Di antara hamparan kisah para nabi dan rasul yang agung, terdapat satu narasi yang menonjol karena keunikannya, sebuah cerita yang memuat pelajaran tentang kesabaran, keputusasaan, taubat yang tulus, dan rahmat Allah yang melampaui segala batas. Inilah kisah Nabi Yunus bin Matta AS, seorang utusan yang diamanahkan sebuah tugas berat: menyeru kepada kaum yang tenggelam dalam kesesatan. Ya, Nabi Yunus AS diutus untuk kaum yang bermukim di sebuah negeri makmur bernama Ninawa.
Mengenal Negeri Ninawa dan Penduduknya
Ninawa, yang reruntuhannya kini berada di sekitar kota Mosul, Irak, pada masanya adalah sebuah pusat peradaban yang megah. Kota ini diberkahi dengan tanah yang subur, perdagangan yang ramai, dan arsitektur yang mengagumkan. Kemakmuran material melingkupi setiap sudut kota, memberikan penduduknya kehidupan yang nyaman dan serba berkecukupan. Namun, kemewahan duniawi ini justru menjadi tabir yang menutupi mata hati mereka dari kebenaran hakiki. Seiring berjalannya waktu, kemakmuran tersebut menumbuhkan sifat sombong dan angkuh dalam dada mereka.
Penyakit spiritual yang paling parah menggerogoti masyarakat Ninawa adalah syirik, penyekutuan terhadap Allah. Mereka telah lama meninggalkan ajaran tauhid yang dibawa oleh para nabi terdahulu. Sebagai gantinya, mereka membuat berhala-berhala dari batu dan kayu, memberinya nama-nama agung, dan menyembahnya dengan penuh ketundukan. Mereka meyakini patung-patung tak bernyawa itu memiliki kuasa untuk memberikan manfaat dan menolak mudarat. Ritual-ritual paganisme menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Selain kesesatan akidah, kezaliman dan kerusakan moral juga merajalela. Yang kuat menindas yang lemah, kejujuran menjadi barang langka, dan hawa nafsu dipertuhankan. Keadaan mereka telah mencapai titik di mana campur tangan Ilahi menjadi sebuah keniscayaan untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran total, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam kondisi inilah, Allah dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya mengutus seorang hamba pilihan dari kalangan mereka sendiri. Seorang lelaki bernama Yunus bin Matta, yang dikenal dengan kejujuran dan akhlaknya yang mulia, dipilih untuk membawa lentera petunjuk ke tengah-tengah kegelapan Ninawa. Tugasnya jelas: mengajak kaumnya kembali ke jalan yang lurus, menyembah Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan segala bentuk kemusyrikan dan kezaliman.
Seruan Dakwah di Tengah Penolakan Keras
Maka, mulailah Nabi Yunus AS menjalankan amanah sucinya. Dengan semangat yang membara dan hati yang tulus, beliau berdiri di hadapan kaumnya. Di pasar-pasar, di alun-alun kota, di setiap kesempatan, beliau menyerukan kalimat tauhid. "Wahai kaumku," seru beliau, "Sembahlah Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku."
Beliau mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Tanah yang subur, air yang melimpah, panen yang berlimpah, semua itu bukanlah berasal dari berhala-berhala bisu yang mereka pahat dengan tangan mereka sendiri. Itu semua adalah anugerah dari Sang Pencipta alam semesta. Beliau juga memperingatkan mereka tentang dahsyatnya azab Allah yang akan menimpa orang-orang yang ingkar dan melampaui batas. Beliau sampaikan kisah-kisah kaum terdahulu yang dibinasakan karena kesombongan dan penolakan mereka terhadap utusan Allah, seperti kaum Nabi Nuh, Hud, dan Shalih.
Namun, bagaimana respons kaum Ninawa? Dakwah yang disampaikan dengan penuh hikmah dan kasih sayang itu hanya menabrak dinding kesombongan yang tebal. Mereka memandang Nabi Yunus dengan tatapan merendahkan. Sebagian dari mereka tertawa terbahak-bahak, menganggapnya sebagai orang gila yang mengigau. "Siapakah engkau, wahai Yunus, berani-beraninya mengusik tradisi nenek moyang kami?" cibir mereka. "Tuhan-tuhan kami ini telah memberikan kami kemakmuran. Mengapa kami harus meninggalkannya untuk menyembah Tuhan yang tidak terlihat yang engkau bicarakan?"
