Memelihara Kucing dalam Pandangan Islam

Ilustrasi siluet seekor kucing yang anggun, melambangkan keharmonisan dan kasih sayang terhadap makhluk ciptaan Allah.

Islam, sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam), tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun minallah) dan hubungan antar sesama manusia (hablun minannas), tetapi juga memberikan panduan tentang bagaimana berinteraksi dengan makhluk lain, termasuk hewan. Di antara sekian banyak hewan, kucing memiliki tempat yang istimewa dalam tradisi Islam. Hewan ini sering kali berkeliaran di sekitar kita, di rumah, masjid, dan pasar, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari umat Muslim di berbagai belahan dunia.

Memelihara kucing dalam Islam bukan sekadar hobi atau kebiasaan, melainkan sebuah cerminan dari sifat kasih sayang, belas kasihan, dan tanggung jawab yang diajarkan oleh agama. Pandangan Islam terhadap kucing sangatlah positif, didasarkan pada hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, kisah para sahabat, dan pandangan para ulama. Artikel ini akan mengupas tuntas segala aspek terkait memelihara kucing dalam Islam, mulai dari kedudukannya dalam sejarah, hukum fiqihnya, hingga adab dan hikmah di baliknya.

Kedudukan Kucing dalam Sejarah dan Tradisi Islam

Sejak zaman Rasulullah SAW, kucing telah menjadi hewan yang akrab dengan kehidupan umat Islam. Kehadiran mereka tidak dianggap mengganggu, bahkan sering kali disambut dengan penuh kelembutan. Status istimewa ini berakar dari perlakuan Nabi Muhammad SAW sendiri dan para sahabatnya terhadap hewan menggemaskan ini.

Muezza, Kucing Kesayangan Nabi Muhammad SAW

Meskipun riwayat mengenai nama "Muezza" tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits primer seperti Shahih Bukhari atau Muslim, kisah tentang kecintaan Nabi Muhammad SAW terhadap kucing sangatlah masyhur dan diterima secara luas dalam tradisi lisan dan tulisan ulama-ulama setelahnya. Kisah yang paling terkenal adalah ketika Nabi hendak mengambil jubahnya untuk shalat, beliau mendapati kucing kesayangannya sedang tertidur pulas di atas lengan jubah tersebut.

Alih-alih membangunkan atau mengusir kucing itu, Rasulullah SAW dengan penuh kelembutan memilih untuk memotong bagian lengan jubahnya, membiarkan sang kucing tetap tidur dengan tenang. Beliau tidak ingin mengganggu istirahat makhluk kecil itu. Sekembalinya dari shalat, diceritakan bahwa kucing tersebut terbangun dan menundukkan kepalanya kepada Nabi, seolah-olah berterima kasih. Nabi pun membalasnya dengan mengelus punggung kucing itu sebanyak tiga kali.

Kisah ini, terlepas dari perdebatan mengenai sanadnya, mengilustrasikan puncak dari sifat rahmah (kasih sayang) yang dimiliki oleh Rasulullah SAW. Perbuatan beliau menjadi teladan abadi bahwa kenyamanan seekor hewan pun patut dihargai. Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan empati yang mendalam tidak hanya kepada manusia, tetapi kepada seluruh ciptaan Allah.

Sahabat Nabi dan Para Ulama Pencinta Kucing

Kecintaan terhadap kucing tidak hanya terbatas pada Nabi Muhammad SAW. Salah seorang sahabat yang paling terkenal dalam hal ini adalah Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausi, yang lebih dikenal dengan julukan Abu Hurairah. Nama "Abu Hurairah" sendiri berarti "Bapak Kucing Kecil". Julukan ini diberikan langsung oleh Rasulullah SAW karena kebiasaannya yang selalu membawa dan menyayangi seekor anak kucing ke mana pun ia pergi, bahkan sering kali menyimpannya di lengan bajunya.

Abu Hurairah sangat bangga dengan julukan tersebut dan lebih suka dipanggil dengannya daripada nama aslinya. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi positif dengan kucing adalah sesuatu yang terhormat dan sama sekali bukan hal yang tercela di kalangan para sahabat. Kisah Abu Hurairah menjadi bukti kuat bahwa memelihara dan menyayangi kucing adalah bagian dari praktik kehidupan generasi Muslim terbaik.

