Kepada Allah
Sebuah Perjalanan Pulang Menuju Sumber Segala Ketenangan
Pendahuluan: Panggilan Jiwa yang Abadi
Di tengah hiruk pikuk dunia yang fana, di antara riuh rendahnya ambisi dan kebisingan materi, ada sebuah panggilan sunyi yang senantiasa bergema di lubuk hati setiap manusia. Sebuah kerinduan primordial, sebuah hasrat untuk kembali, sebuah pencarian akan makna yang lebih dalam dari sekadar eksistensi biologis. Panggilan itu adalah arah, tujuan, dan destinasi akhir dari seluruh perjalanan kita: kepada Allah. Frasa ini bukan sekadar susunan kata, melainkan sebuah kompas spiritual yang mengarahkan setiap detak jantung, napas, dan langkah kita menuju Sang Pencipta.
Manusia diciptakan dengan fitrah, sebuah kecenderungan alami untuk mengakui adanya kekuatan yang Maha Agung, yang mengatur alam semesta dengan presisi yang sempurna. Kita bisa mencoba mengabaikannya, menenggelamkannya dalam kesibukan duniawi, atau bahkan menolaknya dengan arogansi intelektual. Namun, pada saat-saat paling sunyi, ketika kita berhadapan dengan keindahan matahari terbenam yang memukau, atau ketika kita merenungi kompleksitas galaksi di langit malam, atau bahkan saat kita dihadapkan pada kerapuhan hidup melalui duka dan kehilangan, fitrah itu akan berbisik, mengingatkan kita akan asal dan tujuan kita. Perjalanan "kepada Allah" adalah jawaban atas bisikan fitrah tersebut. Ini adalah sebuah proses seumur hidup untuk menyelaraskan kembali diri kita dengan tujuan penciptaan kita yang paling hakiki.
Ini bukanlah perjalanan fisik melintasi ruang dan waktu, melainkan sebuah odisei ruhani yang terjadi di dalam batin. Ia adalah tentang transformasi kesadaran, dari keterpusatan pada diri sendiri (ego) menjadi keterpusatan pada Tuhan (tauhid). Ia adalah tentang melepaskan genggaman erat pada dunia yang sementara dan menggantinya dengan keyakinan yang kokoh pada janji-janji-Nya yang abadi. Perjalanan ini dipenuhi dengan berbagai stasiun: stasiun pengenalan, stasiun ibadah, stasiun ujian, stasiun taubat, dan puncaknya adalah stasiun cinta dan keridhaan. Setiap insan menempuh jalan ini dengan kecepatan dan ritmenya masing-masing, namun tujuannya tetap sama: untuk kembali kepada-Nya dalam keadaan jiwa yang tenang (an-nafs al-muthmainnah).
Bab 1: Mengenal Allah, Awal dari Segalanya
Bagaimana mungkin kita berjalan menuju sesuatu yang tidak kita kenali? Langkah pertama dan paling fundamental dalam perjalanan kepada Allah adalah ma'rifatullah, yaitu mengenal Allah. Pengenalan ini bukanlah sekadar pengetahuan konseptual yang dihafal dari buku, melainkan sebuah pengalaman batin yang meresap ke dalam seluruh sel tubuh dan kesadaran. Mengenal Allah berarti memahami siapa Dia, apa sifat-sifat-Nya, dan bagaimana Dia berinteraksi dengan ciptaan-Nya. Ada beberapa jendela yang dapat kita buka untuk melihat jejak-jejak keagungan-Nya.
