Kepemilikan properti di Indonesia sering kali melibatkan dua dokumen krusial: Perjanjian Kredit (PK) yang dikeluarkan oleh bank pemberi Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Interaksi antara KPR dan AJB adalah inti dari proses pengalihan hak milik saat pembelian properti melalui pembiayaan bank. Banyak calon pembeli yang masih bingung mengenai kapan AJB dibuat dan bagaimana bank mengamankan hak tanggungan mereka sementara sertifikat masih dalam proses.
Secara ideal, kepemilikan penuh atas tanah dan bangunan dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Hak Guna Bangunan (HGB). Namun, dalam skema KPR, bank memerlukan jaminan yang kuat sebelum dana dicairkan sepenuhnya. Di sinilah peran AJB menjadi sangat penting, terutama jika sertifikat belum terbit atau belum bisa dibalik nama secara langsung.
Visualisasi proses pengamanan aset dalam pembiayaan.
AJB adalah bukti otentik bahwa telah terjadi kesepakatan jual beli properti antara penjual (pemilik lama) dan pembeli (debitur KPR). Namun, dalam konteks KPR, AJB memiliki nuansa tersendiri. Jika properti yang dibeli adalah properti *second* (bekas), AJB harus dibuat dengan melibatkan pembeli, penjual, dan pihak bank.
Bank biasanya mensyaratkan pembuatan AJB dilakukan setelah akad kredit ditandatangani. Namun, bank tidak akan langsung mengajukan balik nama sertifikat menjadi atas nama debitur. Sebaliknya, bank akan memegang dua dokumen penting setelah pencairan dana:
Proses balik nama sertifikat ke nama debitur KPR dan pembebanan Hak Tanggungan (HT) di Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah tahapan yang paling memakan waktu. Dalam skema KPR, terdapat dua skenario umum terkait AJB dan sertifikat:
Meskipun APHT adalah jaminan utama bagi bank yang didaftarkan secara resmi di BPN, AJB tetap krusial dari sudut pandang perdata. AJB membuktikan adanya hubungan hukum antara penjual dan pembeli. Jika terjadi sengketa di kemudian hari yang tidak berhubungan dengan utang piutang ke bank, AJB berfungsi sebagai bukti sah bahwa transaksi jual beli telah terjadi.
Bagi pembeli, memastikan AJB ditandatangani dengan benar di hadapan PPAT (atau setidaknya dilegalisir) adalah langkah mitigasi risiko. Tanpa AJB yang sah, meskipun Anda membayar cicilan KPR, status kepemilikan Anda secara riil masih rentan dibatalkan oleh pihak penjual jika ada celah hukum. KPR dengan AJB yang lengkap adalah sinergi antara keamanan pembiayaan (APHT) dan kepastian transaksi (AJB). Pastikan semua dokumen ini disiapkan oleh notaris yang ditunjuk oleh bank untuk menghindari tumpang tindih kepentingan dan mempercepat proses administrasi.
Kesimpulannya, KPR mengharuskan adanya APHT sebagai jaminan utama. Namun, keberadaan AJB yang sah memastikan bahwa transaksi dasar properti telah tuntas dilakukan antara penjual dan pembeli, menjadikannya fondasi hukum yang kokoh bagi seluruh proses pembiayaan kepemilikan rumah Anda.