Kisah Kehancuran Kaum Tsamud, Umat Nabi Saleh
Peradaban Megah di Lembah Al-Hijr
Jauh di masa lampau, di sebuah lembah subur yang diapit oleh jajaran pegunungan batu cadas, hiduplah sebuah kaum yang dikenal sebagai Kaum Tsamud. Mereka adalah pewaris dari peradaban Kaum 'Ad yang telah musnah sebelumnya. Terletak di sebuah wilayah yang kini dikenal sebagai Madain Saleh atau Al-Hijr, mereka dikaruniai oleh Allah SWT dengan berbagai kenikmatan yang luar biasa. Tanah mereka subur, air melimpah, dan ternak berkembang biak dengan pesat. Namun, anugerah terbesar sekaligus keahlian paling menakjubkan yang mereka miliki adalah kemampuan arsitektur dan teknik pahat yang tiada duanya.
Kaum Tsamud bukanlah pembangun biasa. Mereka tidak mendirikan rumah dari tanah liat atau menumpuk batu. Sebaliknya, mereka memandang gunung-gunung batu raksasa di sekeliling mereka sebagai kanvas dan bahan baku utama. Dengan kekuatan fisik yang luar biasa dan keahlian yang diwariskan turun-temurun, mereka memahat, melubangi, dan mengukir gunung-gunung tersebut menjadi tempat tinggal, istana yang megah, dan benteng pertahanan yang kokoh. Di musim dingin, mereka tinggal di rumah-rumah pahatan gunung yang hangat dan aman dari badai. Sementara di musim panas, mereka membangun istana-istana indah di dataran rendah yang sejuk. Kemegahan arsitektur mereka menjadi simbol kekuatan, kemakmuran, dan kebanggaan yang tak terhingga. Siapapun yang melintasi lembah Al-Hijr akan dibuat takjub oleh pemandangan kota yang menyatu dengan alam, seolah-olah gunung itu sendiri yang melahirkan istana-istana dari perutnya.
Kecakapan teknis ini membuat mereka merasa superior. Mereka memandang peradaban lain dengan rendah. Mereka percaya bahwa kekuatan tangan mereka sendirilah yang menciptakan semua kemewahan itu. Kemampuan untuk menaklukkan alam, mengubah bentang alam sesuai kehendak, dan menciptakan mahakarya dari batu yang paling keras sekalipun telah membutakan mata hati mereka. Mereka lupa bahwa semua kekuatan, kecerdasan, dan sumber daya yang mereka miliki sesungguhnya adalah pinjaman dan anugerah dari Sang Pencipta. Kemakmuran material yang melimpah ruah justru menjadi pupuk bagi benih kesombongan yang tumbuh subur di dalam jiwa mereka.
Kegelapan Spiritual di Balik Kemewahan
Di balik fasad kemegahan arsitektur dan kemakmuran ekonomi, Kaum Tsamud terperosok dalam jurang kegelapan spiritual yang dalam. Mereka telah sepenuhnya meninggalkan ajaran tauhid yang dianut oleh nenek moyang mereka. Sebagai gantinya, mereka menciptakan berhala-berhala dari batu dan kayu, memberinya nama, dan menyembahnya sebagai tuhan. Mereka percaya bahwa patung-patung tak bernyawa itulah yang menjadi perantara mereka kepada kekuatan gaib, yang memberikan rezeki, dan yang melindungi mereka dari marabahaya. Ritual-ritual penyembahan berhala menjadi pusat kehidupan sosial dan keagamaan mereka.
Kesombongan kolektif menjadi penyakit utama masyarakat ini. Mereka merasa tak terkalahkan. Gunung-gunung yang mereka pahat menjadi simbol keabadian. Mereka berpikir, "Siapa yang bisa menghancurkan kami jika rumah kami terbuat dari gunung itu sendiri?" Anggapan ini melahirkan rasa aman yang palsu dan membuat mereka semakin jauh dari mengingat Allah. Kekayaan yang melimpah tidak lagi disyukuri, melainkan menjadi alat untuk menindas dan mengeksploitasi golongan yang lemah. Kesenjangan sosial menjadi sangat tajam. Para bangsawan dan orang-orang kaya hidup dalam kemewahan yang tak terbatas, sementara kaum miskin dan papa hidup dalam penderitaan dan ketidakadilan. Hukum rimba berlaku; yang kuat memangsa yang lemah. Kezaliman, kecurangan dalam perniagaan, dan perbuatan amoral merajalela tanpa ada yang berani menentang.