Melalui Alam Semesta (Ayat Kauniyah)
Lihatlah sekelilingmu. Perhatikan pergantian siang dan malam yang tak pernah terlambat sedetik pun. Renungkan bagaimana dari sebiji benih kecil bisa tumbuh pohon raksasa yang kokoh. Pikirkan tentang miliaran bintang di galaksi yang bergerak dalam orbitnya masing-masing tanpa pernah bertabrakan. Amatilah bagaimana air hujan turun untuk menghidupkan tanah yang mati. Semua ini adalah "ayat-ayat" atau tanda-tanda yang tidak bersuara, namun berteriak tentang keberadaan Sang Pencipta yang Maha Kuasa, Maha Bijaksana, dan Maha Pengasih. Al-Qur'an berulang kali mengajak kita untuk berpikir, merenung, dan menggunakan akal kita untuk melihat tanda-tanda ini. Mengenal Allah melalui ciptaan-Nya akan menumbuhkan rasa takjub, kagum, dan kerendahan hati yang luar biasa. Kita akan menyadari betapa kecilnya kita di hadapan alam semesta ciptaan-Nya, dan betapa agungnya Dia.
Melalui Nama dan Sifat-Nya (Asmaul Husna)
Allah memperkenalkan diri-Nya kepada kita melalui nama-nama-Nya yang terindah, yang dikenal sebagai Asmaul Husna. Setiap nama adalah sebuah pintu untuk memahami salah satu aspek dari kesempurnaan-Nya. Merenungi nama-nama ini adalah cara yang sangat kuat untuk membangun hubungan pribadi dengan-Nya.
- Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang): Dua nama ini mengajarkan kita bahwa esensi hubungan Allah dengan ciptaan-Nya adalah kasih sayang. Rahmat-Nya mendahului murka-Nya. Ar-Rahman adalah kasih sayang-Nya yang melimpah ruah kepada seluruh makhluk tanpa terkecuali, baik yang beriman maupun yang ingkar. Ar-Rahim adalah kasih sayang-Nya yang spesifik dan abadi bagi orang-orang yang beriman di akhirat kelak. Mengenal sifat ini membuat kita tidak pernah putus asa dari ampunan-Nya.
- Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun): Sifat ini adalah harapan bagi setiap pendosa. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Al-Ghafur mengajarkan bahwa pintu ampunan Allah selalu terbuka, tidak peduli seberapa besar dosa yang telah kita perbuat, selama kita kembali kepada-Nya dengan penyesalan yang tulus. Mengenal-Nya sebagai Al-Ghafur membebaskan kita dari belenggu rasa bersalah yang melumpuhkan dan memberi kita kekuatan untuk memulai lembaran baru.
- Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana): Nama ini memberikan ketenangan di tengah badai kehidupan. Ketika kita menghadapi sesuatu yang tidak kita pahami—sebuah musibah, kehilangan, atau kegagalan—keyakinan bahwa semua itu terjadi di bawah pengawasan Al-Hakim membuat kita percaya bahwa pasti ada hikmah yang tersembunyi di baliknya. Kebijaksanaan-Nya jauh melampaui pemahaman kita yang terbatas.
- Al-Wadud (Yang Maha Mencintai): Ini adalah salah satu nama yang paling menghangatkan hati. Allah bukan hanya Pencipta yang jauh di atas sana, tetapi juga Dzat yang mencintai hamba-hamba-Nya yang taat. Ibadah kita bukan hanya kewajiban, tetapi juga respons atas cinta-Nya. Menyadari bahwa kita dicintai oleh Penguasa alam semesta adalah sumber kekuatan dan kebahagiaan yang tak terhingga.
- As-Shabur (Yang Maha Sabar): Allah Maha Sabar dalam menghadapi pembangkangan makhluk-Nya. Dia tidak serta-merta mengazab orang yang berbuat dosa, melainkan memberinya waktu dan kesempatan untuk bertaubat. Merenungi sifat ini mengajarkan kita untuk bersabar dalam ketaatan, sabar dalam menghadapi ujian, dan sabar dalam berinteraksi dengan sesama manusia.
Merenungi setiap nama dari Asmaul Husna akan membuka cakrawala baru dalam pemahaman kita tentang Tuhan, mengubah cara kita berdoa, dan membentuk karakter kita menjadi lebih baik.
