Memahami Secara Mendalam Kegiatan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) di Sekolah Dasar

Asesmen Nasional Berbasis Komputer, atau yang lebih dikenal dengan singkatan ANBK, telah menjadi sebuah terminologi yang sangat familiar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Program yang digagas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ini hadir sebagai sebuah terobosan untuk memetakan dan mengevaluasi mutu sistem pendidikan secara menyeluruh. Bagi jenjang Sekolah Dasar (SD), ANBK memiliki peran yang sangat strategis dalam memberikan gambaran utuh mengenai kualitas pembelajaran yang diterima oleh siswa di fase-fase awal pendidikan formal mereka. Artikel ini akan mengupas tuntas segala aspek yang berkaitan dengan kegiatan ANBK di tingkat SD, mulai dari konsep dasar, instrumen yang digunakan, persiapan yang perlu dilakukan, hingga pemanfaatan hasilnya untuk perbaikan berkelanjutan.

Ilustrasi Kegiatan ANBK SD Seorang siswa SD duduk di depan komputer, fokus mengerjakan soal. Di sekelilingnya terdapat ikon-ikon yang melambangkan literasi (buku), numerasi (grafik), dan karakter (hati dan bintang).

Mendefinisikan Ulang Asesmen: Pergeseran dari UN ke ANBK

Untuk memahami esensi ANBK, penting untuk melihatnya dalam konteks pergeseran paradigma asesmen pendidikan nasional. Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan kita sangat lekat dengan Ujian Nasional (UN). UN sering kali dianggap sebagai penentu kelulusan siswa secara individu, yang pada praktiknya menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa besar, tidak hanya bagi siswa, tetapi juga bagi guru dan orang tua. Fokus pembelajaran di sekolah sering kali menyempit menjadi sekadar latihan soal-soal (drill and practice) agar siswa dapat meraih nilai UN setinggi-tingginya.

ANBK hadir untuk mengubah paradigma ini secara fundamental. Tujuannya bukan lagi untuk mengukur capaian akademik individu siswa pada akhir jenjang pendidikan. Sebaliknya, ANBK dirancang sebagai alat diagnostik untuk memotret kesehatan sistem pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah). Hasilnya tidak akan tertera di ijazah siswa dan tidak digunakan sebagai syarat kelulusan. Ini adalah poin krusial yang harus dipahami oleh semua pihak.

Poin Kunci: ANBK bukanlah pengganti UN. ANBK adalah alat evaluasi sistem pendidikan, sedangkan UN adalah alat evaluasi capaian belajar individu siswa. Fokus ANBK adalah perbaikan mutu sekolah, bukan kelulusan siswa.

Dengan menghilangkan beban kelulusan individu, ANBK mendorong proses pembelajaran yang lebih holistik. Sekolah dan guru diharapkan tidak lagi terjebak dalam pengajaran yang sempit, melainkan fokus pada pengembangan kompetensi-kompetensi mendasar yang benar-benar dibutuhkan siswa untuk menghadapi tantangan masa depan. ANBK menjadi cermin bagi sekolah untuk melihat di mana letak kekuatan dan kelemahan mereka, sehingga dapat merancang program perbaikan yang lebih tepat sasaran.

Tiga Instrumen Utama dalam Kegiatan ANBK SD

Kegiatan ANBK di jenjang SD, sama seperti di jenjang lainnya, ditopang oleh tiga instrumen utama. Masing-masing instrumen memiliki tujuan pengukuran yang spesifik dan saling melengkapi untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang kualitas pendidikan di sebuah sekolah. Ketiga instrumen tersebut adalah:

  1. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)
  2. Survei Karakter
  3. Survei Lingkungan Belajar

Peserta ANBK di tingkat SD dipilih secara acak (random sampling) oleh sistem dari siswa kelas V. Pemilihan siswa kelas V dianggap strategis karena mereka masih memiliki waktu sekitar satu tahun lagi di jenjang SD. Hasil asesmen yang diperoleh dapat dimanfaatkan oleh sekolah untuk melakukan perbaikan pembelajaran sebelum siswa-siswa tersebut lulus.

1. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM): Mengukur Fondasi Belajar

AKM adalah komponen kognitif dari ANBK. Fokusnya adalah mengukur dua kompetensi yang paling mendasar, yaitu Literasi Membaca dan Numerasi. Kompetensi ini dianggap sebagai fondasi (minimum competency) yang harus dimiliki oleh setiap siswa agar dapat belajar dan berkontribusi secara produktif di masyarakat, terlepas dari mata pelajaran apa pun yang mereka pelajari.

a. Literasi Membaca

Literasi membaca dalam konteks AKM jauh lebih luas dari sekadar kemampuan membaca teknis (mengeja dan melafalkan kata). Literasi Membaca didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, dan merefleksikan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas individu sebagai warga negara Indonesia dan dunia agar dapat berkontribusi secara produktif kepada masyarakat.