Tradisi ini berlanjut di kalangan para ulama dan cendekiawan Muslim selama berabad-abad. Banyak ulama besar dikenal memiliki kucing sebagai teman di perpustakaan mereka. Kucing-kucing ini tidak hanya menjadi teman yang menenangkan, tetapi juga memiliki fungsi praktis, yaitu melindungi naskah-naskah dan kitab-kitab berharga dari kerusakan akibat tikus. Kucing dianggap sebagai penjaga ilmu yang setia. Dalam banyak manuskrip kuno, terkadang ditemukan jejak kaki kucing, menjadi saksi bisu keakraban antara dunia ilmu dan hewan yang suci ini.

Hukum Fiqih Seputar Memelihara Kucing

Setelah memahami kedudukannya dalam sejarah, penting untuk mengkaji bagaimana fiqih Islam mengatur interaksi dengan kucing. Fiqih memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai status kesucian kucing dan hal-hal yang berkaitan dengannya, yang sangat relevan bagi setiap Muslim yang memelihara atau berinteraksi dengan kucing.

Hukum Dasar Memelihara Kucing

Hukum asal (dasar) memelihara kucing dalam Islam adalah mubah atau diperbolehkan. Tidak ada satu pun dalil dalam Al-Qur'an maupun Hadits yang melarangnya. Bahkan, jika memelihara kucing didasari niat untuk meneladani Rasulullah SAW, memberikan kasih sayang kepada makhluk Allah, dan menjadikannya sebagai sarana untuk mendapatkan pahala, maka perbuatan yang asalnya mubah ini bisa bernilai ibadah dan dianjurkan (mandub/mustahab).

Dasar dari kebolehan ini adalah prinsip umum dalam Islam yang melarang perbuatan menyakiti hewan dan justru memerintahkan untuk berbuat baik kepada mereka. Memelihara kucing dengan memberinya makan, minum, dan tempat tinggal yang layak adalah bentuk nyata dari perbuatan baik tersebut.

Kesucian Kucing: Bukan Hewan Najis

Salah satu poin fiqih terpenting adalah status kesucian kucing. Berbeda dengan anjing, yang air liurnya dianggap najis berat (mughallazhah) oleh mayoritas ulama, kucing dianggap sebagai hewan yang suci. Dasarnya adalah sebuah hadits yang sangat jelas dari Kabsyah binti Ka'ab bin Malik.

"Diceritakan bahwa Abu Qatadah masuk menemuinya (Kabsyah), lalu ia menuangkan air wudhu untuknya. Tiba-tiba datang seekor kucing dan minum dari bejana tersebut. Abu Qatadah membiarkan kucing itu minum hingga puas. Kabsyah berkata, 'Ia melihatku memperhatikannya, lalu bertanya, 'Apakah engkau heran, wahai putri saudaraku?' Aku menjawab, 'Ya.' Ia berkata, 'Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda tentang kucing: 'Ia tidaklah najis. Sesungguhnya ia adalah termasuk hewan yang berkeliaran di sekeliling kalian (thawwafin 'alaikum).''" (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah. Hadits ini disahihkan oleh Imam Tirmidzi dan Syaikh Al-Albani).

Hadits ini adalah pilar utama dalam menetapkan hukum kesucian kucing. Frasa "thawwafin 'alaikum" menunjukkan alasan ('illah) hukumnya: karena kucing adalah hewan yang secara alami hidup berdampingan dan sering berinteraksi dengan manusia di rumah, sulit untuk dihindari. Allah dengan rahmat-Nya memberikan keringanan dengan menetapkan bahwa kucing tidaklah najis, sehingga tidak menyulitkan umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal ibadah seperti shalat dan wudhu.

Air Liur dan Bekas Minum Kucing

Berdasarkan hadits di atas, para ulama dari empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) sepakat bahwa air liur kucing adalah suci. Konsekuensinya, air atau makanan yang telah dijilat atau diminum oleh kucing tetap dalam keadaan suci dan boleh digunakan. Jika seekor kucing minum dari bejana berisi air wudhu, air tersebut tetap sah untuk digunakan bersuci. Jika ia menjilat makanan, makanan itu tetap halal untuk dimakan, selama tidak ada zat najis lain yang menempel di mulut kucing tersebut.

Kotoran dan Air Kencing Kucing

Penting untuk dibedakan antara status kesucian tubuh kucing dengan kotorannya. Meskipun tubuh, bulu, keringat, dan air liur kucing dianggap suci, para ulama sepakat bahwa air kencing, kotoran (feses), dan darahnya adalah najis. Ini sama seperti hewan lainnya yang dagingnya tidak dimakan (meskipun ada perbedaan pendapat tentang hewan yang dagingnya halal). Oleh karena itu, seorang Muslim wajib membersihkan tempat atau pakaian yang terkena kotoran atau air kencing kucing sebelum digunakan untuk shalat, sesuai dengan kaidah bersuci dari najis (thaharah).

