Kematian Ibnu Muljam: Tragedi di Malam Ramadhan

Simbol Pedang dan Bayangan Ilustrasi minimalis berupa siluet pedang tajam yang menembus kegelapan, melambangkan pengkhianatan dan akhir hayat.

Kisah kematian Ibnu Muljam (Abdurrahman bin Amr bin Muljam al-Muradi) adalah salah satu babak paling dramatis dan menyedihkan dalam sejarah awal Islam. Sosok ini dikenal bukan karena pencapaiannya, melainkan karena perannya sebagai algojo yang merenggut nyawa salah satu tokoh sentral umat Islam, yaitu Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa ini terjadi pada malam ke-21 bulan Ramadhan, sebuah malam yang penuh makna spiritual bagi kaum Muslimin.

Latar Belakang Pengkhianatan

Ibnu Muljam adalah seorang ahli qira'ah (pembaca Al-Qur'an) dari kabilah Murad yang tinggal di Kufah. Namun, di balik kefasihannya dalam membaca ayat suci, hatinya dikuasai oleh kebencian dan dendam politik yang mendalam. Setelah peristiwa Tahkim (arbitrase) yang kontroversial antara Khalifah Ali dan Muawiyah bin Abi Sufyan, sekelompok ekstremis yang dikenal sebagai Khawarij merasa dikhianati oleh kedua belah pihak.

Khawarij berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak menjadi hakim, dan kepemimpinan (kekhalifahan) telah tercabut dari tangan Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash. Dalam sebuah pertemuan rahasia, mereka merencanakan pembunuhan serentak terhadap ketiga pemimpin tersebut untuk mengakhiri konflik dan 'memperbaiki' umat. Ibnu Muljam secara spesifik ditugaskan untuk membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia dibekali racun mematikan yang akan dioleskan pada ujung pedangnya.

Eksekusi di Masjid Kufah

Pada malam yang ditakdirkan itu, Ibnu Muljam dan kaki tangannya menunggu di Masjid Agung Kufah. Ali bin Abi Thalib, seperti kebiasaannya, mendatangi masjid untuk menunaikan salat Subuh. Ketika Khalifah sedang bersujud dalam rakaat pertama, Ibnu Muljam bergerak cepat. Ia menghunjamkan pedang beracunnya ke pelipis kepala Ali.

Dampak racun itu sangat cepat dan mematikan. Ali terluka parah dan segera dibawa pulang. Meskipun ia sempat hidup selama dua hari setelah serangan itu, luka tersebut terbukti fatal. Kematian Ali bin Abi Thalib menimbulkan duka mendalam dan kekacauan politik yang signifikan, menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin.

Penangkapan dan Eksekusi Ibnu Muljam

Para sahabat dan pengawal segera mengejar pelaku. Ibnu Muljam berhasil ditangkap setelah perlawanan singkat. Ia kemudian dibawa menghadap putra Khalifah yang sedang terluka parah, Hasan bin Ali. Ketika Ali sadar sesaat sebelum wafat, ia berpesan kepada putranya agar memperlakukan tawanan dengan baik sesuai ajaran Islam, namun ia juga mengizinkan Hasan untuk membalas dendam yang setimpal.

Dalam konteks hukum yang berlaku saat itu (Qisas), Ibnu Muljam dianggap bersalah atas pembunuhan berencana. Berdasarkan perintah Hasan, yang bertindak atas dasar izin ayahnya dan hukum balasan yang berlaku, Ibnu Muljam dijatuhi hukuman mati. Proses kematian Ibnu Muljam dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan keadilan atas kejahatan yang telah dilakukannya terhadap pemimpin negara.

Eksekusi Ibnu Muljam di Kufah menjadi penutup tragis bagi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Islam. Peristiwa ini bukan hanya tentang pembunuhan seorang pemimpin, tetapi juga tentang bagaimana ekstremisme ideologis dapat memicu tindakan kekerasan brutal yang mengguncang fondasi persatuan umat pada masa-masa awal kekhalifahan. Warisan pembunuhan ini terus menjadi pelajaran penting mengenai bahaya takfir (pengkafiran) dan fanatisme buta dalam diskursus keagamaan dan politik.

🏠 Homepage