Konten yang diukur dalam AKM Literasi mencakup dua jenis teks:

Proses kognitif yang diukur dalam Literasi Membaca adalah:

b. Numerasi

Sama halnya dengan literasi, numerasi bukanlah sekadar kemampuan berhitung atau matematika dasar. Numerasi adalah kemampuan untuk menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari dalam berbagai jenis konteks yang relevan bagi individu sebagai warga negara Indonesia dan dunia.

Konten yang diukur dalam AKM Numerasi dibagi menjadi beberapa domain:

Proses kognitif yang diukur dalam Numerasi adalah:

Penting Diketahui: Soal-soal AKM disajikan dalam berbagai bentuk, tidak hanya pilihan ganda. Ada pilihan ganda kompleks (jawaban benar lebih dari satu), menjodohkan, isian singkat, dan uraian. Format ini dirancang untuk mengukur kompetensi siswa secara lebih mendalam dan mendorong kemampuan berpikir kritis.

2. Survei Karakter: Memotret Profil Pelajar Pancasila

Jika AKM mengukur aspek kognitif, Survei Karakter dirancang untuk mengukur aspek non-kognitif, yaitu hasil belajar sosial-emosional siswa. Tujuannya adalah untuk memotret sikap, nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang mencerminkan karakter pelajar Indonesia. Acuan utama dari survei ini adalah enam dimensi Profil Pelajar Pancasila.

Survei ini tidak menguji "benar" atau "salah", melainkan meminta siswa untuk memberikan respons terhadap serangkaian pernyataan yang menggambarkan situasi dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya memberikan gambaran tentang sejauh mana budaya sekolah telah berhasil menumbuhkan karakter-karakter positif pada diri siswa.

Enam dimensi Profil Pelajar Pancasila yang diukur adalah:

  1. Beriman, Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia: Mengukur akhlak siswa dalam hubungannya dengan Tuhan (akhlak beragama), dengan diri sendiri (akhlak pribadi), dengan sesama manusia (akhlak sosial), dengan alam (akhlak kepada alam), dan dalam kehidupan bernegara (akhlak bernegara).
  2. Berkebinekaan Global: Mengukur kemampuan siswa untuk mengenal dan menghargai budaya yang berbeda, kemampuan berkomunikasi interkultural, serta refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan. Siswa diharapkan dapat bersikap terbuka dan menghormati perbedaan.
  3. Bergotong Royong: Mengukur kemampuan siswa untuk berkolaborasi, bekerja sama dengan orang lain secara sukarela demi mencapai tujuan bersama. Ini mencakup aspek kepedulian dan berbagi.
  4. Mandiri: Mengukur kesadaran siswa akan diri dan situasi yang dihadapi, serta kemampuan untuk meregulasi diri sendiri. Siswa yang mandiri mampu mengatur pikiran, perasaan, dan tindakannya untuk mencapai tujuan.
  5. Bernalar Kritis: Mengukur kemampuan siswa untuk secara objektif memproses informasi, baik kualitatif maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai informasi, menganalisis informasi, mengevaluasi, dan menyimpulkannya.
  6. Kreatif: Mengukur kemampuan siswa untuk menghasilkan gagasan yang orisinal, serta karya dan tindakan yang inovatif. Siswa yang kreatif mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan menemukan solusi yang tidak biasa.

3. Survei Lingkungan Belajar: Mengukur Kualitas Iklim Sekolah

Instrumen ketiga ini memiliki cakupan yang lebih luas. Survei Lingkungan Belajar tidak hanya diisi oleh siswa peserta ANBK, tetapi juga oleh seluruh guru dan kepala sekolah. Tujuannya adalah untuk mengukur kualitas berbagai aspek input dan proses belajar-mengajar di sekolah. Survei ini memberikan konteks terhadap hasil AKM dan Survei Karakter. Hasil belajar siswa tentu sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka belajar.

Beberapa aspek penting yang diukur dalam Survei Lingkungan Belajar meliputi:

Informasi dari ketiga instrumen ini kemudian diolah dan disajikan secara terintegrasi dalam sebuah platform yang disebut Rapor Pendidikan. Rapor inilah yang menjadi dasar bagi sekolah, dinas pendidikan, dan pemerintah untuk melakukan refleksi dan merencanakan program perbaikan mutu.

Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ANBK di Sekolah Dasar

Pelaksanaan ANBK memerlukan persiapan yang matang, baik dari sisi teknis maupun non-teknis. Prosesnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan utama: pra-pelaksanaan, pelaksanaan, dan pasca-pelaksanaan.