Para pemuka dan orang-orang kaya di antara mereka menjadi provokator utama penolakan. Mereka merasa ajaran tauhid yang dibawa Nabi Yunus akan mengancam status dan kekuasaan mereka yang dibangun di atas sistem kepercayaan pagan. Mereka menuduh Nabi Yunus sebagai pembohong, seorang penyihir yang ingin mencari popularitas dan pengikut. Berbagai fitnah dan cemoohan dilontarkan tanpa henti. Setiap kali Nabi Yunus menyampaikan satu argumen kebenaran, mereka membalasnya dengan sepuluh argumen kesesatan yang dibungkus dengan logika palsu.
Hari berganti hari, pekan berganti pekan, bulan berganti bulan. Nabi Yunus AS tidak pernah lelah mengulang-ulang seruannya. Siang dan malam, beliau berdakwah tanpa kenal putus asa. Namun, respons yang didapatnya tetap sama: penolakan, ejekan, dan pengusiran. Hanya segelintir orang yang mau mendengarkan, dan itu pun seringkali dengan sembunyi-sembunyi karena takut akan tekanan dari mayoritas kaumnya. Hati Nabi Yunus pun mulai terasa sesak melihat betapa kerasnya hati kaumnya, betapa pekatnya kegelapan yang menyelimuti mereka.
Puncak Kekecewaan dan Peringatan Azab
Sebagai seorang manusia, Nabi Yunus AS juga memiliki batas kesabaran. Setelah berdakwah dalam kurun waktu yang lama dan hanya mendapati penolakan yang semakin menjadi-jadi, perasaan putus asa mulai menyelinap ke dalam hatinya. Beliau merasa telah melakukan segala yang beliau mampu, namun kaumnya seolah tak bisa lagi diharapkan. Mereka telah mengunci rapat-rapat pintu hati mereka dari cahaya kebenaran. Dalam puncak kekecewaan dan amarahnya, Nabi Yunus mengambil sebuah keputusan besar.
Beliau berdiri di hadapan kaum Ninawa untuk terakhir kalinya. Bukan lagi dengan bujukan lembut, melainkan dengan sebuah ultimatum yang tegas dan menakutkan. Beliau memperingatkan bahwa jika mereka tidak segera bertaubat, azab Allah yang pedih akan turun menimpa mereka dalam waktu tiga hari. Ancaman ini bukanlah isapan jempol, melainkan sebuah janji dari Allah yang pasti akan ditepati bagi kaum yang membangkang.
Setelah menyampaikan peringatan keras itu, Nabi Yunus AS memutuskan untuk meninggalkan Ninawa. Beliau pergi dalam keadaan marah dan kecewa, dengan keyakinan bahwa kaumnya sudah tidak memiliki harapan lagi dan pasti akan dibinasakan. Beliau merasa tugasnya telah selesai. Namun, ada satu hal krusial yang beliau lakukan: beliau pergi tanpa menunggu perintah atau izin eksplisit dari Allah SWT. Beliau berijtihad berdasarkan penilaiannya sendiri bahwa kaumnya sudah pasti akan diazab. Inilah titik balik dalam kisah beliau, sebuah tindakan yang lahir dari sifat basyariyah (kemanusiaan) berupa ketidaksabaran, yang kelak akan menjadi sebuah ujian besar bagi dirinya sendiri.
Taubat Massal yang Fenomenal
Sepeninggal Nabi Yunus AS, suasana di Ninawa berubah drastis. Awalnya, kaumnya masih mencibir dan menganggap ancaman itu sebagai bualan belaka. Namun, ketika hari pertama berlalu dan hari kedua menjelang, tanda-tanda yang disebutkan oleh Nabi Yunus mulai tampak nyata. Wajah langit yang biasanya cerah benderang mulai berubah warna menjadi kelabu pekat. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Awan hitam pekat mulai menggumpal di atas kota mereka, menebarkan suasana yang mencekam dan penuh ketakutan.
Rasa takut yang luar biasa mulai merayapi hati setiap penduduk Ninawa, dari para bangsawan hingga rakyat jelata. Mereka saling berpandangan dengan wajah pucat. Mereka teringat akan kisah-kisah kaum terdahulu yang dibinasakan. Mereka mulai sadar bahwa ancaman Nabi Yunus bukanlah main-main. Kebenaran seruannya kini terasa begitu nyata dan menakutkan. Kepanikan melanda seluruh kota. Mereka mencari-cari Nabi Yunus, berharap bisa memohon ampun melalui beliau, namun sang nabi telah pergi entah ke mana.