Hukum Jual Beli Kucing

Masalah jual beli kucing adalah salah satu topik yang memiliki perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama. Perbedaan ini muncul dari interpretasi terhadap hadits berikut:

Dari Abu Az-Zubair, ia berkata, "Aku bertanya kepada Jabir tentang harga anjing dan kucing. Ia menjawab, 'Nabi SAW melarang hal tersebut.'" (HR. Muslim).

Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama, terutama dari mazhab Zhahiri dan sebagian ulama Hanbali, berpendapat bahwa jual beli kucing hukumnya haram secara mutlak. Mereka memahami larangan tersebut sebagai larangan yang bersifat mengharamkan.

Namun, mayoritas ulama (jumhur) dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i memiliki pandangan yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa larangan dalam hadits tersebut tidak sampai pada tingkat haram, melainkan bersifat makruh tanzih (dibenci, namun tidak berdosa). Alasannya antara lain:

Oleh karena itu, menurut pandangan jumhur, jual beli kucing diperbolehkan meskipun lebih utama untuk menghibahkannya. Namun, jika ada kebutuhan atau tujuan yang jelas, seperti untuk memelihara ras tertentu, maka transaksinya dianggap sah.

Adab dan Tanggung Jawab Pemilik Kucing

Memelihara kucing bukan hanya soal hukum boleh atau tidak boleh. Lebih dari itu, ia adalah sebuah amanah dan tanggung jawab. Islam menetapkan adab-adab yang harus dipenuhi oleh seorang pemilik untuk memastikan kesejahteraan hewan peliharaannya. Melalaikan tanggung jawab ini dapat berakibat dosa besar.

Memberi Makan dan Minum yang Cukup

Ini adalah tanggung jawab yang paling mendasar. Seorang pemilik wajib memastikan kucingnya mendapatkan makanan dan minuman yang cukup dan layak. Kelalaian dalam hal ini diancam dengan siksa neraka, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sangat keras:

"Seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang dikurungnya sampai mati. Ia masuk neraka karenanya. Ia tidak memberinya makan dan minum saat mengurungnya, dan tidak pula melepaskannya sehingga ia bisa memakan serangga di tanah." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menjadi peringatan yang sangat tegas bahwa menelantarkan hewan hingga kelaparan atau kehausan adalah dosa besar. Ini menunjukkan betapa Islam sangat menjunjung tinggi hak hidup dan kesejahteraan makhluk lain.

Menyediakan Tempat Tinggal yang Layak

Selain makanan, pemilik juga bertanggung jawab menyediakan tempat berlindung yang aman dan nyaman bagi kucing. Tempat tersebut harus melindunginya dari panas yang menyengat, hujan, dan cuaca dingin yang ekstrem. Kucing juga harus dilindungi dari bahaya lain, seperti predator atau kendaraan di jalan raya jika memungkinkan.

Menjaga Kesehatan dan Kebersihan

Berbuat baik (ihsan) kepada hewan juga mencakup menjaga kesehatannya. Jika kucing sakit, pemilik hendaknya berusaha untuk mengobatinya dengan membawanya ke dokter hewan. Menjaga kebersihan kucing dan lingkungannya, seperti membersihkan kandang atau kotak pasirnya secara teratur, juga merupakan bagian dari tanggung jawab. Lingkungan yang bersih tidak hanya baik untuk kesehatan kucing, tetapi juga untuk kesehatan penghuni rumah.

Larangan Menyakiti dan Menganiaya

Islam secara tegas melarang segala bentuk kekejaman terhadap hewan. Memukul, menendang, menyiksa, atau melakukan perbuatan keji lainnya terhadap kucing adalah perbuatan yang haram dan dilaknat. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Barangsiapa yang menyayangi (makhluk lain) meskipun seekor binatang sembelihan, niscaya Allah akan merahmatinya pada hari kiamat." (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).

Larangan ini juga mencakup hal-hal seperti menjadikan hewan sebagai sasaran latihan memanah atau olahraga kejam lainnya. Setiap tindakan yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu pada hewan adalah pelanggaran terhadap prinsip kasih sayang dalam Islam.