Tahap Pra-Pelaksanaan: Kunci Keberhasilan ANBK

Tahap persiapan adalah fase yang paling krusial. Kelancaran kegiatan ANBK sangat bergantung pada seberapa baik sekolah mempersiapkan segala sesuatunya.

1. Persiapan Infrastruktur dan Teknis

2. Persiapan Siswa

Persiapan siswa untuk ANBK bukanlah tentang memberikan bimbel atau latihan soal secara masif. Ingat, ANBK bukan tes yang mengukur penguasaan materi. Persiapan yang lebih penting adalah:

3. Persiapan Guru dan Kepala Sekolah

Tahap Pelaksanaan: Hari-H ANBK

Pada hari pelaksanaan, suasana yang kondusif dan tenang sangat penting. Pelaksanaan biasanya dibagi menjadi beberapa sesi untuk mengakomodasi jumlah peserta dan ketersediaan perangkat.

Tahap Pasca-Pelaksanaan: Memanfaatkan Hasil untuk Perbaikan

Setelah seluruh rangkaian kegiatan ANBK selesai, tugas sekolah belum berakhir. Justru, tahap inilah yang menjadi puncak dari seluruh tujuan ANBK.

  1. Menunggu Hasil Rapor Pendidikan: Pemerintah akan mengolah semua data yang terkumpul (hasil AKM, Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar) dari seluruh Indonesia. Hasil olahan ini akan disajikan dalam bentuk dasbor yang mudah dibaca, yaitu Rapor Pendidikan.
  2. Analisis dan Refleksi Bersama: Setelah Rapor Pendidikan dirilis, kepala sekolah bersama seluruh guru harus duduk bersama untuk mempelajari hasilnya. Ini disebut sebagai tahap Identifikasi dan Refleksi. Sekolah perlu melihat indikator mana yang sudah baik (hijau), cukup (kuning), atau masih kurang (merah). Misalnya, hasil AKM Literasi mungkin sudah baik, tetapi skor pada iklim keamanan sekolah (terkait perundungan) ternyata masih rendah.
  3. Perencanaan Berbasis Data (PBD): Berdasarkan hasil analisis dan refleksi tersebut, sekolah kemudian masuk ke tahap Benahi. Sekolah harus menyusun rencana program atau kegiatan yang secara spesifik menargetkan perbaikan pada indikator-indikator yang masih lemah. Proses ini dikenal sebagai Perencanaan Berbasis Data (PBD). Contohnya, jika masalahnya adalah perundungan, sekolah bisa merancang program anti-perundungan yang melibatkan siswa, guru, dan orang tua. Jika masalahnya adalah kompetensi numerasi yang rendah, sekolah bisa merencanakan pelatihan bagi guru-guru tentang metode pengajaran matematika yang lebih kontekstual dan menyenangkan.
  4. Implementasi dan Evaluasi: Program yang telah direncanakan kemudian diimplementasikan sepanjang tahun ajaran. Proses ini harus terus dipantau dan dievaluasi untuk melihat efektivitasnya. Hasil dari ANBK di periode berikutnya akan menjadi tolok ukur apakah program perbaikan yang dilakukan telah berhasil atau perlu disesuaikan kembali.

Kesimpulan: ANBK sebagai Katalisator Transformasi Pendidikan

Kegiatan ANBK di Sekolah Dasar bukanlah sebuah ajang untuk mencari siapa yang terhebat atau menghakimi kinerja sekolah. Ia adalah sebuah mekanisme evaluasi yang dirancang untuk menjadi sahabat bagi sekolah. ANBK menyediakan data yang kaya dan otentik tentang potret mutu pendidikan yang sesungguhnya, melampaui sekadar angka-angka nilai ujian.

Dengan memahami secara mendalam setiap komponen dan tahapan dalam kegiatan ANBK, mulai dari AKM yang mengukur kompetensi dasar, Survei Karakter yang memotret akhlak mulia, hingga Survei Lingkungan Belajar yang mengidentifikasi kesehatan iklim sekolah, kita dapat melihatnya sebagai sebuah siklus perbaikan berkelanjutan. Ini adalah undangan bagi seluruh ekosistem pendidikan—kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dan pemerintah—untuk berkolaborasi, melakukan refleksi jujur, dan merancang intervensi yang cerdas berbasis data. Pada akhirnya, tujuan mulia dari semua ini adalah untuk memastikan setiap anak di Indonesia, di sekolah mana pun mereka berada, mendapatkan pengalaman belajar yang berkualitas, menumbuhkan nalar kritis, dan membentuk karakter yang luhur sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

🏠 Homepage