Melalui Firman-Nya (Ayat Qauliyah)
Jika alam semesta adalah surat cinta Allah yang tersirat, maka Al-Qur'an adalah surat cinta-Nya yang tersurat. Ia adalah kalamullah, firman Allah yang diturunkan sebagai petunjuk, pembeda antara yang hak dan yang batil, serta obat bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam hati. Membaca, memahami, merenungi (tadabbur), dan mengamalkan isi Al-Qur'an adalah cara paling langsung untuk mengenal Allah. Di dalamnya, Allah berbicara langsung kepada kita: tentang diri-Nya, tentang tujuan kita diciptakan, tentang kisah umat-umat terdahulu sebagai pelajaran, tentang janji surga dan ancaman neraka, serta tentang tuntunan hidup yang detail untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Berinteraksi dengan Al-Qur'an setiap hari akan membuat hati kita hidup dan terhubung secara konstan dengan sumber petunjuk.
Bab 2: Jalan Praktis Menuju Allah
Pengenalan akan melahirkan cinta, dan cinta akan menuntut pembuktian. Perjalanan kepada Allah bukanlah sekadar perjalanan intelektual, tetapi juga perjalanan amal. Ada jalan-jalan praktis yang telah digariskan oleh-Nya sebagai sarana bagi kita untuk mendekatkan diri. Jalan-jalan ini dikenal sebagai ibadah. Ibadah dalam Islam memiliki makna yang sangat luas, mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin.
Shalat: Mi'raj Seorang Mukmin
Shalat adalah tiang agama dan merupakan bentuk komunikasi paling intim dan langsung antara seorang hamba dengan Tuhannya. Ia bukanlah sekadar rangkaian gerakan dan bacaan ritualistik yang kosong makna. Setiap elemen dalam shalat memiliki kedalaman spiritual yang luar biasa jika dihayati.
"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'." (QS. Al-Baqarah: 45)
Ketika kita mengangkat tangan untuk takbiratul ihram, kita seolah-olah sedang "melemparkan" seluruh urusan dunia ke belakang punggung kita dan memfokuskan seluruh jiwa dan raga hanya kepada-Nya. Ketika berdiri, kita menghadap-Nya dengan penuh rasa hormat. Ketika rukuk, kita menundukkan fisik dan ego kita, mengakui keagungan-Nya. Dan puncaknya adalah saat sujud. Dalam posisi sujud, kita meletakkan bagian tubuh kita yang paling mulia, yaitu dahi, di tempat yang paling rendah, yaitu tanah. Ini adalah simbol penyerahan diri total, pengakuan akan kehinaan diri di hadapan kemuliaan-Nya. Dalam posisi inilah seorang hamba berada paling dekat dengan Tuhannya. Shalat lima waktu yang dikerjakan dengan khusyuk adalah laksana oase di tengah padang pasir kehidupan, tempat kita mengisi kembali energi spiritual, membersihkan diri dari dosa-dosa kecil, dan memperbarui komitmen kita kepada Allah.
Doa: Senjata dan Otak Ibadah
Jika shalat adalah komunikasi formal, maka doa adalah percakapan informal yang tulus dari hati. Doa adalah pengakuan akan kelemahan dan ketergantungan kita kepada Allah. Ketika kita mengangkat kedua tangan untuk berdoa, kita sedang menyatakan, "Ya Allah, aku tidak memiliki kekuatan dan daya upaya apa pun kecuali dengan pertolongan-Mu." Doa adalah esensi dari ibadah. Ia adalah jembatan yang menghubungkan keterbatasan kita dengan kemahakuasaan-Nya.
Berdoalah untuk segala hal, baik yang besar maupun yang kecil. Jangan pernah merasa bahwa permintaan kita terlalu sepele bagi Allah. Meminta kepada-Nya untuk hal-hal kecil justru menunjukkan tingkat ketergantungan kita yang tinggi. Berdoalah dengan penuh keyakinan bahwa Allah mendengar dan akan mengabulkan dengan cara yang terbaik menurut ilmu-Nya, bukan menurut keinginan kita. Terkadang, Dia mengabulkan persis seperti yang kita minta. Terkadang, Dia menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Dan terkadang, Dia menundanya untuk diberikan sebagai pahala di akhirat atau untuk menghindarkan kita dari musibah. Namun yang pasti, tidak ada satu pun doa yang sia-sia.