Hukum Sterilisasi (Kebiri) Kucing

Sterilisasi atau kebiri adalah isu kontemporer yang juga dibahas oleh para ulama. Ada dua pandangan utama mengenai hal ini:

  1. Pandangan yang Melarang atau Memakruhkan: Sebagian ulama berpendapat bahwa sterilisasi adalah bentuk dari mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) dan menghilangkan kemampuan reproduksi yang merupakan fitrah hewan. Oleh karena itu, hukumnya makruh atau bahkan haram jika tanpa alasan yang dibenarkan.
  2. Pandangan yang Membolehkan: Ini adalah pandangan mayoritas ulama kontemporer. Mereka membolehkan sterilisasi jika ada maslahat (kebaikan) yang lebih besar dan untuk menghindari mudharat (keburukan). Alasan yang diterima antara lain:
    • Mengontrol Populasi: Mencegah perkembangbiakan kucing yang tidak terkendali, yang dapat menyebabkan banyak anak kucing terlantar, kelaparan, atau menjadi korban kekejaman.
    • Kesehatan Hewan: Sterilisasi terbukti dapat mencegah berbagai penyakit berbahaya pada kucing, seperti kanker rahim atau testis, serta mengurangi perilaku agresif atau berkeliaran yang membahayakan.
    • Kenyamanan Pemilik: Mengurangi masalah yang timbul saat kucing memasuki masa birahi, seperti menyemprotkan urin berbau tajam atau berisik.
Dengan mempertimbangkan maslahat tersebut, banyak lembaga fatwa modern yang membolehkan sterilisasi, dengan syarat tindakan tersebut dilakukan oleh ahli (dokter hewan) dan tidak menyebabkan penyiksaan yang tidak perlu pada hewan.

Hikmah dan Keutamaan Memelihara Kucing

Di balik hukum dan adab, terdapat banyak hikmah dan keutamaan spiritual maupun psikologis dari memelihara kucing. Perbuatan ini bisa menjadi ladang pahala dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sarana Meraih Pahala dan Ampunan

Berbuat baik kepada makhluk apa pun di muka bumi akan diganjar pahala oleh Allah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menceritakan tentang seorang laki-laki yang memberi minum seekor anjing yang kehausan, lalu Allah mengampuni dosa-dosanya. Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapat pahala karena berbuat baik kepada hewan?" Beliau menjawab:

"Pada setiap yang memiliki hati yang basah (makhluk hidup), ada pahala." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini berlaku umum untuk semua hewan, termasuk kucing. Memberi makan kucing jalanan yang kelaparan, merawat kucing yang sakit, atau sekadar mengelusnya dengan penuh kasih sayang, semuanya adalah perbuatan yang berpotensi mendatangkan pahala dan rahmat dari Allah.

Meneladani Sifat Kasih Sayang Rasulullah SAW

Dengan memelihara kucing dan memperlakukannya dengan baik, seorang Muslim secara langsung meneladani akhlak mulia Nabi Muhammad SAW. Ini adalah salah satu cara untuk mempraktikkan sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari, yaitu menyebarkan kasih sayang kepada seluruh makhluk. Cinta kepada ciptaan adalah cerminan dari cinta kepada Sang Pencipta.

Mengajarkan Empati dan Tanggung Jawab

Memelihara hewan, terutama bagi anak-anak, adalah sarana pendidikan karakter yang sangat efektif. Anak-anak belajar tentang empati, yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan makhluk lain. Mereka juga belajar tentang tanggung jawab, disiplin dalam memberi makan, dan pentingnya menjaga kebersihan. Nilai-nilai ini akan membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih peka dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya.

Terapi dan Penenang Jiwa

Dari sisi psikologis, interaksi dengan hewan peliharaan seperti kucing telah terbukti secara ilmiah dapat mengurangi stres, menurunkan tekanan darah, dan meredakan perasaan cemas serta kesepian. Dengkuran kucing memiliki efek menenangkan. Kehadiran mereka sebagai teman yang setia di rumah dapat memberikan ketenangan batin. Dalam perspektif Islam, ketenangan (sakinah) adalah anugerah dari Allah, dan memelihara kucing bisa menjadi salah satu wasilah (perantara) untuk mendapatkannya.

Kesimpulan

Memelihara kucing dalam Islam adalah sebuah perbuatan yang sangat dianjurkan dan sarat dengan nilai-nilai luhur. Kucing bukanlah sekadar hewan, ia adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki hak untuk dihormati, disayangi, dan diperlakukan dengan baik. Statusnya yang suci dan tidak najis memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk hidup berdampingan dengannya tanpa was-was dalam urusan ibadah.

Lebih dari sekadar hewan peliharaan, kucing adalah cerminan dari sifat welas asih seorang Muslim. Tanggung jawab untuk memberinya makan, minum, tempat tinggal, dan perawatan kesehatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Dengan memelihara kucing, kita tidak hanya mendapatkan teman yang menyenangkan di dunia, tetapi juga membuka pintu-pintu pahala, ampunan, dan rahmat dari Allah SWT. Ini adalah wujud nyata dari ajaran Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

🏠 Homepage