Landasan Aksiologi Filsafat Ilmu: Nilai, Etika, dan Tujuan Pengetahuan

Simbol Aksiologi Ilmu: Timbangan dan Struktur Molekul Keseimbangan Nilai Objek Ilmu

Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan ilmiah. Dalam kajiannya, terdapat tiga landasan utama yang saling terkait: ontologi (hakikat objek), epistemologi (hakikat cara memperoleh pengetahuan), dan **aksiologi** (hakikat nilai dan tujuan pengetahuan). Landasan aksiologi adalah pilar yang menentukan mengapa dan untuk apa ilmu pengetahuan itu dicari dan dikembangkan.

Definisi dan Kedudukan Aksiologi

Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, *axios* (nilai) dan *logos* (ilmu atau teori). Secara sederhana, aksiologi filsafat ilmu adalah kajian mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam dan mendasari kegiatan ilmiah. Ia menjawab pertanyaan fundamental: "Apa nilai dari pengetahuan yang kita peroleh?" dan "Bagaimana ilmu seharusnya digunakan?".

Berbeda dengan ontologi yang fokus pada eksistensi (ada atau tidaknya objek) dan epistemologi yang fokus pada cara menjangkau objek (validitas metode), aksiologi menempatkan ilmu dalam konteks moral, etis, dan kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Ilmu tidak pernah steril dari nilai; bahkan dalam proses netralitas ilmiah sekalipun, ada nilai yang dipegang teguh, yaitu objektivitas dan kejujuran intelektual.

Dimensi Nilai dalam Pengetahuan Ilmiah

Aksiologi membagi nilai-nilai yang melekat pada ilmu ke dalam beberapa dimensi utama. Pertama, **nilai intrinsik** ilmu, yaitu nilai yang melekat pada kegiatan mencari kebenaran itu sendiri. Banyak ilmuwan mengejar ilmu murni (*pure science*) karena keyakinan bahwa kebenaran itu sendiri adalah kebaikan tertinggi, terlepas dari aplikasi praktisnya. Ini adalah nilai kebenaran (*truth*) itu sendiri.

Kedua, **nilai ekstrinsik** ilmu, yaitu nilai yang timbul dari kegunaan ilmu tersebut di luar kegiatan ilmiah itu sendiri. Nilai ekstrinsik ini sering dikaitkan dengan kemanfaatan sosial, ekonomi, atau teknologi. Pengetahuan yang menghasilkan teknologi pengobatan baru atau meningkatkan efisiensi energi memiliki nilai ekstrinsik yang tinggi bagi masyarakat. Dalam dimensi ini, ilmu dilihat sebagai alat (*tool*).

Dimensi ketiga yang sangat krusial adalah **nilai etis atau moral**. Ketika ilmuwan menemukan pengetahuan baru—misalnya, dalam bioteknologi atau kecerdasan buatan—mereka harus mempertimbangkan implikasi moral dari penemuan tersebut. Apakah penemuan ini merusak martabat manusia? Apakah dapat digunakan untuk kejahatan? Inilah wilayah di mana filsafat aksiologi berfungsi sebagai kompas moral bagi praktik ilmiah.

Tujuan Hakiki Pengetahuan: Utilitas dan Kesejahteraan

Landasan aksiologi ilmu mendorong diskusi tentang tujuan akhir dari akumulasi pengetahuan. Apakah tujuan ilmu hanya sekadar deskripsi dan prediksi fenomena (seperti yang sering ditekankan dalam positivisme), ataukah tujuan utamanya adalah mencapai kesejahteraan manusia (*human flourishing*)? Banyak pemikir kontemporer berargumen bahwa ilmu harus berorientasi pada pemecahan masalah nyata yang dihadapi umat manusia, seperti kemiskinan, penyakit, dan kerusakan lingkungan.

Perdebatan antara ilmu yang berorientasi pada nilai (*value-laden*) dan ilmu yang bebas nilai (*value-free*) menjadi inti perbincangan aksiologis. Meskipun metode ilmiah berusaha keras untuk mempertahankan objektivitas dalam menemukan fakta, pemilihan topik penelitian, sumber pendanaan, dan cara hasil penelitian dikomunikasikan semuanya dipengaruhi oleh pandangan nilai si peneliti atau institusi yang menaunginya.

Aksiologi sebagai Pengontrol Ilmu

Tanpa landasan aksiologi yang kuat, ilmu pengetahuan berisiko menjadi kekuatan destruktif. Sejarah mencatat bagaimana penemuan ilmiah yang dahsyat, seperti energi atom, dapat disalahgunakan jika nilai-nilai kemanusiaan tidak menjadi prioritas utama dalam penerapannya. Oleh karena itu, aksiologi filsafat ilmu berfungsi sebagai pengontrol normatif.

Fungsi kontrol ini menuntut ilmuwan untuk senantiasa merefleksikan tanggung jawab mereka. Mereka harus memastikan bahwa pengetahuan yang mereka hasilkan tidak hanya benar (epistemologis) dan nyata (ontologis), tetapi juga baik dan bermanfaat (aksiologis). Integrasi nilai-nilai kemanusiaan ke dalam setiap tahap penelitian adalah manifestasi paling konkret dari landasan aksiologi dalam praksis ilmiah modern.

🏠 Homepage