabadikan dalam Surah Al-Kahfi ayat 23-24:
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا
إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰ أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا
"Wa lā taqūlanna lishay'in innī fā'ilun dhālika ghadā. Illā an yashā' Allāh, wadhkur rabbaka idhā nasīta wa qul 'asā an yahdiyani rabbī li'aqraba min hādhā rashadā."
Artinya: "Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, 'Aku pasti akan melakukannya besok.' Kecuali (dengan mengatakan), 'In Shaa Allah.' Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, 'Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.'" (QS. Al-Kahfi: 23-24)
Ayat ini mengandung beberapa pelajaran fundamental. Pertama, ia adalah larangan yang tegas (`lā taqūlanna`, dengan penekanan `nun taukid`) untuk tidak membuat klaim pasti tentang masa depan. Manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi sedetik kemudian, apalagi besok. Kedua, ia memberikan solusi langsung: setiap kali berbicara tentang masa depan, kaitkanlah dengan kehendak Allah (`Illā an yashā' Allāh`). Ini adalah adab atau etika tertinggi seorang hamba kepada Sang Pencipta. Ketiga, ia memberikan jalan keluar bagi kelupaan manusia. Jika terlanjur membuat janji tanpa mengucapkannya, segeralah mengingat Allah dan mengucapkannya begitu teringat.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa bahkan seorang Nabi sekalipun, manusia paling mulia, diingatkan tentang keterbatasan manusiawi dan kemutlakan kuasa Ilahi. Pelajaran ini abadi dan berlaku bagi seluruh umatnya hingga akhir zaman. Dengan demikian, mengucapkan "In Shaa Allah" adalah bentuk ketaatan langsung pada perintah Al-Qur'an, sebuah manifestasi iman yang dipraktikkan dalam percakapan sehari-hari.
Dimensi-Dimensi Makna "In Shaa Allah"
Jauh dari sekadar frasa formalitas, "In Shaa Allah" adalah sebuah konsep yang kaya akan dimensi spiritual, psikologis, dan etis. Memahaminya secara mendalam akan mengubah cara kita memandang perencanaan, usaha, dan hasil.
1. Pernyataan Tawakkal dan Kerendahan Hati
Dimensi paling utama dari "In Shaa Allah" adalah sebagai manifestasi dari tawakkal, yaitu bersandar dan mempercayakan hasil akhir segala urusan kepada Allah setelah melakukan usaha maksimal. Ketika seseorang merencanakan sesuatu—misalnya, "Saya akan menyelesaikan laporan ini besok, In Shaa Allah"—ia sedang melakukan dua hal secara bersamaan. Pertama, ia menetapkan niat dan komitmen untuk berusaha (`ikhtiar`). Kedua, ia secara sadar mengakui bahwa terlaksananya rencana tersebut tidak hanya bergantung pada usahanya, tetapi juga pada izin dan kehendak Allah.
Ini adalah bentuk kerendahan hati (`tawadhu'`) yang paling murni. Manusia bisa saja memiliki semua sumber daya: waktu, kesehatan, kecerdasan, dan kesempatan. Namun, ada jutaan variabel di luar kendalinya yang bisa mengubah segalanya dalam sekejap. Sakit yang tiba-tiba datang, musibah yang tak terduga, atau bahkan perubahan situasi yang drastis. Mengucapkan "In Shaa Allah" adalah pengakuan tulus bahwa "Saya akan melakukan bagian saya sebaik mungkin, tetapi hasil akhirnya ada di tangan-Mu, ya Allah." Ini membebaskan jiwa dari belenggu arogansi dan kesombongan, yang seringkali muncul saat kita merasa memiliki kontrol penuh atas hidup kita.
2. Adab (Etika) Kepada Sang Pencipta
Sebagaimana kisah turunnya Surah Al-Kahfi, mengucapkan "In Shaa Allah" adalah bagian dari adab atau etika luhur seorang hamba kepada Tuhannya. Mengklaim kepastian atas masa depan, sekecil apa pun, secara implisit adalah tindakan melangkahi otoritas Tuhan. Ini seolah-olah menyatakan bahwa kehendak kita bisa berjalan independen dari kehendak-Nya.
Dengan menyandarkan setiap rencana pada kehendak-Nya, kita senantiasa menjaga posisi kita sebagai hamba yang tunduk dan patuh. Ini adalah bentuk zikir (mengingat Allah) yang terintegrasi dalam aktivitas duniawi. Setiap kali kita merencanakan, kita diingatkan tentang keberadaan dan kekuasaan-Nya. Percakapan yang tadinya murni bersifat profan dan duniawi, seketika disuntik dengan nuansa spiritual yang mendalam. Ini menjaga kesadaran ilahiah (`muraqabah`) tetap hidup dalam setiap aspek kehidupan kita.