Mereka lupa bahwa peradaban sebelum mereka, Kaum 'Ad, yang bahkan lebih kuat secara fisik, telah dibinasakan karena kesombongan yang serupa. Sejarah seolah tidak menjadi pelajaran. Mereka memandang sisa-sisa peninggalan Kaum 'Ad bukan sebagai pengingat akan kekuasaan Tuhan, melainkan sebagai tantangan untuk melampaui pencapaian pendahulu mereka. Kenikmatan duniawi telah sepenuhnya memabukkan mereka, menutupi akal sehat dan nurani mereka dari kebenaran.
Diutusnya Nabi Saleh Alaihissalam
Di tengah-tengah masyarakat yang bobrok secara moral dan spiritual itulah, Allah SWT dengan rahmat-Nya mengutus seorang rasul dari kalangan mereka sendiri. Dia adalah Saleh, seorang pria yang dikenal memiliki nasab yang terhormat, kejujuran yang tak tercela, dan kebijaksanaan yang luar biasa. Sebelum diangkat menjadi nabi, Saleh adalah sosok yang disegani dan menjadi tumpuan harapan kaumnya. Mereka melihat potensi kepemimpinan yang besar dalam dirinya.
Namun, ketika wahyu turun kepadanya, Saleh membawa sebuah pesan yang mengguncang seluruh tatanan sosial dan kepercayaan yang telah mapan. Dengan lemah lembut namun tegas, ia menyeru kaumnya, "Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
Dakwah Nabi Saleh berpusat pada tiga pilar utama: pertama, mengesakan Allah (tauhid) dan meninggalkan penyembahan berhala. Kedua, mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat Allah yang tak terhingga dan mengajak mereka untuk bersyukur, bukan kufur. Ketiga, menyerukan keadilan sosial, menghentikan penindasan terhadap kaum lemah, dan berlaku adil dalam segala urusan.
Reaksi kaumnya terbelah. Segelintir orang dari kalangan yang tertindas dan mereka yang masih memiliki hati nurani, menerima dakwah Nabi Saleh dengan tulus. Mereka melihat kebenaran dalam seruannya dan merasakan kedamaian dalam ajaran tauhid. Namun, mayoritas kaumnya, terutama para pemuka adat dan kaum bangsawan yang sombong, menolak mentah-mentah. Mereka merasa terancam. Ajaran Nabi Saleh meruntuhkan status quo yang menguntungkan mereka. Mereka tidak bisa menerima ide bahwa mereka harus tunduk pada satu Tuhan yang tidak terlihat dan meninggalkan sesembahan nenek moyang mereka.
Mereka melancarkan berbagai tuduhan dan ejekan. "Wahai Saleh," kata mereka, "Sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu serukan kepada kami." Mereka menuduhnya sebagai orang yang terkena sihir, gila, atau bahkan seorang pendusta yang hanya ingin mencari kekuasaan. Perdebatan sengit pun terjadi. Nabi Saleh dengan sabar menjawab setiap argumen mereka dengan logika yang kokoh dan bukti-bukti dari alam semesta, namun hati mereka telah tertutup rapat oleh kesombongan.
Mukjizat Agung: Unta Betina dari Dalam Batu
Setelah merasa kalah dalam perdebatan dan kehabisan argumen, para pemuka Kaum Tsamud yang menentang Nabi Saleh memutuskan untuk menempuh jalan lain. Mereka ingin mempermalukan Nabi Saleh di depan para pengikutnya dan membuktikan bahwa ia hanyalah seorang pembual. Mereka berkumpul dan menantangnya dengan sebuah permintaan yang menurut akal mereka mustahil untuk dipenuhi.