Dzikir: Mengingat Allah di Setiap Keadaan
Dzikir adalah upaya untuk menjaga agar hati senantiasa terhubung dengan Allah di luar waktu shalat. Ia bisa berupa ucapan lisan seperti tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), tahlil (La ilaha illallah), dan takbir (Allahu Akbar), atau bisa juga berupa dzikir hati, yaitu senantiasa menyadari kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap aktivitas.
Dzikir laksana air bagi tanaman iman. Tanpanya, iman akan kering dan mati. Dengan berdzikir, hati menjadi tenang dan tentram. Di tengah kesibukan bekerja, kemacetan di jalan, atau saat sedang bersantai, lidah yang dibasahi dengan dzikrullah akan menjadi perisai dari kelalaian dan perbuatan sia-sia. Dzikir pagi dan petang, misalnya, adalah benteng yang melindungi seorang muslim dari berbagai keburukan sepanjang hari dan malam. Menjadikan dzikir sebagai kebiasaan akan mengubah seluruh hidup kita menjadi ibadah, karena setiap tindakan akan kita mulai dengan nama-Nya dan kita niatkan untuk mencari keridhaan-Nya.
Puasa: Perisai dan Sekolah Ketakwaan
Puasa, terutama di bulan Ramadhan, adalah sebuah madrasah (sekolah) spiritual intensif. Ia bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan lisan dari perkataan buruk, menahan mata dari pandangan yang haram, dan menahan hati dari niat yang kotor. Puasa mengajarkan kita tentang empati, merasakan penderitaan orang-orang yang kekurangan. Ia melatih kita untuk mengendalikan hawa nafsu, yang merupakan musuh terbesar dalam diri manusia. Dengan mengosongkan perut, kita memberi ruang lebih bagi ruhani untuk bersinar. Puasa adalah ibadah yang sangat personal; hanya Allah dan diri kita yang tahu apakah kita benar-benar berpuasa. Oleh karena itu, ia adalah sarana yang sangat efektif untuk melatih keikhlasan.
Zakat dan Sedekah: Membersihkan Harta dan Jiwa
Perjalanan kepada Allah tidak akan lengkap tanpa kepedulian sosial. Zakat dan sedekah adalah manifestasi nyata dari iman. Ia adalah pengakuan bahwa harta yang kita miliki sejatinya adalah titipan dari Allah, dan di dalamnya terdapat hak orang lain. Mengeluarkan sebagian harta untuk mereka yang membutuhkan bukan hanya membantu sesama, tetapi juga membersihkan harta kita dari sifat kikir dan cinta dunia yang berlebihan. Ia adalah wujud rasa syukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Memberi dengan tangan kanan hingga tangan kiri tidak mengetahui adalah puncak keikhlasan yang akan mendatangkan keberkahan yang tidak terduga dan memadamkan murka Allah.
Bab 3: Ujian dan Musibah, Jalan Pintas Menuju-Nya
Banyak orang mengira bahwa jalan menuju Allah adalah jalan yang mulus, lurus, dan bebas hambatan. Kenyataannya, jalan ini seringkali terjal, berliku, dan dipenuhi dengan ujian. Namun, seorang pejalan spiritual sejati memahami bahwa ujian dan musibah bukanlah hukuman atau tanda kebencian Allah. Sebaliknya, ia adalah salah satu cara Allah menunjukkan cinta-Nya. Ujian adalah akselerator, sebuah jalan pintas untuk mendekat kepada-Nya, jika kita mampu menyikapinya dengan benar.
Sabar: Seni Bertahan yang Indah
Ketika dihadapkan pada kesulitan—baik itu sakit, kehilangan orang yang dicintai, kegagalan finansial, atau fitnah—respon pertama yang dituntut dari seorang hamba adalah sabar. Sabar bukanlah sikap pasif, menyerah, dan tidak melakukan apa-apa. Sabar adalah keteguhan hati untuk tetap berada di jalan yang benar, tidak berkeluh kesah secara berlebihan, dan tetap berprasangka baik kepada Allah, sambil terus berikhtiar mencari solusi.
