Menggali Keistimewaan Bulan Muharram

Ilustrasi Kaligrafi Muharram di dalam bingkai Islami محرّم

Bulan Pertama Penuh Berkah

Setiap lembaran waktu dalam kalender Islam memiliki makna dan keutamaannya tersendiri. Namun, ada bulan-bulan tertentu yang Allah Subhanahu wa Ta'ala muliakan lebih dari yang lain. Salah satunya adalah Muharram, bulan pembuka tahun Hijriah. Ia bukan sekadar penanda pergantian tahun, melainkan sebuah gerbang spiritual yang terbuka lebar, mengundang setiap muslim untuk meraup pahala, ampunan, dan keberkahan yang melimpah. Memahami keistimewaan bulan Muharram adalah langkah awal untuk memaksimalkan setiap detiknya demi meraih keridhaan Ilahi.

Muharram seringkali dikenal karena satu hari agung di dalamnya, yaitu hari Asyura. Namun, keagungannya tidak terbatas pada satu hari itu saja. Keseluruhan bulan ini diselimuti oleh kemuliaan sebagai salah satu dari empat bulan haram (Asyhurul Hurum), bulan-bulan yang disucikan. Status istimewa ini membawa konsekuensi dan anjuran amalan tertentu yang menjadikannya momentum yang sangat berharga untuk introspeksi, pertaubatan, dan peningkatan kualitas ibadah. Mari kita selami lebih dalam lautan hikmah dan keutamaan yang terkandung dalam bulan yang mulia ini.

Muharram: Bulan Allah yang Disucikan (Syahrullah Al-Muharram)

Salah satu gelar termulia yang disematkan pada bulan Muharram adalah "Syahrullah," yang berarti "Bulan Allah". Penisbatan nama sebuah bulan kepada Allah adalah sebuah penghormatan yang luar biasa, menandakan kedudukan dan keagungannya yang tiada tara. Gelar ini secara eksplisit disebutkan dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, di mana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah, Muharram.” (HR. Muslim)

Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa penyebutan "Syahrullah" ini menunjukkan betapa istimewanya bulan ini. Meskipun semua bulan adalah milik Allah, Muharram dipilih secara khusus untuk disandarkan langsung kepada-Nya. Hal ini serupa dengan penyebutan "Baitullah" (Rumah Allah) untuk Ka'bah atau "Naqatullah" (Unta Betina Allah) pada kisah Nabi Shaleh. Penisbatan ini berfungsi untuk menggarisbawahi kemuliaan dan kekhususan objek tersebut.

Termasuk dalam Asyhurul Hurum (Bulan-Bulan Haram)

Keagungan Muharram juga ditegaskan oleh statusnya sebagai salah satu dari empat bulan haram. Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At-Taubah: 36)

Keempat bulan haram tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Disebut "haram" karena pada bulan-bulan ini, Allah melipatgandakan kesuciannya dan melarang umat Islam untuk memulai peperangan. Larangan ini sudah menjadi tradisi yang dihormati bahkan sejak zaman jahiliyah, dan kemudian ditegaskan kembali dalam syariat Islam. Hikmahnya adalah untuk memberikan rasa aman bagi para peziarah yang hendak melaksanakan haji dan umrah.

Ayat di atas juga memberikan peringatan keras: "maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." Para ulama tafsir, seperti Ibnu Abbas, menjelaskan bahwa meskipun berbuat zalim (dosa dan maksiat) dilarang setiap saat, melakukannya di bulan-bulan haram ini dosanya menjadi lebih besar dan lebih berat. Sebaliknya, melakukan amal saleh di bulan-bulan ini juga akan dilipatgandakan pahalanya. Ini adalah prinsip keadilan ilahi: di mana ancaman hukuman diperberat, di situ pula janji pahala diperbesar. Oleh karena itu, Muharram menjadi ladang subur untuk menanam kebaikan dan sekaligus menjadi area yang sangat berbahaya untuk menabur keburukan.

Keutamaan Agung Ibadah Puasa di Bulan Muharram

Amalan yang paling ditekankan dan memiliki keutamaan paling menonjol di bulan Muharram adalah ibadah puasa. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadis riwayat Muslim, puasa di bulan Muharram adalah puasa sunnah terbaik setelah puasa wajib di bulan Ramadhan. Keutamaan ini mencakup puasa secara umum di sepanjang bulan Muharram, namun ada hari-hari spesifik yang memiliki fadhilah lebih istimewa, yaitu puasa Tasu’a dan Asyura.