"Wahai Saleh," seru pemimpin mereka dengan nada mengejek, "Jika engkau memang benar seorang utusan Tuhan, maka tunjukkanlah kepada kami sebuah mukjizat yang nyata. Kami tidak akan beriman kepadamu kecuali engkau bisa mengeluarkan seekor unta betina dari batu besar yang ada di sana itu." Mereka menunjuk sebuah batu cadas raksasa yang berdiri kokoh. Tidak cukup sampai di situ, mereka menambahkan syarat-syarat yang lebih spesifik untuk membuatnya semakin mustahil: unta itu harus sedang bunting sepuluh bulan, berukuran sangat besar, dan memiliki warna tertentu. Mereka tertawa dalam hati, yakin bahwa permintaan ini akan membungkam Saleh untuk selamanya.
Menghadapi tantangan yang luar biasa ini, Nabi Saleh tidak gentar. Ia tahu bahwa ini adalah momen penentuan. Ia terlebih dahulu mengambil janji dari kaumnya. "Apakah kalian akan beriman kepadaku jika Allah mengabulkan permintaan kalian?" tanya beliau. Dengan penuh keyakinan bahwa hal itu tidak akan terjadi, mereka serempak menjawab, "Ya, kami akan beriman."
Nabi Saleh kemudian menyingkir ke tempat yang sunyi dan memanjatkan doa dengan penuh kekhusyukan kepada Allah SWT. Ia memohon agar Allah menunjukkan kebesaran-Nya dan membuktikan kebenaran risalah yang ia bawa. Seketika, keajaiban pun terjadi di depan mata seluruh Kaum Tsamud yang berkumpul. Batu cadas raksasa yang mereka tunjuk mulai bergetar hebat. Terdengar suara gemuruh dari dalamnya, seolah-olah akan terjadi gempa bumi. Kemudian, batu itu terbelah dengan suara yang dahsyat. Dari rekahan batu tersebut, keluarlah seekor unta betina yang sangat besar, persis seperti yang mereka syaratkan. Unta itu sedang bunting tua dan memiliki penampilan yang agung.
Seluruh kaum yang menyaksikan terperangah. Mulut mereka ternganga, mata mereka terbelalak tak percaya. Keheningan mencekam menyelimuti lembah itu. Mukjizat yang begitu nyata dan tak terbantahkan hadir di depan mereka. Sebagian kecil dari mereka yang hatinya masih bersih, langsung bersujud dan menyatakan keimanannya. Namun, sebagian besar lainnya, terutama para pemimpinnya, justru semakin keras hatinya. Mereka terkejut, namun kesombongan menghalangi mereka untuk mengakui kebenaran. Mereka berdalih bahwa itu hanyalah sihir yang hebat.
Ujian Kesabaran dan Puncak Kedurhakaan
Setelah unta itu lahir, Nabi Saleh menyampaikan firman Allah kepada kaumnya. Unta ini adalah "Naqatullah," unta betina milik Allah, sebuah tanda yang nyata bagi mereka. Ada dua aturan yang harus mereka patuhi terkait unta ajaib ini. Pertama, sumber air di lembah itu harus dibagi. Satu hari untuk unta itu minum sepuasnya, dan hari berikutnya untuk seluruh kaum dan ternak mereka. Kedua, mereka sama sekali tidak boleh mengganggu atau menyakiti unta tersebut. Jika mereka melanggar, azab yang pedih akan menimpa mereka.
Pada hari giliran sang unta minum, ia akan menghabiskan seluruh air di sumur atau mata air utama. Namun, sebagai gantinya, pada hari itu juga unta tersebut menghasilkan susu yang luar biasa banyak, cukup untuk diminum oleh seluruh penduduk. Ini adalah berkah lain yang menyertai mukjizat tersebut. Kehadiran unta ini menjadi ujian iman dan kesabaran sehari-hari bagi Kaum Tsamud. Bagi orang-orang yang beriman, unta ini adalah pengingat konstan akan kekuasaan Allah. Namun bagi kaum kafir, unta ini adalah sumber kejengkelan dan kebencian.