Dalam kondisi genting itu, seorang alim atau orang bijak di antara mereka (yang mungkin selama ini menyembunyikan imannya) memberikan nasihat. "Lihatlah ke langit! Tidakkah kalian lihat tanda-tanda azab yang dijanjikan Yunus? Demi Tuhan, dia tidak pernah berdusta! Satu-satunya jalan keselamatan kita adalah bertaubat dengan tulus kepada Tuhannya Yunus, Allah Yang Maha Esa!"
Seruan itu seolah menjadi komando. Tanpa ragu, seluruh penduduk Ninawa, mulai dari raja hingga rakyat biasa, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, semuanya keluar dari rumah-rumah mereka. Mereka menanggalkan pakaian kebesaran dan perhiasan mereka, lalu mengenakan pakaian yang sederhana dan kasar sebagai simbol kerendahan diri. Mereka bergerak menuju sebuah lapangan luas di luar kota. Dalam sebuah pemandangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah para nabi, mereka melakukan taubat massal.
Mereka bahkan memisahkan anak-anak dari ibu mereka, serta memisahkan induk hewan ternak dari anak-anaknya. Suara tangisan bayi, anak-anak, dan lenguhan hewan yang kelaparan bercampur dengan isak tangis penyesalan orang-orang dewasa, menciptakan sebuah simfoni kepasrahan dan permohonan ampun yang menggema dahsyat. Mereka menengadahkan tangan ke langit yang gelap, bersujud di atas tanah, dan dengan hati yang hancur mereka berseru, "Ya Allah, kami beriman kepada apa yang dibawa oleh Yunus, kami menyesali segala perbuatan syirik dan kezaliman kami. Ampunilah kami, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih. Janganlah Engkau timpakan azab-Mu kepada kami!"
Allah SWT, Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, menyaksikan ketulusan taubat mereka. Doa yang dipanjatkan dari lubuk hati yang paling dalam, yang disertai dengan air mata penyesalan dan kerendahan diri yang total, telah menembus langit. Rahmat Allah yang tak terbatas pun turun. Allah menerima taubat mereka dan memerintahkan awan azab untuk menyingkir. Langit kembali cerah, dan ketenangan kembali menyelimuti Ninawa. Mereka menjadi satu-satunya kaum yang telah diancam dengan azab, lalu azab itu diangkat seluruhnya karena keimanan dan taubat kolektif mereka.
Ujian di Tengah Lautan dan Tiga Kegelapan
Sementara kaumnya bertaubat dan diselamatkan, Nabi Yunus AS sama sekali tidak mengetahui peristiwa luar biasa ini. Beliau terus berjalan menjauh dari Ninawa hingga tiba di sebuah pantai. Beliau melihat sebuah kapal yang hendak berlayar dan menumpang di kapal tersebut. Kapal itu pun berlayar mengarungi lautan luas dengan cuaca yang cerah.
Namun, di tengah perjalanan, keadaan tiba-tiba berubah. Langit menjadi gelap, angin bertiup kencang, dan ombak raksasa mulai menghantam lambung kapal. Badai dahsyat mengamuk, mengancam akan menenggelamkan kapal beserta seluruh isinya. Para penumpang dan awak kapal panik. Mereka mulai membuang barang-barang berat ke laut untuk meringankan beban kapal, namun badai tak kunjung reda. Mereka merasa bahwa badai ini bukanlah badai biasa. Pasti ada sesuatu yang salah. Mereka berkeyakinan, ada seorang hamba yang melarikan diri dari tuannya di antara mereka.
Untuk mengetahui siapa penyebab kemalangan ini, mereka sepakat untuk melakukan undian. Nama siapa pun yang keluar, dialah yang harus diceburkan ke laut sebagai "korban" untuk meredakan amukan alam. Undian pun dilakukan, dan nama yang keluar adalah: Yunus. Orang-orang di kapal terkejut. Mereka mengenal Yunus sebagai orang yang saleh. Mereka tidak percaya beliau adalah penyebabnya. Maka, undian diulang untuk kedua kalinya. Lagi-lagi, nama Yunus yang keluar. Masih tidak yakin, mereka mengulangnya untuk ketiga kalinya, dan hasilnya tetap sama. Nama Yunus yang terpilih.