Puasa Asyura: Penghapus Dosa Setahun Silam

Puncak kemuliaan puasa di bulan Muharram terletak pada hari kesepuluh, yang dikenal sebagai hari Asyura. Kata "Asyura" berasal dari kata ‘asyarah’ yang berarti sepuluh. Keutamaan puasa pada hari ini begitu luar biasa, sebagaimana dijelaskan dalam hadis dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari Asyura, maka beliau menjawab:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Puasa Asyura dapat menghapuskan (dosa-dosa kecil) setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim)

Janji pengampunan dosa selama satu tahun penuh adalah anugerah yang sangat besar. Tentu saja, para ulama menjelaskan bahwa dosa yang dihapuskan adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar memerlukan taubat nasuha yang tulus, dengan memenuhi syarat-syaratnya yaitu menyesal, berhenti dari perbuatan dosa, dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Namun demikian, kesempatan untuk membersihkan catatan amal dari dosa-dosa kecil selama setahun adalah sebuah kemurahan yang tidak boleh dilewatkan oleh seorang muslim.

Jejak Sejarah Puasa Asyura

Puasa Asyura memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan. Aisyah radhiyallahu 'anha menceritakan:

“Dahulu orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliyah, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga melakukannya. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap berpuasa Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa. Namun, ketika puasa Ramadhan diwajibkan, maka puasa Asyura menjadi (sunnah), barangsiapa yang ingin, ia boleh berpuasa, dan barangsiapa yang tidak ingin, ia boleh meninggalkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika tiba di Madinah, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menemukan kaum Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan:

“Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya, ‘Hari apa ini yang kalian puasakan?’ Mereka menjawab, ‘Ini adalah hari yang agung, hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta menenggelamkan Fir’aun dan tentaranya. Maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur kepada Allah, dan kami pun mengikutinya.’ Rasulullah bersabda, ‘Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kalian.’ Maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kisah ini menunjukkan semangat tauhid yang murni dalam Islam. Penghormatan terhadap nabi-nabi terdahulu adalah bagian dari akidah Islam. Namun, Islam datang untuk menyempurnakan dan memurnikan syariat sebelumnya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan bahwa kaum muslimin adalah pewaris sejati ajaran para nabi, termasuk Nabi Musa 'alaihissalam.

Puasa Tasu’a: Pembeda Umat Islam

Meskipun memiliki dasar sejarah yang sama dengan kaum Yahudi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat ingin agar ibadah umat Islam memiliki ciri khas tersendiri dan berbeda dari umat lainnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip penting dalam syariat, yang dikenal dengan istilah *mukhalafatul ahlil kitab* (menyelisihi Ahli Kitab).

Dalam konteks puasa Asyura, keinginan untuk berbeda ini diwujudkan dengan anjuran untuk berpuasa satu hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 9 Muharram, yang disebut puasa Tasu’a (berasal dari kata *tis’ah* yang berarti sembilan). Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan:

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah bersabda, “Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (juga).” (HR. Muslim)

Sayangnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat sebelum sempat melaksanakannya. Namun, tekad dan ucapan beliau ini menjadi sunnah yang sangat dianjurkan bagi umatnya. Dengan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram, seorang muslim tidak hanya meraih keutamaan Asyura tetapi juga mengikuti sunnah Nabi dalam semangat membedakan diri dari umat lain, serta menunjukkan kesempurnaan dalam mengikuti petunjuk beliau.

Tingkatan Pelaksanaan Puasa Asyura

Berdasarkan hadis-hadis yang ada, para ulama menyimpulkan beberapa tingkatan dalam melaksanakan puasa Asyura, diurutkan dari yang paling utama:

  1. Berpuasa tiga hari: tanggal 9, 10, dan 11 Muharram. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna dan paling hati-hati.
  2. Berpuasa dua hari: tanggal 9 (Tasu’a) dan 10 (Asyura) Muharram. Ini adalah tingkatan yang paling dianjurkan berdasarkan hadis Ibnu Abbas di atas.
  3. Berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram. Sebagian ulama memakruhkannya jika dilakukan tanpa udzur, karena menyerupai amalan Ahli Kitab. Namun, sebagian besar ulama menyatakan hukumnya tetap sah dan mendapatkan keutamaannya, meskipun tidak sesempurna jika diiringi puasa Tasu'a.