Para pemuka kaum yang kafir merasa terganggu dengan keberadaan unta tersebut. Sistem pembagian air mereka anggap merepotkan. Popularitas Nabi Saleh yang semakin meningkat di kalangan orang-orang lemah membuat mereka geram. Unta itu, bagi mereka, adalah simbol kekalahan dan penghinaan. Mereka mulai menyebarkan hasutan dan provokasi di tengah masyarakat, menggambarkan unta itu sebagai pembawa sial yang mengganggu kehidupan mereka.
Kebencian mereka akhirnya memuncak. Sembilan orang dari kelompok pembuat kerusakan di kota itu, yang dipimpin oleh seorang durjana bernama Qudar bin Salif, merencanakan sebuah konspirasi jahat. Mereka bersumpah untuk membunuh unta mukjizat itu, dan setelahnya, mereka juga berencana untuk membunuh Nabi Saleh dan keluarganya di malam hari. Mereka menghasut masyarakat, mengatakan bahwa dengan menyingkirkan unta itu, kehidupan akan kembali normal seperti sedia kala.
Pada suatu hari yang telah ditentukan, ketika sang unta sedang minum, Qudar bin Salif bersama komplotannya mengendap-endap. Dengan kejam, mereka memanah dan menebas kaki unta itu hingga ia tersungkur. Tak puas sampai di situ, mereka menikamnya hingga mati. Mereka melakukannya dengan bangga, seolah-olah telah memenangkan sebuah pertempuran besar. Mereka bersorak-sorai dan menantang Nabi Saleh, "Hai Saleh! Datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar!" Kedurhakaan mereka telah mencapai puncaknya. Mereka tidak hanya membunuh seekor binatang, tetapi mereka secara simbolis telah membunuh mukjizat Allah dan menantang-Nya secara terang-terangan.
Awan Kematian dan Suara yang Mengguntur
Melihat perbuatan keji kaumnya, wajah Nabi Saleh dipenuhi kesedihan dan keprihatinan yang mendalam. Ia tahu bahwa pintu ampunan telah tertutup bagi mereka. Dengan suara berat, ia memberikan ultimatum terakhir dari Allah SWT. "Nikmatilah kesenangan di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan." Ini bukanlah sebuah izin untuk bersenang-senang, melainkan sebuah penangguhan hukuman, sebuah hitungan mundur menuju kebinasaan.
Tiga hari itu menjadi periode teror psikologis bagi Kaum Tsamud. Mereka yang masih memiliki sisa akal sehat mulai merasa takut, sementara para pembangkang tetap mengejek. Tanda-tanda kebinasaan mulai tampak. Pada hari pertama setelah pembunuhan unta, wajah mereka semua berubah menjadi kuning pucat. Ketakutan mulai merayap ke dalam hati mereka. Pada hari kedua, wajah mereka berubah menjadi merah padam, seolah-olah darah telah naik ke permukaan kulit. Kepanikan semakin menjadi. Dan pada hari ketiga, wajah mereka menjadi hitam kelam, menandakan bahwa akhir mereka sudah sangat dekat.
Dalam keputusasaan, mereka berlari ke benteng-benteng dan istana-istana yang mereka pahat di gunung. Mereka menutup pintu-pintu batu yang kokoh, berpikir bahwa arsitektur superior mereka dapat melindungi mereka dari murka Tuhan. Mereka merasa aman di dalam perut gunung, tempat yang selama ini mereka banggakan sebagai simbol kekuatan dan keabadian. Mereka lupa bahwa tidak ada tempat berlindung dari ketetapan Allah.
Pada pagi hari keempat, saat fajar baru menyingsing, azab Allah pun datang. Bukan dalam bentuk banjir atau badai api, melainkan dalam bentuk yang paling mengerikan. Terdengar satu suara yang sangat keras dan mengguntur (As-Saihah) dari langit, yang memekakkan telinga dan menghancurkan organ-organ dalam mereka seketika. Suara itu diiringi oleh gempa bumi yang dahsyat (Ar-Rajfah) yang mengguncang seluruh lembah. Dalam sekejap, semua penduduk Kaum Tsamud mati bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka yang megah. Mereka tewas dalam posisi berlutut atau tersungkur, tanpa sempat berteriak atau bergerak.
