Kisah Agung Nabi Yusuf AS: Perjalanan Iman dan Kesabaran

Ilustrasi mimpi Nabi Yusuf: sebelas bintang, matahari, dan bulan bersujud.

Dalam khazanah peradaban manusia, terdapat kisah-kisah yang tak lekang oleh waktu, yang cahayanya terus bersinar melintasi zaman, memberikan petunjuk dan hikmah. Salah satu yang paling agung, yang disebut sebagai Ahsanul Qasas atau sebaik-baik kisah, adalah riwayat kehidupan Nabi Yusuf AS. Kisahnya bukan sekadar narasi tentang seorang nabi, melainkan sebuah epik yang merangkum esensi kehidupan itu sendiri: mimpi, harapan, iri hati, pengkhianatan, ujian, kesabaran, keimanan, pengampunan, dan kemenangan akhir dari kebenaran.

Perjalanan hidupnya adalah cerminan dari skenario ilahi yang maha sempurna, di mana setiap peristiwa, betapapun pahitnya, merupakan bagian dari sebuah rencana besar yang akan terungkap pada waktunya. Dari dasar sumur yang gelap hingga singgasana kekuasaan di Mesir, setiap langkah Yusuf adalah pelajaran tentang keteguhan iman dan keindahan akhlak.

Mimpi di Masa Kanak-Kanak: Benih Sebuah Takdir

Kisah ini bermula di tanah Kanaan, di tengah keluarga besar Nabi Ya'qub AS. Yusuf adalah salah satu dari dua belas putranya, seorang anak yang istimewa. Ia dianugerahi paras yang rupawan dan, lebih penting lagi, akhlak yang mulia. Kasih sayang ayahnya, Nabi Ya'qub, tercurah begitu dalam kepadanya dan adik kandungnya, Bunyamin. Perhatian istimewa ini, sayangnya, menjadi bara yang menyulut api cemburu di hati saudara-saudaranya yang lain.

Pada suatu malam, Yusuf yang masih belia mengalami sebuah mimpi yang luar biasa. Ia melihat sebelas bintang, beserta matahari dan bulan, semuanya bersujud kepadanya. Dengan hati yang berdebar, ia menceritakan penglihatan agung itu kepada ayahnya. Nabi Ya'qub, dengan kebijaksanaan kenabiannya, segera memahami makna besar di balik mimpi tersebut. Itu adalah pertanda bahwa kelak Yusuf akan diangkat menjadi orang yang memiliki kedudukan sangat tinggi, dihormati oleh seluruh keluarganya.

"Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas buah bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."

Namun, kebijaksanaan Ya'qub juga melihat potensi bahaya. Ia menasihati putra kesayangannya agar tidak menceritakan mimpi itu kepada saudara-saudaranya. Ia tahu, rasa iri yang sudah ada dapat berubah menjadi konspirasi jahat jika mereka mengetahui takdir gemilang yang menanti Yusuf. Nasihat ini adalah pelajaran pertama tentang pentingnya menjaga rahasia dan memahami psikologi manusia.

Konspirasi Iri Hati: Sumur Gelap Pengkhianatan

Api cemburu di dada para saudara Yusuf ternyata lebih besar dari yang dibayangkan. Mereka berkumpul dan berdiskusi, merasa bahwa cinta ayah mereka yang terpusat pada Yusuf dan Bunyamin tidaklah adil. Mereka merasa tersisih dan tidak dihargai. Dari perasaan inilah lahir sebuah rencana keji yang akan mengubah alur sejarah keluarga mereka selamanya.

"Bunuhlah Yusuf atau buanglah ia ke suatu daerah yang tidak dikenal, supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja," usul salah seorang dari mereka. Pikiran mereka telah dibutakan oleh hasad, sebuah penyakit hati yang mampu mengubah saudara menjadi musuh. Namun, di antara mereka masih ada yang memiliki sedikit belas kasihan. "Janganlah kamu bunuh Yusuf," katanya, "tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat."

Rencana yang lebih "halus" ini pun disepakati. Langkah selanjutnya adalah meyakinkan ayah mereka. Dengan wajah penuh kepura-puraan, mereka mendatangi Nabi Ya'qub, memohon izin untuk membawa Yusuf bermain bersama di padang gembalaan. Mereka berjanji akan menjaganya dengan segenap jiwa. Hati seorang ayah selalu penuh kekhawatiran. Ya'qub berkata, "Sesungguhnya kepergianmu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah darinya."

Mereka menepis kekhawatiran itu dengan sumpah palsu, mengatakan bahwa tidak mungkin serigala bisa menerkam Yusuf selagi mereka, sebuah kelompok yang kuat, ada bersamanya. Dengan berat hati, Nabi Ya'qub pun memberikan izin. Ini adalah momen yang menyayat hati, di mana seorang ayah yang bijaksana harus merelakan anaknya pergi ke dalam pelukan para pengkhianat.