Peristiwa-Peristiwa Agung dalam Lintasan Sejarah di Bulan Muharram

Bulan Muharram, khususnya hari Asyura, menjadi saksi bisu bagi banyak peristiwa monumental dalam sejarah para nabi dan umat-umat terdahulu. Peristiwa-peristiwa ini, meskipun sebagian riwayatnya bersifat *israiliyat*, tetap mengandung banyak hikmah dan pelajaran tentang pertolongan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan kesabaran mereka dalam menghadapi ujian.

Tragedi Karbala: Duka dan Pelajaran

Selain peristiwa-peristiwa gembira tersebut, bulan Muharram juga mencatat salah satu tragedi paling memilukan dalam sejarah Islam: syahidnya cucu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Al-Husain bin Ali radhiyallahu 'anhuma, di padang Karbala, Iraq. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Muharram.

Al-Husain, dengan semangat menegakkan keadilan dan menentang kezaliman, berangkat dari Madinah menuju Kufah. Namun, ia dan rombongan kecilnya yang terdiri dari keluarga dan sahabat setianya dikhianati dan dikepung oleh pasukan besar utusan gubernur saat itu. Dalam pertempuran yang tidak seimbang, Al-Husain dan sebagian besar pengikutnya gugur sebagai syuhada.

Bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, peristiwa Karbala adalah musibah besar yang menyisakan duka mendalam. Mencintai keluarga Nabi (Ahlul Bait) adalah bagian dari akidah. Kematian Al-Husain adalah kehilangan besar bagi umat Islam. Sikap yang benar dalam menyikapi tragedi ini adalah dengan mengambil pelajaran berharga darinya: tentang keberanian membela kebenaran, pengorbanan di jalan Allah, bahaya perpecahan, dan pentingnya menjaga persatuan umat. Namun, duka ini tidak boleh diekspresikan dengan cara-cara yang dilarang oleh syariat, seperti meratapi secara berlebihan, menyakiti diri sendiri, atau mencela para sahabat Nabi yang mulia.

Amalan-Amalan Sunnah Lainnya di Bulan Muharram

Selain puasa yang menjadi primadona, bulan Muharram adalah waktu yang tepat untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas berbagai amal kebaikan lainnya. Statusnya sebagai bulan haram di mana pahala dilipatgandakan menjadi motivasi tambahan.

Memperbanyak Sedekah dan Infaq

Memberi nafkah kepada keluarga adalah kewajiban yang berpahala besar setiap saat. Namun, ada riwayat yang menyebutkan keutamaan khusus untuk melapangkan nafkah keluarga pada hari Asyura. Meskipun status hadisnya diperselisihkan oleh para ulama, maknanya selaras dengan anjuran umum untuk berbuat baik dan bersedekah. Dari Jabir bin Abdillah, ia mendengar Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa melapangkan (nafkah) untuk dirinya dan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan melapangkannya sepanjang tahun itu.” (HR. Al-Baihaqi)

Amalan ini, jika diniatkan untuk mengikuti sunnah dan membahagiakan keluarga, insya Allah akan mendatangkan keberkahan rezeki dari Allah. Selain kepada keluarga, memperbanyak sedekah kepada fakir miskin dan anak yatim di bulan ini juga sangat dianjurkan.

Introspeksi Diri (Muhasabah) dan Bertaubat

Sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriah, Muharram adalah momentum yang sangat tepat untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Kita bisa merenungkan perjalanan hidup selama setahun yang telah berlalu: berapa banyak kebaikan yang telah dilakukan, dan berapa banyak dosa dan kelalaian yang telah diperbuat. Muhasabah ini seharusnya melahirkan penyesalan atas dosa-dosa dan memotivasi kita untuk bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubat nasuha).

Mengawali tahun baru dengan lembaran yang bersih, hati yang tulus, dan tekad yang kuat untuk menjadi pribadi yang lebih baik adalah resolusi terbaik yang bisa dibuat oleh seorang muslim. Perbanyak istighfar, memohon ampunan kepada Allah, dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu.