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10)
Ujian laksana api yang memurnikan emas. Ia membakar kotoran-kotoran dosa dan kelemahan dalam diri kita, sehingga yang tersisa adalah iman yang murni dan berkilau. Di saat lapang, kita mungkin merasa kuat dan mandiri. Namun di saat sempit, kita dipaksa untuk mengakui kelemahan kita dan bersimpuh, menadahkan tangan kepada satu-satunya sumber kekuatan, yaitu Allah. Di titik inilah, doa kita menjadi lebih tulus, sujud kita menjadi lebih lama, dan air mata kita menjadi lebih deras. Momen-momen kerapuhan inilah yang seringkali menjadi momen kedekatan yang paling intens dengan Sang Pencipta.
Syukur: Kunci Pembuka Nikmat Tambahan
Sabar dan syukur adalah dua sayap bagi seorang mukmin. Jika sabar adalah respon terhadap musibah, maka syukur adalah respon terhadap nikmat. Dan nikmat Allah tak terhitung jumlahnya. Kita seringkali baru menyadari nikmat sehat ketika sakit, nikmat waktu luang ketika sibuk, dan nikmat kebersamaan ketika sendiri. Syukur bukan hanya ucapan "Alhamdulillah" di lisan. Syukur yang sejati terwujud dalam tiga hal: mengakui nikmat itu datangnya dari Allah di dalam hati, mengucapkannya dengan lisan, dan menggunakan nikmat tersebut untuk ketaatan kepada-Nya. Mata yang kita gunakan untuk membaca Al-Qur'an adalah bentuk syukur. Tangan yang kita gunakan untuk bersedekah adalah bentuk syukur. Akal yang kita gunakan untuk merenungi ciptaan-Nya adalah bentuk syukur. Dengan bersyukur, Allah berjanji akan menambah nikmat-Nya, dan yang lebih penting, hati kita akan dipenuhi dengan kepuasan dan kebahagiaan.
Taubat: Gerbang Kembali yang Selalu Terbuka
Dalam perjalanan menuju Allah, kita pasti akan terjatuh. Kita akan berbuat salah, tergelincir dalam dosa, dan tersesat oleh hawa nafsu. Ini adalah bagian dari kemanusiaan kita. Namun, yang membedakan seorang pejalan sejati bukanlah ia tidak pernah jatuh, melainkan ia selalu bangkit kembali. Proses bangkit kembali ini disebut taubat. Taubat adalah anugerah terindah dari Allah. Ia adalah gerbang rahmat yang tidak pernah tertutup selama nyawa masih di kandung badan.
Taubat yang tulus (taubatan nasuha) memiliki beberapa syarat: menyesali perbuatan dosa yang telah lalu, berhenti dari perbuatan dosa tersebut seketika, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan. Jika dosa itu berkaitan dengan hak sesama manusia, maka harus ditambah dengan mengembalikan hak tersebut atau meminta maaf. Taubat bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan. Ia adalah pengakuan jujur di hadapan Allah, "Ya Allah, aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku." Dan Allah, Sang Al-Ghafur dan At-Tawwab (Maha Penerima Taubat), sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Setiap kali kita kembali kepada-Nya setelah berbuat dosa, kita akan mendapati Dia selalu siap menyambut kita dengan ampunan dan kasih sayang-Nya yang tak terbatas.
Bab 4: Buah Manis Kedekatan dengan Allah
Perjalanan yang panjang dan terkadang melelahkan ini tentu menjanjikan hasil yang sepadan. Buah dari perjalanan kepada Allah bukanlah kekayaan materi, jabatan, atau popularitas, meskipun hal-hal itu bisa saja menjadi bagian darinya. Buah yang sejati bersifat ruhani, tertanam di dalam hati, dan memberikan kebahagiaan hakiki yang tidak bisa dibeli dengan apa pun.