Pada saat itulah, Nabi Yunus AS sadar sepenuhnya. Beliau tahu ini bukanlah kebetulan. Ini adalah teguran langsung dari Allah SWT atas tindakannya meninggalkan kaumnya tanpa izin. Dengan penuh kepasrahan, beliau mengakui, "Akulah hamba yang lari itu." Tanpa perlawanan, beliau maju ke tepi kapal. Di tengah amukan badai dan tatapan ngeri penumpang lain, beliau menceburkan diri ke dalam lautan yang bergelora.
Seketika itu juga, Allah SWT memerintahkan seekor ikan yang sangat besar (disebut Ikan Nun) untuk menelan Nabi Yunus. Perintah Allah kepada ikan itu sangat jelas: "Telanlah hamba-Ku, Yunus, tetapi jangan kau robek dagingnya dan jangan kau patahkan tulangnya. Ia bukanlah rezekimu, perutmu hanyalah penjara sementara baginya." Ikan raksasa itu pun melaksanakan perintah Tuhannya. Nabi Yunus AS berpindah dari kegelapan badai ke dalam kegelapan yang lebih pekat: kegelapan di dalam perut ikan.
Di dalam perut ikan itu, Nabi Yunus mendapati dirinya dalam kondisi yang tak terbayangkan. Beliau berada dalam tiga lapis kegelapan: kegelapan perut ikan, kegelapan dasar lautan, dan kegelapan malam. Tidak ada cahaya, tidak ada suara kecuali gemuruh air di luar dan detak kehidupan sang ikan. Dalam kesendirian dan keterasingan total itulah, beliau melakukan introspeksi mendalam. Beliau menyadari kesalahannya bukan karena meninggalkan kaum yang durhaka, tetapi karena sifat tergesa-gesa dan kurang sabar dalam menunggu ketetapan Allah.
Doa Agung dan Kekuatan Tasbih
Di dasar samudra yang paling dalam, di dalam penjara hidupnya, Nabi Yunus AS tidak putus asa dari rahmat Allah. Beliau mengira dirinya telah tiada, namun saat beliau menggerakkan anggota tubuhnya, beliau sadar bahwa beliau masih hidup atas kuasa Allah. Di tempat yang mustahil bagi manusia untuk bertahan hidup itu, beliau mendengar suara-suara aneh. Ternyata itu adalah suara tasbih para makhluk lautan—ikan-ikan, kerang, dan segala apa yang ada di dalamnya—semuanya bertasbih memuji keagungan Allah SWT.
Mendengar itu, hati Nabi Yunus tergetar. Beliau pun ikut bertasbih dan memanjatkan sebuah doa yang kelak menjadi doa agung yang diabadikan dalam Al-Qur'an. Sebuah doa yang merupakan puncak dari pengakuan, penyesalan, dan tauhid.
"Laa ilaha illa Anta, Subhanaka, inni kuntu minazh zhalimin."
(Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim).
Doa ini bukanlah doa permintaan biasa. Ini adalah sebuah pengakuan yang komprehensif. Pertama, "Laa ilaha illa Anta" adalah penegasan kembali pondasi utama iman, yaitu tauhid. Di tengah kesulitan yang luar biasa, beliau menegaskan bahwa hanya Allah satu-satunya tempat bergantung. Kedua, "Subhanaka" adalah penyucian Allah dari segala sifat kekurangan. Beliau mengakui bahwa Allah Maha Sempurna dalam segala ketetapan-Nya, dan jika ada kesalahan, itu pasti datang dari dirinya sebagai hamba. Ketiga, "inni kuntu minazh zhalimin" adalah pengakuan dosa dan kesalahan yang tulus. Beliau tidak menyalahkan keadaan atau kaumnya, tetapi menunjuk pada dirinya sendiri, mengakui bahwa beliau telah menzalimi dirinya sendiri dengan bertindak tergesa-gesa.
Malaikat di langit mendengar doa dan tasbih yang lirih itu dari kedalaman lautan. Mereka berkata kepada Allah, "Ya Tuhan kami, kami mendengar suara yang lemah dari tempat yang asing." Allah menjawab, "Itu adalah suara hamba-Ku, Yunus." Doa yang tulus itu dikabulkan oleh Allah Yang Maha Mendengar. Allah berfirman, "Maka Kami kabulkan (doa)-nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman."
Kembali ke Daratan dan Buah Kesabaran
Atas perintah Allah, ikan raksasa itu berenang menuju permukaan dan berlayar ke sebuah pantai. Di sana, ikan itu memuntahkan Nabi Yunus AS ke daratan. Keadaan beliau sangat lemah dan sakit. Kulitnya melepuh seperti bayi yang baru lahir karena cairan asam di perut ikan. Beliau terbaring tak berdaya di bawah terik matahari di sebuah pantai yang tandus.
