Nabi Idris AS: Sang Utusan Pembawa Peradaban Ilmu
Dalam hamparan sejarah kemanusiaan yang panjang, terdapat nama-nama agung yang diutus oleh Allah SWT sebagai pembawa petunjuk dan rahmat. Mereka adalah para nabi dan rasul, pilar-pilar keimanan yang meneguhkan tauhid di muka bumi. Di antara mereka, tersebutlah seorang nabi yang diberikan kedudukan yang sangat tinggi, seorang utusan yang menjadi pelopor ilmu pengetahuan dan peradaban. Dialah Nabi Idris 'Alaihissalam, sosok yang namanya diabadikan dalam Al-Qur'an sebagai pribadi yang sabar, jujur, dan ditinggikan martabatnya. Kisah hidupnya bukan hanya sekadar narasi masa lalu, melainkan lautan hikmah yang relevan sepanjang zaman. Nabi Idris adalah utusan yang membawa risalah tauhid seraya meletakkan dasar-dasar pengetahuan yang fundamental bagi kemajuan umat manusia.
Memahami perjalanan Nabi Idris adalah menyelami sebuah era di mana manusia mulai membangun komunitas yang lebih kompleks setelah masa Nabi Adam AS dan putranya, Syits AS. Pada masa itulah, Allah SWT mengutus Idris AS untuk melanjutkan estafet dakwah, mengingatkan kembali manusia akan perjanjian mereka dengan Sang Pencipta. Namun, misinya tidak berhenti pada seruan spiritual semata. Allah menganugerahinya karunia luar biasa berupa kecerdasan dan kemampuan untuk menguasai berbagai bidang ilmu. Dialah nabi yang pertama kali mengenalkan tulisan, menjahit pakaian, serta memahami pergerakan benda-benda langit. Kehadirannya menjadi titik tolak penting, di mana iman dan ilmu pengetahuan berjalan beriringan, membuktikan bahwa agama Allah tidak pernah bertentangan dengan akal sehat dan kemajuan.
Nasab Mulia dan Kelahiran Sang Pembelajar
Nabi Idris AS berasal dari garis keturunan yang suci, bersambung langsung kepada manusia pertama, Nabi Adam AS. Para ahli sejarah dan tafsir sepakat bahwa nasabnya adalah Idris bin Yarid bin Mahla'il bin Qainan bin Anusy bin Syits bin Adam. Ia adalah generasi keenam dari Nabi Adam, lahir dari jalur kenabian yang diberkahi. Nama "Idris" sendiri diyakini berasal dari kata Arab "darasa" (دَرَسَ), yang berarti belajar, mempelajari, atau mengkaji. Penamaan ini bukanlah kebetulan, melainkan cerminan dari karakternya yang luar biasa. Sejak belia, ia menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap ilmu. Ia tekun mempelajari suhuf atau lembaran-lembaran wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Adam dan Nabi Syits. Kegigihannya dalam belajar inilah yang membuat namanya begitu lekat dengan esensi pengetahuan.
Ia tumbuh di tengah kaum yang mulai melupakan ajaran murni tauhid. Meskipun ajaran dari Nabi Adam dan Syits masih ada, sebagian manusia mulai tergelincir ke dalam kelalaian dan praktik-praktik yang menyimpang. Mereka mulai disibukkan oleh urusan duniawi dan perlahan meninggalkan esensi ibadah kepada Allah Yang Maha Esa. Di tengah kondisi inilah, Idris AS hadir sebagai sosok yang berbeda. Ia tidak hanya menjadi seorang pembelajar yang ulung, tetapi juga seorang hamba yang sangat taat. Siang harinya diisi dengan berdakwah dan bekerja, mengajarkan kebaikan kepada sesama, sementara malam-malamnya dihidupkan dengan shalat, zikir, dan munajat kepada Allah SWT. Akhlaknya yang mulia, kejujurannya yang tak tercela, dan kesabarannya yang luar biasa menjadikannya teladan bagi masyarakat di sekitarnya, bahkan sebelum ia diangkat secara resmi menjadi seorang nabi.
Karakter Agung dan Sifat-sifat Terpuji
Allah SWT memuji Nabi Idris AS di dalam Al-Qur'an bukan tanpa sebab. Ia adalah manifestasi dari karakter seorang utusan yang ideal. Salah satu sifatnya yang paling menonjol adalah kesabarannya. Dalam berdakwah, ia menghadapi berbagai tantangan. Ada yang menerima dengan tangan terbuka, namun tidak sedikit pula yang menolak, mencemooh, bahkan memusuhinya. Namun, semua itu dihadapinya dengan ketenangan dan kesabaran yang tak tergoyahkan. Ia tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, melainkan terus menyeru dengan hikmah dan nasihat yang baik. Kesabarannya ini disebutkan secara eksplisit dalam firman-Nya, "Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Zulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar." (QS. Al-Anbiya': 85).