Di tempat yang jauh dari pandangan sang ayah, topeng kebaikan itu pun lepas. Mereka melucuti pakaian Yusuf, menunjukkan kebencian yang selama ini terpendam, dan melemparkannya ke dalam sumur yang gelap dan dalam. Yusuf yang malang, seorang anak kecil, harus merasakan pengkhianatan paling menyakitkan dari darah dagingnya sendiri. Namun, di tengah kegelapan dan ketakutan itu, Allah menurunkan wahyu untuk menenangkannya, bahwa kelak ia akan menceritakan perbuatan mereka ini pada saat mereka tidak menyadarinya.

Untuk menutupi kejahatan mereka, mereka menyembelih seekor hewan dan melumuri baju gamis Yusuf dengan darah palsu. Sambil menangis tersedu-sedu, mereka kembali kepada ayah mereka di waktu senja. Mereka mengarang cerita bahwa saat mereka sedang berlomba, seekor serigala telah menerkam dan memakan Yusuf. Baju berlumur darah itu mereka sodorkan sebagai bukti. Namun, Nabi Ya'qub, dengan firasat kenabiannya, melihat kejanggalan. Baju itu utuh, tidak ada bekas cakaran atau robekan. Ia tahu mereka berbohong. Namun, apa daya seorang ayah yang tua renta di hadapan putra-putranya yang bersekongkol? Ia hanya bisa berserah diri kepada Allah.

"Hanya kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan."

Ungkapan "Fashabrun jamil" (kesabaran yang baik) menjadi monumen abadi tentang kekuatan seorang hamba yang diuji dengan kehilangan yang begitu mendalam. Ia tidak meratap berlebihan, tidak menyalahkan takdir, melainkan mengembalikan segalanya kepada Sang Pemilik Skenario.

Dari Sumur ke Istana: Perbudakan di Tanah Mesir

Sementara di Kanaan Nabi Ya'qub memeluk kesedihan dengan kesabaran, di dasar sumur, harapan bagi Yusuf datang dalam bentuk sekelompok kafilah dagang yang kebetulan berhenti untuk mengambil air. Timba yang mereka turunkan menjadi jalan keselamatan. Betapa terkejutnya mereka saat yang terangkat bukanlah air, melainkan seorang anak laki-laki yang sangat tampan. Mereka menganggapnya sebagai harta karun dan barang dagangan yang berharga.

Yusuf pun dibawa ke Mesir, pusat peradaban dan perdagangan saat itu. Di pasar budak, ia dijual dengan harga yang murah. Ironisnya, anak yang kelak akan menyelamatkan Mesir dari kelaparan ini, diperjualbelikan layaknya barang tak berharga. Takdir membawanya ke tangan seorang pembesar Mesir yang berpengaruh, Al-Aziz (Potifar), yang menjabat sebagai perdana menteri atau bendahara negara. Melihat pesona dan tanda-tanda kebaikan pada diri Yusuf, Al-Aziz berkata kepada istrinya, Zulaikha, "Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak."

Maka dimulailah babak baru dalam kehidupan Yusuf. Ia tumbuh di lingkungan istana, bukan lagi sebagai anak manja seorang nabi, melainkan sebagai seorang pelayan. Namun, Allah menganugerahinya ilmu dan hikmah. Ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang sangat tampan, cerdas, jujur, dan cakap dalam setiap pekerjaan yang diamanahkan kepadanya. Al-Aziz semakin mempercayainya dan menyerahkan seluruh urusan rumah tangganya kepada Yusuf. Yusuf menunjukkan integritas yang luar biasa, menjaga amanah tuannya dengan sebaik-baiknya.

Ujian Terbesar: Fitnah dan Keteguhan Iman

Ketampanan Yusuf yang luar biasa menjadi ujian terberat dalam hidupnya. Zulaikha, istri Al-Aziz, yang setiap hari melihat kesempurnaan fisik dan akhlak Yusuf, mulai terjerat dalam api syahwat. Ia tidak mampu lagi menahan gejolak nafsunya. Suatu hari, ketika Al-Aziz sedang tidak berada di rumah, Zulaikha mempersiapkan dirinya, berdandan secantik mungkin, dan menciptakan suasana yang mendukung rencananya. Ia mengunci semua pintu dan dengan terang-terangan menggoda Yusuf untuk melakukan perbuatan nista.

Di sinilah puncak ketakwaan seorang hamba diuji. Yusuf berada dalam posisi yang sangat sulit. Ia seorang budak, di hadapan majikan perempuannya yang berkuasa, dalam sebuah ruangan tertutup. Menolak bisa berarti malapetaka. Namun, imannya kepada Allah jauh lebih kuat daripada godaan duniawi manapun. Dengan tegas ia berkata:

"Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik."