3. Sumber Optimisme dan Harapan, Bukan Keraguan
Salah satu kesalahpahaman terbesar adalah menganggap "In Shaa Allah" sebagai ungkapan keraguan atau pesimisme. Justru sebaliknya, ia adalah sumber optimisme yang paling kuat. Ketika kita mengatakan "Semoga saya lulus ujian, In Shaa Allah," kita tidak sedang meragukan kemampuan kita. Kita sedang menyandarkan harapan kita pada Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih.
Ini mengubah paradigma. Alih-alih hanya bergantung pada kekuatan diri yang terbatas, kita mengaitkan harapan kita pada kekuatan yang tak terbatas. Ini memberikan ketenangan jiwa yang luar biasa. Jika berhasil, kita bersyukur karena Allah telah mengizinkannya. Jika gagal, kita tidak jatuh dalam keputusasaan karena kita tahu bahwa ini adalah ketetapan terbaik dari-Nya, yang mungkin mengandung hikmah yang belum kita pahami. Dengan demikian, "In Shaa Allah" adalah kalimat yang membingkai masa depan dalam optimisme ilahi, bukan dalam keraguan manusiawi. Ia adalah doa yang terselip dalam sebuah pernyataan.
4. Perisai dari Penyesalan dan Kekecewaan
Kehidupan penuh dengan ketidakpastian. Rencana terbaik pun bisa gagal. Janji yang paling tulus pun bisa tidak terpenuhi karena berbagai hal di luar kendali. Di sinilah "In Shaa Allah" berfungsi sebagai perisai psikologis. Dengan sejak awal menyerahkan hasil akhir kepada Allah, kita mempersiapkan mental kita untuk segala kemungkinan.
Jika apa yang kita rencanakan tidak terwujud, kita tidak akan terlarut dalam penyesalan yang berlebihan atau menyalahkan diri sendiri secara destruktif. Kita akan lebih mudah menerima kenyataan dengan mengatakan, "Saya sudah berusaha, tetapi kehendak Allah berkata lain." Ini bukan sikap pasif, melainkan sikap penerimaan aktif (`ridha`) terhadap takdir, yang menjadi fondasi ketangguhan mental (`resilience`). Nabi Muhammad SAW bersabda, "Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah... Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan Allah, dan janganlah lemah. Jika sesuatu menimpamu, jangan katakan 'Seandainya aku melakukan ini, tentu akan jadi begini dan begitu.' Tetapi katakanlah, 'Qaddarallahu wa ma sya'a fa'ala' (Allah telah mentakdirkan, dan apa yang Dia kehendaki, Dia lakukan)." Mengucapkan "In Shaa Allah" di awal adalah langkah preventif untuk mencapai mentalitas ini.
5. Mengharapkan Keberkahan (Barakah)
Dalam pandangan Islam, setiap perbuatan yang diawali dengan niat baik dan disandarkan kepada Allah akan mendatangkan barakah. Barakah adalah sebuah konsep tentang nilai tambah ilahi—kebaikan yang tak terlihat namun terasa dampaknya, seperti kemudahan, kelancaran, dan hasil yang lebih baik dari yang diperkirakan.
Dengan mengikat rencana kita pada kehendak Allah melalui "In Shaa Allah," kita secara sadar mengundang campur tangan ilahi dalam urusan kita. Kita memohon agar usaha kita tidak hanya dinilai dari aspek fisik, tetapi juga diberkahi dengan pertolongan dari-Nya. Ini mengubah sebuah pekerjaan dari sekadar aktivitas rutin menjadi sebuah ibadah, di mana kita berharap ridha dan bantuan Allah menyertainya.
Kesalahpahaman dan Penyalahgunaan dalam Praktik
Meskipun memiliki makna yang sangat luhur, frasa "In Shaa Allah" tidak luput dari kesalahpahaman dan penyalahgunaan dalam praktik sehari-hari. Penting bagi kita untuk mengenali dan meluruskan distorsi makna ini agar dapat menggunakannya sesuai dengan hakikatnya.