Namun, rahmat Allah tidak pernah meninggalkannya. Di dekat tempat beliau terbaring, Allah menumbuhkan sejenis pohon labu (yaqthin) secara ajaib. Daunnya yang lebar menaungi tubuh beliau dari sengatan matahari, dan buahnya menjadi makanan yang memulihkan kekuatan dan kesehatannya. Ini adalah mukjizat lain yang menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang bertaubat.
Setelah pulih sepenuhnya, Allah SWT memerintahkan Nabi Yunus untuk kembali kepada kaumnya. "Pergilah kepada kaummu di Ninawa," firman Allah, "karena mereka kini telah beriman." Perintah ini mungkin terasa berat. Beliau telah meninggalkan mereka dalam keadaan marah, mengira mereka akan binasa. Kini beliau harus kembali menemui mereka.
Dengan ketaatan penuh, Nabi Yunus AS berjalan kembali menuju Ninawa. Ketika beliau mendekati kota, pemandangan yang menyambutnya sungguh di luar dugaan. Kota yang dulu dipenuhi dengan kemusyrikan dan penolakan, kini telah berubah menjadi kota yang penduduknya menyembah Allah Yang Maha Esa. Beliau melihat orang-orang berbondong-bondong ke tempat ibadah. Wajah-wajah yang dulu menatapnya dengan cemoohan, kini menatapnya dengan penuh hormat dan suka cita. Mereka menyambutnya sebagai pahlawan dan nabi yang telah menyelamatkan mereka.
Nabi Yunus AS menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri buah dari dakwahnya, yang dipadukan dengan rahmat Allah yang agung. Jumlah mereka yang beriman disebutkan mencapai seratus ribu orang atau lebih. Beliau akhirnya memahami pelajaran berharga di balik semua ujian yang beliau alami. Pelajaran tentang pentingnya kesabaran, tentang tidak mendahului ketetapan Allah, dan tentang betapa luasnya pintu taubat dan ampunan-Nya. Beliau pun melanjutkan bimbingannya, mengajarkan syariat Allah kepada kaumnya yang kini telah menjadi umat yang beriman.
Hikmah Abadi dari Sebuah Perjalanan Spiritual
Kisah Nabi Yunus AS diutus untuk kaum Ninawa bukanlah sekadar cerita pengantar tidur. Di dalamnya terkandung samudra hikmah yang relevan sepanjang zaman bagi setiap insan yang beriman. Pelajaran pertama dan utama adalah tentang kekuatan taubat yang tulus. Taubat kaum Ninawa menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni selama seorang hamba atau sebuah kaum mau kembali kepada Allah dengan penyesalan yang sungguh-sungguh. Taubat mereka yang bersifat kolektif juga mengajarkan pentingnya tanggung jawab sosial dalam memperbaiki kerusakan masyarakat.
Kedua, kisah ini adalah pelajaran agung tentang kesabaran dalam berdakwah dan berjuang. Nabi Yunus adalah seorang nabi yang mulia, namun ujiannya terletak pada ketidaksabaran. Ini menjadi pengingat bagi kita bahwa hasil dari sebuah usaha ada di tangan Allah. Tugas kita adalah berusaha semaksimal mungkin dengan sabar dan ikhlas, lalu menyerahkan hasilnya kepada-Nya. Terkadang, buah dari sebuah kebaikan baru terlihat setelah kita melewati ujian-ujian berat.
Ketiga, doa Nabi Yunus di dalam perut ikan menjadi senjata spiritual bagi setiap mukmin yang menghadapi kesulitan, kesedihan, dan merasa terperangkap dalam "kegelapan". Doa tersebut mengajarkan esensi dari kepasrahan: mengakui keesaan dan kesempurnaan Allah, serta mengakui kelemahan dan kesalahan diri sendiri. Inilah kunci untuk membuka pintu pertolongan Allah di saat-saat paling genting.
Pada akhirnya, narasi ini adalah manifestasi dari rahmat Allah yang tak bertepi. Rahmat-Nya menyelamatkan kaum Ninawa dari azab yang sudah di ambang mata, dan rahmat-Nya pula yang menyelamatkan Nabi Yunus dari tiga lapis kegelapan. Kisah ini menegaskan bahwa seberat apa pun ujian dan segelap apa pun keadaan, pintu rahmat Allah selalu terbuka bagi mereka yang mau kembali dan berharap kepada-Nya.