Meningkatkan Amal Ibadah Rutin

Gunakan semangat tahun baru Hijriah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah harian. Misalnya, berusaha untuk selalu shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki, menjaga shalat-shalat sunnah rawatib, memperbanyak shalat Dhuha dan Tahajud, serta meluangkan waktu lebih banyak untuk membaca, mentadabburi, dan menghafal Al-Qur'an. Bulan Muharram adalah start yang sempurna untuk membangun kebiasaan-kebiasaan baik yang bisa kita pertahankan sepanjang tahun.

Menghindari Kesalahpahaman dan Bid'ah di Bulan Muharram

Di balik kemuliaan dan keutamaannya, terdapat beberapa praktik dan keyakinan yang keliru seputar bulan Muharram yang menyebar di sebagian kalangan masyarakat. Praktik-praktik ini tidak memiliki dasar dari Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, sehingga wajib untuk dihindari agar ibadah kita murni dan diterima di sisi Allah.

Ritual Meratapi Tragedi Karbala Secara Berlebihan

Menyikapi tragedi Karbala dengan meratap, memukul-mukul badan, melukai diri, atau mencaci maki sahabat Nabi adalah perbuatan yang tercela dan dilarang dalam Islam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Bukan termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju, dan menyeru dengan seruan jahiliyah (ketika ditimpa musibah).” (HR. Bukhari)

Kesedihan atas wafatnya Al-Husain adalah wajar, namun ekspresinya harus tetap dalam koridor syariat, yaitu dengan kesabaran, mendoakan beliau, dan mengambil pelajaran dari perjuangannya.

Menganggap Muharram sebagai Bulan Sial atau Penuh Bencana

Sebagian masyarakat memiliki kepercayaan tahayul bahwa bulan Muharram, terutama di Indonesia yang dikenal dengan sebutan bulan Suro, adalah bulan yang keramat dan membawa sial. Akibatnya, mereka menghindari untuk mengadakan acara-acara penting seperti pernikahan, pindah rumah, atau memulai usaha di bulan ini. Keyakinan seperti ini bertentangan dengan akidah Islam. Tidak ada bulan atau hari yang membawa sial. Sial atau beruntung datangnya dari Allah, bukan karena waktu tertentu. Menganggap suatu waktu membawa sial termasuk *tathayyur* atau *thiyarah*, yaitu salah satu bentuk kesyirikan.

Mengkhususkan Ibadah Tertentu Tanpa Dalil

Terkadang muncul amalan-amalan khusus yang dikaitkan dengan bulan Muharram atau hari Asyura tanpa ada landasan dalil yang kuat. Contohnya seperti mengkhususkan shalat tertentu, membaca doa-doa yang tidak pernah diajarkan, atau membuat bubur khusus (bubur suro) dengan keyakinan ibadah tertentu. Prinsip dasar dalam beribadah adalah *at-tauqif*, yaitu kita hanya boleh melakukan ibadah yang ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Menambah-nambah dalam urusan agama (bid'ah) adalah perbuatan yang tertolak.

Kesimpulan: Membuka Lembaran Baru dengan Semangat Muharram

Bulan Muharram adalah anugerah pembuka tahun dari Allah Ta'ala. Ia adalah "Syahrullah," bulan yang agung dan disucikan. Keistimewaannya terpancar melalui statusnya sebagai bulan haram, di mana amal saleh dilipatgandakan pahalanya dan perbuatan dosa diperberat hukumannya. Puncak kemuliaannya adalah pada puasa Asyura yang dapat menghapus dosa setahun, disempurnakan dengan puasa Tasu'a sebagai pembeda umat Islam.

Mari kita sambut bulan mulia ini dengan hati yang bersih dan semangat yang baru. Jadikan ia sebagai titik tolak untuk perbaikan diri, meningkatkan kedekatan dengan Allah, dan meneladani kesabaran serta perjuangan para nabi. Dengan mengisi hari-harinya dengan puasa, sedekah, dzikir, dan muhasabah, serta menjauhi segala bentuk bid'ah dan kesalahpahaman, kita berharap dapat membuka lembaran tahun baru dengan penuh berkah, ampunan, dan keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

🏠 Homepage