Ali bin Abi Thalib, salah satu sahabat agung dan khalifah keempat dalam sejarah Islam, dikenal luas akan kebijaksanaan dan kata-kata mutiaranya yang tajam. Di antara banyak nasihatnya, terdapat refleksi mendalam mengenai sifat manusia, terutama terkait dengan tindakan menaruh harapan besar pada sesama manusia.
Mengapa Harapan pada Manusia Bersifat Fana?
Salah satu inti dari ajaran Ali mengenai hal ini adalah kesadaran akan ketidaksempurnaan manusia. Dalam pandangan beliau, manusia adalah makhluk yang lemah, mudah berubah, dan memiliki keterbatasan. Ketergantungan penuh pada manusia sering kali berujung pada kekecewaan karena manusia tidak memiliki kuasa mutlak atas segala sesuatu. Kekuatan, kekayaan, dan bahkan loyalitas manusia dapat berubah seiring waktu, terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau kondisi duniawi.
Nasihat ini bukanlah ajakan untuk mengisolasi diri atau menolak bantuan sesama. Sebaliknya, ini adalah seruan untuk menempatkan harapan pada sumber yang Maha Abadi dan Maha Kuasa, yaitu Allah SWT. Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa mencari pertolongan dan bersandar sepenuhnya pada ciptaan adalah membangun rumah di atas pasir; ia akan runtuh saat badai datang.
Realitas Kekuatan Manusia
Dalam berbagai kesempatan, Ali mengingatkan sahabatnya untuk selalu membedakan antara usaha (ikhtiar) dan hasil (hasil). Manusia wajib berusaha dan berinteraksi dengan sesama, namun hasil akhir dari usaha tersebut harus diserahkan kepada Tuhan. Ketika harapan disandarkan kepada manusia, seringkali yang muncul adalah rasa sungkan, takut kehilangan simpati, atau bahkan ketidakmampuan untuk berbuat adil karena terikat oleh rasa utang budi atau imbalan duniawi.
Kebergantungan pada manusia menimbulkan kerentanan emosional yang besar. Ketika harapan itu tidak terpenuhi—karena manusia lupa, tidak mampu, atau sengaja mengabaikan—maka hati akan terluka. Ali menyarankan agar hati hanya digantungkan pada Dzat yang janji-Nya tidak pernah diingkari dan pertolongan-Nya tidak pernah tertunda.
Keseimbangan Antara Ikhtiar dan Tawakkal
Memahami kata-kata Ali tentang berharap kepada manusia juga menuntut pemahaman akan konsep tawakkal. Tawakkal sejati bukanlah pasif menunggu, melainkan aktif berusaha (ikhtiar) sambil meyakini bahwa Allah adalah penentu akhir. Ketika kita meminta bantuan manusia, kita hanya menggunakan mereka sebagai sarana, bukan tujuan akhir.
Ali mengajarkan kita untuk bergaul dengan manusia secara baik, memberi pertolongan, dan menerima pertolongan, namun hati kita harus tetap 'terikat' pada dimensi ilahiah. Mengutip pemikirannya, jika seseorang mengandalkan kekayaan orang lain, ia akan menjadi miskin ketika orang itu pergi. Jika ia mengandalkan posisi orang lain, ia akan jatuh ketika orang itu kehilangan kekuasaannya. Namun, jika ia bersandar pada Allah, ia akan menemukan kekayaan sejati dan ketenangan jiwa yang tak tergoyahkan.
Oleh karena itu, kata-kata Ali bin Abi Thalib menjadi pengingat abadi: bersikaplah realistis terhadap sifat manusia. Mereka adalah rekan seperjalanan yang mungkin membantu, namun mereka bukanlah jangkar terakhir dalam hidup kita. Kekuatan sejati, harapan yang teguh, dan ketenangan batin hanya dapat ditemukan ketika kita mengarahkan pandangan dan hati kita kepada Pencipta segala sesuatu.