Pernyataannya bukan hanya penolakan, tetapi juga sebuah pengingat akan kebaikan Al-Aziz yang telah memberinya tempat dan kepercayaan. Mengkhianati kepercayaan itu adalah sebuah kezaliman. Seketika, Yusuf berbalik dan berlari menuju pintu, berusaha melarikan diri dari fitnah tersebut. Zulaikha, yang tak mau rencananya gagal, mengejar dan menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga robek.

Tepat saat itu, takdir berkata lain. Al-Aziz muncul di ambang pintu. Pemandangan yang dilihatnya sangatlah mengejutkan: istrinya dalam keadaan berantakan dan pelayan kepercayaannya dengan baju yang robek. Zulaikha, dengan licik, segera membalikkan keadaan. Ia berteriak dan menuduh Yusuf yang hendak berbuat tidak senonoh kepadanya. Ia menuntut agar Yusuf dipenjara atau diberi siksaan yang pedih.

Yusuf, dalam posisi tertuduh, membela dirinya. "Dia yang menggodaku," katanya. Terjadilah perdebatan. Di saat genting itulah, seorang saksi dari keluarga Zulaikha sendiri (ada yang menafsirkan seorang bayi yang diberi kemampuan berbicara, ada pula yang menafsirkan seorang kerabat yang bijaksana) memberikan solusi yang cerdas. "Jika bajunya robek di bagian depan, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika bajunya robek di bagian belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar."

Ketika Al-Aziz memeriksa baju Yusuf, ia mendapati bahwa baju itu robek di bagian belakang. Kebenaran pun terungkap. Ia tahu bahwa istrinyalah yang bersalah. Namun, untuk menjaga kehormatan dan nama baik keluarganya, ia hanya meminta Yusuf untuk melupakan kejadian itu dan menyuruh istrinya memohon ampun atas dosanya. Kasus ini ditutup secara internal.

Penjara: Pilihan Mulia di Atas Kenistaan

Namun, berita tentang skandal di rumah Al-Aziz menyebar dengan cepat di kalangan para wanita bangsawan Mesir. Mereka mencibir Zulaikha, "Istri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya, sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu sangat mendalam."

Merasa harga dirinya terinjak-injak, Zulaikha merancang sebuah siasat untuk membungkam para pencibirnya. Ia mengundang mereka semua ke sebuah jamuan makan. Ia menyediakan tempat duduk yang nyaman dan memberikan pisau kepada setiap wanita untuk mengupas buah-buahan. Ketika para tamu sedang sibuk, Zulaikha menyuruh Yusuf untuk keluar dan menampakkan diri di hadapan mereka. Ketika para wanita itu melihat Yusuf, mereka begitu terpesona oleh ketampanannya yang luar biasa, seolah-olah melihat seorang malaikat mulia. Tanpa sadar, mereka melukai jari-jari tangan mereka sendiri dengan pisau yang mereka pegang. Darah menetes, namun mereka tak merasakan sakit karena akal mereka telah tertawan oleh pesona Yusuf.

Melihat reaksi mereka, Zulaikha merasa menang. "Itulah orangnya yang menyebabkan kamu mencelaku karena aku tertarik kepadanya," katanya. Kemudian, di hadapan semua tamunya, ia kembali mengancam Yusuf, "Dan sesungguhnya jika dia tidak menaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina."

Fitnah kini menjadi terbuka dan tekanannya semakin kuat. Yusuf dihadapkan pada dua pilihan: menuruti kemauan Zulaikha dan hidup dalam kenistaan, atau mempertahankan kesuciannya dan masuk penjara. Dalam keputusasaan itu, ia memanjatkan doa yang sangat indah kepada Tuhannya, sebuah doa yang menunjukkan kemurnian jiwanya:

"Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku."

Yusuf lebih memilih kungkungan fisik di dalam penjara daripada perbudakan hawa nafsu di luar. Allah pun mengabulkan doanya. Meskipun Al-Aziz dan para pembesar lainnya tahu bahwa Yusuf tidak bersalah, mereka memutuskan untuk memenjarakannya demi meredam skandal dan menjaga citra mereka. Yusuf pun masuk ke dalam penjara sebagai korban fitnah, namun hatinya bebas dan jiwanya merdeka.

Dakwah di Balik Jeruji: Menafsir Mimpi, Menebar Tauhid

Penjara tidak memadamkan cahaya kenabian Yusuf. Justru di tempat yang sempit dan gelap itu, misinya sebagai seorang utusan Allah dimulai. Akhlaknya yang mulia, kejujurannya, dan kebijaksanaannya membuatnya dihormati oleh para penghuni penjara lainnya. Bersamanya, masuk pula dua orang pemuda yang merupakan pelayan raja; seorang juru minuman (pembuat anggur) dan seorang juru roti.