Selain sabar, ia dikenal sebagai pribadi yang sangat jujur (shiddiq). Setiap perkataannya adalah kebenaran, dan setiap janjinya selalu ditepati. Integritasnya ini menjadikannya figur yang sangat dihormati dan dipercaya. Gelar shiddiqan nabiyya (seorang yang sangat benar, lagi seorang nabi) yang disematkan kepadanya dalam Al-Qur'an (QS. Maryam: 56) adalah bukti pengakuan tertinggi atas kejujurannya. Ia juga seorang yang pemberani, tak pernah gentar dalam menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman. Beberapa riwayat bahkan menyebutnya sebagai "Asad al-Usud" atau "Singa dari segala singa" karena keberaniannya dalam memimpin kaumnya untuk memerangi kebatilan dan kerusakan.
Sifat agung lainnya adalah rasa syukurnya yang mendalam atas setiap nikmat Allah. Ia tidak pernah lalai untuk berzikir dan memuji Tuhannya. Diriwayatkan bahwa setiap tarikan napasnya diiringi dengan tasbih. Setiap kali ia menjahit pakaian, setiap tusukan jarumnya diiringi dengan ucapan syukur kepada Allah. Sikap ini mengajarkan kita bahwa ibadah tidak terbatas pada ritual formal, tetapi bisa menyatu dalam setiap aktivitas keseharian. Kerendahan hatinya, ketekunannya dalam beribadah, dan kecintaannya yang tulus kepada Sang Pencipta adalah fondasi yang membuatnya layak menerima kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT.
Pelopor Ilmu Pengetahuan dan Peradaban
Keistimewaan Nabi Idris AS yang paling membedakannya adalah perannya sebagai peletak dasar berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Allah menganugerahinya mukjizat berupa kecerdasan untuk memahami dan mengajarkan hal-hal yang belum pernah dikenal oleh manusia sebelumnya. Kontribusinya ini mengubah wajah peradaban manusia secara fundamental.
1. Manusia Pertama yang Menulis dengan Pena
Sebelum masa Nabi Idris, ilmu pengetahuan dan ajaran agama ditransmisikan secara lisan dari generasi ke generasi. Hal ini memiliki keterbatasan dan rentan terhadap perubahan atau kelupaan. Nabi Idris AS adalah manusia pertama yang dianugerahi kemampuan untuk menulis menggunakan pena (qalam). Ini adalah sebuah revolusi peradaban. Dengan tulisan, ilmu pengetahuan dapat dicatat, diarsipkan, dan disebarkan secara lebih akurat dan luas. Ajaran-ajaran tauhid, hukum-hukum, dan hikmah dapat dipelihara keasliannya. Penemuan tulisan membuka gerbang bagi lahirnya administrasi, pencatatan sejarah, penyusunan undang-undang, dan perkembangan sastra. Ini adalah anugerah besar yang dampaknya terasa hingga hari ini, di mana seluruh peradaban modern dibangun di atas fondasi kemampuan baca-tulis.
2. Keahlian Menjahit dan Berpakaian
Sebelumnya, manusia menutupi tubuh mereka dengan kulit binatang seadanya. Pakaian masih bersifat sangat sederhana dan fungsional semata. Nabi Idris AS adalah orang pertama yang mengajarkan cara mengolah serat, memintal benang, menenun kain, lalu memotong dan menjahitnya menjadi pakaian yang rapi dan indah. Ia mengenalkan konsep busana yang tidak hanya berfungsi sebagai penutup aurat dan pelindung tubuh dari cuaca, tetapi juga sebagai cerminan keindahan dan kesopanan. Setiap kali jarumnya menusuk kain, ia senantiasa berzikir, menunjukkan bahwa pekerjaan tangan yang bermanfaat adalah salah satu bentuk ibadah. Keahlian ini meningkatkan kualitas hidup manusia, memberikan martabat, dan mengajarkan tentang kebersihan dan kerapian.