Sakinah (Ketenangan Jiwa)
Inilah buah pertama dan yang paling dicari oleh setiap manusia: ketenangan. Hati yang senantiasa terhubung dengan Allah akan merasakan ketenangan (sakinah) yang luar biasa. Ia tidak mudah gelisah oleh urusan dunia, tidak panik saat menghadapi masalah, dan tidak iri dengan pencapaian orang lain. Ia tahu bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Allah. Ia ridha dengan takdir-Nya dan tawakkal (berserah diri) sepenuhnya setelah berusaha maksimal. Ketenangan ini adalah surga dunia yang Allah segerakan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.
Nur (Cahaya Batin)
Orang yang dekat dengan Allah akan dianugerahi nur atau cahaya di dalam hatinya. Cahaya ini akan membimbingnya dalam mengambil keputusan, memberinya kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah (furqan), dan membuat wajahnya berseri-seri. Perkataannya menjadi lebih bijaksana, perbuatannya lebih terarah, dan kehadirannya memberikan ketenangan bagi orang-orang di sekitarnya.
Mahabbah (Cinta Ilahi)
Puncak dari perjalanan ini adalah cinta. Ketika seorang hamba terus-menerus mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah menyempurnakan yang wajib, Allah akan mencintainya. Ketika Allah telah mencintai seorang hamba, Dia akan menjadi pendengarannya, penglihatannya, dan tangannya. Artinya, seluruh indera dan perbuatannya akan senantiasa berada dalam bimbingan dan perlindungan Allah. Merasakan cinta dari dan kepada Allah adalah tingkat kebahagiaan tertinggi yang bisa dicapai seorang manusia. Cinta inilah yang akan membuat semua ibadah terasa ringan, semua ujian terasa mudah, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya menjadi puncak dari segala harapan.
Kehidupan yang Bermakna
Pada akhirnya, perjalanan kepada Allah memberikan jawaban atas pertanyaan eksistensial terbesar: untuk apa kita hidup? Dengan menjadikan Allah sebagai tujuan, hidup kita tidak lagi kosong dan tanpa arah. Setiap detik menjadi berharga, setiap tindakan memiliki nilai, dan setiap napas adalah kesempatan untuk mengumpulkan bekal. Kita hidup di dunia bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai musafir yang sedang dalam perjalanan pulang. Tujuan kita jelas, peta jalan kita ada (Al-Qur'an dan Sunnah), dan bekal kita adalah takwa. Dengan kesadaran ini, kita akan menjalani hidup dengan penuh semangat, optimisme, dan tujuan yang mulia.
Kesimpulan: Pulang ke Rumah Sejati
Perjalanan "kepada Allah" adalah esensi dari keberadaan kita. Ia dimulai sejak ruh kita ditiupkan dan tidak akan berakhir hingga kita bertemu dengan-Nya. Ia adalah sebuah narasi agung tentang seorang hamba yang merindukan Penciptanya, tentang seorang musafir yang berjalan kembali ke tanah airnya yang abadi. Jalan ini mungkin tidak selalu mudah, tetapi di setiap kelokannya, di setiap tanjakan dan turunannya, rahmat dan pertolongan Allah senantiasa menyertai.
Mari kita mulai perjalanan ini hari ini, saat ini juga. Mari kita kenali Dia melalui ciptaan-Nya, nama-nama-Nya, dan firman-Nya. Mari kita tempuh jalan-Nya melalui shalat yang khusyuk, doa yang tulus, dzikir yang tak putus, dan kepedulian kepada sesama. Mari kita hadapi ujian-Nya dengan sabar dan syukur, dan ketika kita jatuh, mari kita segera bangkit dengan taubat. Karena pada akhirnya, semua jalan akan bermuara kepada-Nya. Kebahagiaan, ketenangan, dan makna sejati hanya akan kita temukan ketika kita menyerahkan seluruh diri kita, dengan segenap cinta dan kerinduan, hanya kepada Allah.
"Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS. Al-Fajr: 27-30)