Ketika pagi tiba sepenuhnya, lembah Al-Hijr yang dulu ramai dan penuh dengan kemegahan, kini menjadi kota mati yang senyap. Jasad-jasad mereka berserakan, tak bernyawa, menjadi seperti jerami kering yang rapuh dan hancur. Istana-istana gunung yang mereka banggakan tidak mampu melindungi mereka sedikit pun. Sebaliknya, bangunan-bangunan itu menjadi kuburan massal bagi mereka, saksi bisu dari kesombongan yang berakhir dengan kehancuran total. Nabi Saleh dan para pengikutnya yang beriman telah diselamatkan oleh Allah, karena mereka telah meninggalkan wilayah itu sebelum azab diturunkan.
Pelajaran Abadi dari Reruntuhan Tsamud
Kisah Kaum Tsamud bukanlah sekadar dongeng dari masa lalu. Ia adalah sebuah cermin besar yang dihadapkan kepada setiap peradaban, termasuk kita di zaman modern ini. Reruntuhan istana-istana batu mereka di Madain Saleh hingga kini berdiri sebagai monumen kebisuan yang menyimpan pelajaran-pelajaran abadi. Pelajaran pertama dan yang paling utama adalah tentang bahaya kesombongan. Kaum Tsamud dibinasakan bukan karena kekurangan ilmu atau teknologi—justru mereka sangat maju—tetapi karena kesombongan yang lahir dari kemajuan itu. Mereka merasa bahwa kehebatan mereka adalah hasil jerih payah mereka sendiri, lalu melupakan Sang Pemberi nikmat. Ini adalah pengingat bahwa sebesar apapun pencapaian manusia, ia tidak akan pernah bisa menandingi kekuasaan Allah.
Pelajaran kedua adalah tentang bagaimana nikmat bisa berubah menjadi ujian. Kemakmuran, kekuatan, dan kecerdasan yang dianugerahkan kepada Kaum Tsamud seharusnya menjadi sarana untuk bersyukur dan mendekatkan diri kepada Allah. Namun, mereka justru menjadikannya sebagai alat untuk berbuat zalim, menindas yang lemah, dan mengingkari keberadaan-Nya. Ini mengajarkan kita untuk senantiasa mawas diri. Setiap kelebihan yang kita miliki—baik itu harta, jabatan, ilmu, maupun kekuatan—adalah ujian, apakah kita akan menggunakannya untuk kebaikan atau justru terjerumus dalam keangkuhan.
Ketiga, kisah ini menunjukkan konsekuensi dari menolak kebenaran dan mendustakan tanda-tanda kebesaran Tuhan. Mukjizat unta betina adalah bukti yang sangat jelas dan tidak bisa dibantah. Namun, hati yang telah dipenuhi kebencian dan kesombongan akan selalu mencari cara untuk mengingkarinya. Ketika sebuah kaum secara sengaja membunuh mukjizat yang dikirimkan kepada mereka, pada dasarnya mereka sedang memutus tali rahmat terakhir dari Allah. Ini adalah peringatan keras bahwa ketika kebenaran datang dengan bukti yang nyata, menolaknya akan mendatangkan akibat yang fatal.
Terakhir, kehancuran Kaum Tsamud di dalam benteng-benteng gunung mereka yang paling kokoh mengajarkan kita tentang kefanaan kekuatan materi. Mereka percaya bahwa teknologi dan arsitektur mereka akan memberikan keabadian dan keselamatan. Ternyata, hal yang paling mereka banggakan justru menjadi kuburan mereka. Azab Allah datang dari arah yang tidak mereka duga—suara yang mematikan. Ini adalah simbol bahwa tidak ada benteng, teknologi, atau kekuasaan duniawi manapun yang dapat melindungi seseorang dari ketetapan Allah. Keselamatan sejati hanya terletak pada keimanan dan ketakwaan kepada-Nya. Kisah mereka akan selamanya menjadi ibrah, sebuah pelajaran berharga bagi orang-orang yang mau berpikir.