1. Sebagai Alasan untuk Kemalasan atau Kurangnya Komitmen
Ini mungkin penyalahgunaan yang paling umum. Seseorang berjanji, "Ya, saya akan datang ke rapat jam 9, In Shaa Allah," namun dalam hatinya ia tidak memiliki niat yang kuat untuk datang tepat waktu atau bahkan tidak berniat datang sama sekali. Frasa ini digunakan sebagai jaring pengaman untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Jika ia terlambat atau tidak datang, ia akan berdalih, "Sudah berusaha, tapi Allah tidak menghendaki."
Ini adalah pemahaman yang keliru dan berbahaya. "In Shaa Allah" seharusnya diucapkan setelah adanya niat yang tulus (`azm`) dan rencana untuk berusaha semaksimal mungkin (`ikhtiar`). Islam mengajarkan keseimbangan sempurna antara tawakkal dan ikhtiar. Sebagaimana kisah seorang Badui yang bertanya kepada Nabi apakah ia harus mengikat untanya atau cukup bertawakkal, Nabi menjawab, "Ikatlah untamu, baru kemudian bertawakkallah." Jadi, "In Shaa Allah" bukanlah pengganti usaha, melainkan penyempurna usaha. Menggunakannya untuk menutupi kemalasan adalah bentuk ketidakjujuran, baik kepada manusia maupun kepada Tuhan.
2. Sebagai Cara Halus untuk Mengatakan "Tidak"
Dalam beberapa konteks budaya, "In Shaa Allah" kadang digunakan sebagai cara yang dianggap lebih sopan untuk menolak sebuah permintaan atau undangan. Daripada mengatakan "Tidak, saya tidak bisa datang," seseorang mungkin berkata, "In Shaa Allah saya datang," dengan harapan lawan bicara mengerti bahwa itu adalah sebuah penolakan halus.
Meskipun mungkin niatnya baik untuk tidak menyakiti perasaan, praktik ini mengaburkan makna suci dari frasa tersebut. Ia mengubah sebuah pernyataan iman menjadi alat komunikasi yang ambigu. Kejujuran dan keterusterangan tetaplah nilai yang dijunjung tinggi. Jika memang tidak bisa atau tidak berniat memenuhi, lebih baik menyampaikannya dengan jelas dan sopan daripada berlindung di balik kalimat yang seharusnya menyiratkan niat yang tulus.
3. Dianggap sebagai Tanda Ketidakpastian atau Keraguan
Bagi mereka yang tidak memahami latar belakang teologisnya, terutama di lingkungan non-Muslim, mendengar "In Shaa Allah" mungkin diartikan sebagai "Saya tidak yakin," "Mungkin," atau "Saya tidak terlalu berkomitmen." Ini bisa menimbulkan masalah dalam konteks profesional atau bisnis, di mana kepastian sangat diharapkan.
Oleh karena itu, penting untuk mengkomunikasikan maknanya dengan benar. Seorang Muslim yang mengucapkan "Kami akan mengirimkan barangnya pada hari Jumat, In Shaa Allah" seharusnya menyiratkan komitmen penuh untuk melakukan semua yang diperlukan agar barang tersebut terkirim pada hari Jumat. Penambahan "In Shaa Allah" adalah pengakuan bahwa ada faktor-faktor di luar kendali manusia (misalnya, kerusakan armada, bencana alam) yang hanya tunduk pada kekuasaan Tuhan. Ini bukan tentang meragukan niat atau usaha, tetapi tentang mengakui realitas keterbatasan manusia.
Meluruskan kesalahpahaman ini adalah tanggung jawab kita bersama. Caranya adalah dengan mempraktikkan makna "In Shaa Allah" yang sesungguhnya: niat yang kuat, usaha maksimal, diiringi dengan penyandaran total kepada Allah. Ketika tindakan kita konsisten dengan ucapan kita, orang lain akan memahami bahwa "In Shaa Allah" adalah tanda komitmen yang dibingkai dengan kerendahan hati, bukan tanda keraguan atau kemalasan.
Keseimbangan Emas: Ikhtiar, Doa, dan Tawakkal
Konsep "In Shaa Allah" tidak dapat dipahami secara terpisah. Ia adalah bagian dari sebuah segitiga emas dalam pandangan hidup seorang Muslim: Ikhtiar, Doa, dan Tawakkal. Ketiganya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan saling menguatkan.