3. Penguasaan Ilmu Falak (Astronomi)
Nabi Idris AS diberi pemahaman mendalam tentang pergerakan benda-benda langit. Ia mempelajari matahari, bulan, dan bintang-bintang bukan untuk meramal nasib—praktik yang dilarang—melainkan untuk memahami keteraturan alam semesta sebagai bukti kebesaran Allah SWT. Melalui pengamatannya, ia mengajarkan kepada kaumnya cara menentukan waktu, mengenali perubahan musim untuk keperluan pertanian, dan menggunakan rasi bintang sebagai penunjuk arah di darat dan laut. Ilmu falak yang diajarkannya adalah astronomi murni yang berbasis pada observasi dan perhitungan matematis. Ia meletakkan dasar bagi ilmu navigasi dan kalender, yang sangat krusial bagi perkembangan masyarakat yang menetap maupun nomaden. Ini adalah contoh sempurna bagaimana sains dan iman dapat berjalan selaras, di mana pengamatan alam justru semakin mempertebal keyakinan kepada Sang Maha Pencipta.
4. Peletak Dasar Tata Kota dan Pemerintahan
Seiring dengan bertambahnya populasi manusia, kebutuhan akan tatanan sosial yang teratur menjadi semakin mendesak. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi Idris AS membagi wilayah di bumi menjadi beberapa zona dan menempatkan seorang pemimpin di setiap zona untuk menegakkan keadilan dan mengatur kehidupan masyarakat. Ia merancang kota-kota dengan sistem yang terorganisir, mengajarkan prinsip-prinsip keadilan dalam pemerintahan, dan membuat aturan-aturan untuk menjaga ketertiban umum. Ia adalah seorang pemimpin yang visioner, yang memahami pentingnya struktur sosial yang adil dan efisien untuk kemaslahatan bersama. Ia mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah amanah untuk melayani umat, bukan untuk mencari kekuasaan atau keuntungan pribadi.
Dakwah Tauhid: Seruan Kembali ke Jalan yang Lurus
Inti dari semua ilmu dan keahlian yang dimiliki Nabi Idris AS adalah untuk menopang misi utamanya sebagai seorang utusan Allah: mengajak manusia kembali menyembah Allah Yang Maha Esa. Risalahnya sederhana namun fundamental: tauhid murni. Ia menyeru kaumnya untuk meninggalkan segala bentuk penyimpangan dan kembali kepada ajaran yang lurus, yaitu ajaran yang dibawa oleh Nabi Adam dan Nabi Syits. Dakwahnya mencakup beberapa pilar utama.
Pertama, pengesaan Allah dalam ibadah. Ia mengingatkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dipuja, dan dimintai pertolongan. Tidak ada perantara, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kedua, ia mengajarkan tentang pentingnya membersihkan hati dari sifat-sifat tercela seperti kesombongan, iri dengki, dan cinta dunia yang berlebihan. Menurutnya, kesalehan sejati bermula dari hati yang bersih. Ketiga, ia menekankan pentingnya menegakkan keadilan sosial. Ia memerintahkan kaumnya untuk berbuat adil dalam timbangan, menunaikan hak orang lain, membantu kaum yang lemah, dan menyantuni anak yatim.
Metode dakwahnya penuh dengan hikmah. Ia menggunakan argumen yang logis, memanfaatkan pengetahuannya tentang alam semesta untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah. Ia menjadi teladan hidup, di mana setiap perbuatannya mencerminkan apa yang ia ucapkan. Namun, seperti para nabi lainnya, dakwahnya tidak selalu berjalan mulus. Ia menghadapi penolakan dari sekelompok orang yang telah terbiasa dengan kemaksiatan dan kezaliman. Terhadap mereka yang menentang secara terbuka dan menyebarkan kerusakan, Nabi Idris AS menunjukkan ketegasannya. Ia menjadi nabi pertama yang diizinkan untuk berperang (jihad) melawan kaum yang zalim dan membangkang, demi melindungi kaum beriman dan menegakkan hukum Allah di muka bumi.
"Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi."
Pengangkatan ke Martabat yang Tinggi
Puncak dari kisah kehidupan Nabi Idris AS adalah peristiwa agung yang disebutkan dalam Al-Qur'an, yaitu pengangkatannya ke "martabat yang tinggi" (makaanan 'aliyyan). Ayat ini telah melahirkan berbagai penafsiran di kalangan para ulama tafsir, yang semuanya menunjukkan kemuliaan luar biasa yang Allah berikan kepadanya. Sebagian ulama menafsirkan "martabat yang tinggi" ini sebagai kedudukan kenabian yang agung, akhlaknya yang luhur, dan derajatnya yang mulia di sisi Allah dan di mata manusia. Ini adalah pengangkatan secara maknawi, sebuah pengakuan atas kesempurnaan iman dan amalnya.
