Proses pengajuan kredit di bank, baik untuk kebutuhan modal usaha, KPR (Kredit Pemilikan Rumah), maupun kredit konsumtif lainnya, hampir selalu mensyaratkan adanya sebuah jaminan kredit bank. Jaminan ini adalah pondasi keamanan bagi lembaga keuangan untuk memastikan bahwa dana yang mereka pinjamkan akan kembali sesuai tenor yang disepakati. Tanpa jaminan yang memadai, risiko yang dihadapi bank menjadi sangat tinggi, sehingga sangat jarang bank memberikan persetujuan kredit dalam skala besar.
Secara mendasar, jaminan kredit berfungsi sebagai 'cadangan' atau agunan yang dapat dieksekusi oleh bank jika debitur (peminjam) gagal memenuhi kewajiban pembayaran utangnya (wanprestasi). Pemahaman mendalam mengenai jenis dan prosedur jaminan sangat krusial bagi calon peminjam agar proses aplikasi berjalan lancar dan mendapatkan suku bunga yang kompetitif.
Jaminan yang diterima oleh bank umumnya dibagi menjadi dua kategori besar: jaminan pribadi dan jaminan aset (riil).
Ini biasanya diterapkan pada kredit tanpa agunan (KTA) atau kredit mikro di mana risiko dinilai lebih rendah. Jaminan pribadi mengacu pada tanggung jawab penuh debitur secara personal. Jika perusahaan gagal bayar, aset pribadi pemilik atau direksi dapat dijadikan objek penagihan. Dalam konteks kredit bisnis, seringkali diperlukan juga jaminan perusahaan (corporate guarantee) yang ditandatangani oleh seluruh pemegang saham utama.
Ini adalah bentuk jaminan yang paling umum dan paling disukai oleh bank karena memiliki nilai likuidasi yang jelas. Aset yang dijaminkan harus memiliki nilai pasar yang stabil dan mudah untuk dinilai. Beberapa aset yang sering dijadikan jaminan meliputi:
Ketika sebuah aset akan dijadikan jaminan kredit bank, bank tidak serta merta menerima nilai yang diajukan oleh peminjam. Tahap krusial adalah penilaian atau appraisal. Bank akan menunjuk pihak ketiga yang independen dan terpercaya untuk menentukan nilai pasar wajar (Fair Market Value) dari aset tersebut.
Hasil appraisal ini menentukan besaran LTV (Loan to Value), yaitu rasio antara jumlah pinjaman yang diberikan dengan nilai agunan. Umumnya, bank tidak akan membiayai 100% nilai aset; mereka biasanya membatasi pinjaman antara 70% hingga 90% dari nilai taksiran. Hal ini penting untuk memberikan penyangga (buffer) jika terjadi penurunan harga pasar atau jika bank harus menjual aset tersebut di kemudian hari karena gagal bayar.
Konsekuensi terbesar dari gagal bayar adalah eksekusi agunan. Prosedur eksekusi harus mengikuti hukum yang berlaku, terutama terkait dengan jenis hak atas jaminan tersebut. Misalnya, jika jaminan berupa properti dengan Hak Tanggungan, bank harus melalui prosedur lelang yang diatur oleh peraturan perbankan dan pertanahan.
Penting untuk diingat bahwa meskipun nilai jaminan cukup, gagal bayar tetap akan berdampak negatif pada skor kredit (BI Checking/SLIK OJK) debitur. Kredit macet akan sulit bagi debitur untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan lainnya di masa depan, bahkan jika mereka memiliki aset yang sangat bernilai. Oleh karena itu, komitmen pembayaran harus selalu menjadi prioritas utama.