Ikhtiar (Usaha Maksimal)
Ikhtiar adalah domain manusia. Inilah ranah di mana kita dituntut untuk menggunakan segala potensi yang telah Allah anugerahkan: akal untuk berpikir dan merencanakan, fisik untuk bekerja dan bergerak, serta sumber daya untuk mencapai tujuan. Islam adalah agama yang sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras, profesional, dan tidak berpangku tangan. Langit tidak akan menurunkan hujan emas atau perak. Seorang pelajar harus belajar dengan giat, seorang pedagang harus berniaga dengan jujur dan cerdas, seorang dokter harus mendiagnosis dengan teliti. Inilah panggung di mana amal dan perbuatan kita dinilai. Mengabaikan ikhtiar dengan dalih tawakkal adalah sebuah kekeliruan fatal yang disebut tawākul (kepasrahan yang malas).
Doa (Permohonan)
Doa adalah jembatan yang menghubungkan ikhtiar manusia dengan kekuatan ilahi. Setelah merencanakan dan berusaha, seorang hamba mengangkat tangannya, memohon kepada Tuhannya agar usahanya diberkahi, dimudahkan, dan membuahkan hasil yang terbaik. Doa adalah pengakuan bahwa sehebat apa pun ikhtiar kita, kita tetaplah makhluk yang lemah dan sangat membutuhkan pertolongan dari Sang Pencipta. Doa adalah inti dari ibadah, esensi dari penghambaan. Ia melembutkan hati yang mungkin menjadi keras karena terlalu mengandalkan kemampuan diri sendiri.
Tawakkal (Bersandar Penuh)
Tawakkal adalah puncak dari proses ini. Setelah ikhtiar dilakukan secara maksimal dan doa dipanjatkan dengan tulus, maka hati diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Di sinilah "In Shaa Allah" memainkan peran krusialnya. Ia adalah verbalisasi dari sikap tawakkal ini. Kita menyerahkan hasil akhir, apa pun bentuknya, kepada kebijaksanaan Allah yang Maha Tahu. Kita meyakini bahwa apa pun ketetapan-Nya, itulah yang terbaik bagi kita, baik kita memahaminya saat itu maupun tidak. Tawakkal memberikan ketenangan jiwa yang luar biasa, membebaskan kita dari kecemasan berlebihan akan hasil dan ketakutan akan kegagalan.
"In Shaa Allah" adalah kalimat yang merangkum filosofi ini. Ia diucapkan di gerbang perencanaan (awal dari ikhtiar), menyiratkan doa di dalamnya (harapan akan izin-Nya), dan merupakan manifestasi dari tawakkal (penyerahan hasil kepada-Nya). Ia adalah pengingat konstan bahwa kita adalah aktor di panggung kehidupan, tetapi sutradara agungnya adalah Allah SWT. Tugas kita adalah memainkan peran kita sebaik mungkin, dan menyerahkan alur cerita serta akhir kisahnya kepada Sang Sutradara.
Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Kata-kata
"In Shaa Allah" adalah sebuah frasa yang ringkas namun padat makna. Ia bukanlah sekadar tempelan spiritual pada kalimat-kalimat duniawi kita. Ia adalah sebuah pandangan hidup yang utuh, sebuah manifesto iman yang diucapkan dalam keseharian. Ia adalah pengakuan konstan akan kedaulatan Tuhan dan keterbatasan manusia.
Dari akar katanya, kita belajar tentang struktur logis yang menempatkan kehendak Allah sebagai syarat utama. Dari fondasi Al-Qur'an, kita memahami bahwa ini adalah perintah dan adab yang diajarkan langsung oleh Allah kepada Nabi-Nya. Dari dimensi-dimensi maknanya, kita menemukan pelajaran tentang kerendahan hati, optimisme, ketangguhan mental, dan pengharapan akan keberkahan.
Dengan meluruskan kesalahpahaman yang ada, kita dapat mengembalikan frasa ini pada kedudukannya yang mulia: sebagai simbol komitmen yang tulus, bukan sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Sebagai janji yang diiringi usaha, bukan sebagai penolakan yang terselubung.
Pada akhirnya, mengintegrasikan "In Shaa Allah" secara sadar dan benar ke dalam hidup kita adalah sebuah latihan spiritual yang berkesinambungan. Ia melatih kita untuk menyeimbangkan antara ambisi dan kepasrahan, antara kerja keras dan ketergantungan pada Tuhan, antara merencanakan masa depan dan menerima takdir dengan lapang dada. Ia adalah jangkar yang membuat kita tetap membumi dalam kesuksesan dan tetap tegar dalam kegagalan. Ia adalah tiga kata yang mengingatkan kita, setiap saat, tentang siapa kita dan kepada siapa kita akan kembali.