Namun, ada penafsiran lain yang lebih populer dan didukung oleh beberapa hadis serta riwayat dari para sahabat dan tabi'in. Penafsiran ini menyatakan bahwa Nabi Idris AS diangkat secara fisik ke langit oleh Allah SWT. Kisah yang masyhur menceritakan tentang persahabatannya dengan seorang malaikat, yang atas izin Allah, membawanya berkelana melihat keajaiban langit. Salah satu riwayat yang paling terkenal adalah dialognya dengan Malaikat Maut. Dikisahkan bahwa Nabi Idris AS ingin merasakan sakaratul maut, lalu dihidupkan kembali agar rasa takutnya kepada Allah semakin bertambah. Atas izin Allah, permintaannya dikabulkan.
Selanjutnya, ia meminta untuk diperlihatkan neraka, agar ia semakin menjauhinya. Permintaan ini pun diizinkan. Melihat dahsyatnya siksa neraka, ia semakin bertambah khusyuk dalam ibadahnya. Terakhir, ia meminta untuk melihat surga, sebagai motivasi untuk meraih ridha Allah. Ketika ia telah memasuki surga dan menikmati keindahannya, Malaikat Maut memintanya untuk keluar. Namun, Nabi Idris AS enggan. Ia berargumen dengan tiga dalil dari firman Allah: pertama, bahwa setiap jiwa pasti akan merasakan mati (dan ia telah merasakannya); kedua, bahwa setiap orang pasti akan mendatangi neraka (dan ia telah melihatnya); dan ketiga, bahwa siapa pun yang telah masuk surga tidak akan dikeluarkan lagi darinya. Atas kehendak Allah, argumennya diterima, dan ia pun tetap berada di surga. Sebagian riwayat lain menyebutkan ia diangkat ke langit keempat. Terlepas dari detail riwayatnya, inti dari peristiwa ini adalah sama: Nabi Idris AS dianugerahi sebuah kemuliaan yang luar biasa, diangkat oleh Allah ke tempat yang agung sebagai balasan atas ketaatan dan kesalehan hidupnya.
Warisan dan Pelajaran Abadi
Kisah Nabi Idris AS bukanlah sekadar cerita pengantar tidur. Ia adalah sumber inspirasi dan pelajaran yang tak lekang oleh waktu. Dari perjalanannya, kita dapat memetik hikmah-hikmah berharga. Pertama, pentingnya ilmu pengetahuan dalam Islam. Kisah Nabi Idris membantah anggapan bahwa agama dan sains adalah dua hal yang bertentangan. Justru, ia menunjukkan bahwa pencarian ilmu—baik ilmu agama maupun ilmu dunia—adalah sebuah perintah suci, sebuah cara untuk lebih mengenal keagungan Sang Pencipta dan untuk memberikan manfaat bagi sesama manusia. Seorang mukmin didorong untuk menjadi insan yang cerdas, terampil, dan inovatif.
Kedua, integrasi antara iman, ilmu, dan amal. Nabi Idris tidak hanya beriman dan berilmu, tetapi ia mengamalkan keduanya dalam kehidupan nyata. Ilmunya tentang menjahit ia gunakan untuk memajukan peradaban. Ilmunya tentang astronomi ia gunakan untuk membantu navigasi dan pertanian. Ilmunya tentang tulis-menulis ia gunakan untuk melestarikan wahyu. Ini adalah pelajaran bahwa ilmu yang sejati adalah ilmu yang menghasilkan karya nyata dan memberikan solusi bagi permasalahan umat manusia.
Ketiga, keteguhan dan kesabaran dalam berdakwah. Perjuangan Nabi Idris mengajarkan bahwa jalan kebenaran tidak selalu mulus. Akan selalu ada tantangan, penolakan, dan rintangan. Namun, seorang dai harus memiliki kesabaran setegar karang dan keyakinan yang tak tergoyahkan, serta terus menyeru dengan cara yang paling bijaksana.
Pada akhirnya, kisah Nabi Idris AS menegaskan kembali sebuah kebenaran fundamental: Nabi Idris adalah utusan Allah yang agung, seorang nabi yang hidupnya didedikasikan sepenuhnya untuk belajar, mengajar, beribadah, dan membangun peradaban di atas landasan tauhid. Ia adalah bukti nyata bahwa kemuliaan di sisi Allah diraih melalui kombinasi antara kesalehan spiritual, kecerdasan intelektual, dan kontribusi nyata bagi kemanusiaan. Semoga kita dapat meneladani semangatnya dalam mencari ilmu, mengamalkannya dengan ikhlas, dan senantiasa bersabar dalam menapaki jalan kebenaran.