Kedua pemuda ini masing-masing mengalami mimpi yang membuat mereka penasaran. Mereka datang kepada Yusuf, yang mereka kenal sebagai orang baik, untuk meminta tafsir. Si juru minuman bermimpi memeras anggur, sedangkan si juru roti bermimpi membawa roti di atas kepalanya yang sebagiannya dimakan oleh burung.

Yusuf melihat ini sebagai sebuah kesempatan emas untuk berdakwah. Sebelum memberikan tafsir mimpi mereka, ia terlebih dahulu mengajak mereka untuk menyembah Allah Yang Maha Esa. Ia menjelaskan betapa tidak masuk akalnya menyembah tuhan-tuhan yang berbilang, nama-nama kosong yang dibuat oleh nenek moyang mereka tanpa dasar ilmu. Ia memperkenalkan ajaran tauhid, agama lurus yang diwarisi dari nenek moyangnya: Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub. Inilah prioritas seorang nabi; menyelamatkan akidah manusia adalah lebih utama daripada sekadar memecahkan masalah pribadi mereka.

Setelah menyampaikan pesan tauhid, barulah Yusuf menafsirkan mimpi mereka. Kepada si juru minuman, ia berkata, "Kamu akan dibebaskan dan akan kembali memberikan minuman kepada tuanmu (raja)." Kepada si juru roti, ia menyampaikan kabar buruk, "Adapun yang seorang lagi, maka ia akan disalib, lalu burung akan memakan sebagian dari kepalanya."

Sebelum mereka berpisah, Yusuf menitipkan sebuah pesan kepada pemuda yang ia tahu akan selamat. "Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu (raja)." Ia berharap raja akan mengetahui kisahnya dan membebaskannya dari penjara. Namun, ketika pemuda itu benar-benar bebas dan kembali bekerja di istana, setan membuatnya lupa untuk menyampaikan pesan Yusuf. Akibatnya, Yusuf harus mendekam di dalam penjara selama beberapa tahun lagi. Ini adalah pelajaran bahwa pertolongan hakiki hanya datang dari Allah, dan terkadang, ketergantungan pada manusia bisa menunda datangnya pertolongan tersebut.

Mimpi Sang Raja: Kunci Menuju Kebebasan

Waktu terus berjalan. Yusuf tetap sabar di dalam penjaranya. Hingga suatu hari, Raja Mesir sendiri mengalami mimpi yang sangat aneh dan menggelisahkan. Ia bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus. Ia juga melihat tujuh bulir gandum yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering.

Raja segera mengumpulkan para penasihat, ahli nujum, dan orang-orang pintar di kerajaannya untuk menafsirkan mimpinya. Namun, tak seorang pun dari mereka yang sanggup memberikan jawaban yang memuaskan. Mereka hanya menganggapnya sebagai "mimpi-mimpi yang kosong" atau bunga tidur belaka. Raja tidak puas, ia merasa ada makna penting di balik mimpinya itu.

Di saat itulah, si juru minuman yang pernah menjadi teman satu sel Yusuf, tiba-tiba teringat akan janjinya. Setelah bertahun-tahun lupa, ingatan tentang pemuda saleh yang mampu menafsirkan mimpi dengan tepat kembali muncul. Ia segera menghadap raja dan berkata, "Utuslah aku (kepada seseorang), niscaya aku akan memberitakan takwilnya kepadamu."

Dengan izin raja, ia bergegas menuju penjara dan menemui Yusuf. Ia menceritakan mimpi sang raja dan memohon tafsirnya. Yusuf, tanpa menunjukkan rasa kecewa atau marah karena telah dilupakan selama bertahun-tahun, langsung memberikan jawaban yang sangat detail dan solutif. Ia tidak hanya menafsirkan mimpi itu, tetapi juga memberikan cetak biru rencana ekonomi untuk menyelamatkan bangsa Mesir.

"Hendaklah kamu bercocok tanam selama tujuh tahun berturut-turut seperti biasa," jelas Yusuf. "Kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya, kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang akan menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun, di mana manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur."

Tafsir ini begitu brilian. Tujuh sapi gemuk dan tujuh bulir hijau adalah lambang tujuh tahun masa subur. Tujuh sapi kurus dan tujuh bulir kering adalah lambang tujuh tahun masa paceklik. Solusi yang ia tawarkan pun sangat strategis: menabung di masa subur untuk menghadapi masa sulit. Ini bukan sekadar tafsir mimpi, ini adalah sebuah rencana ketahanan pangan yang visioner.

Pembuktian Kebenaran dan Puncak Kekuasaan

Ketika juru minuman kembali kepada raja dengan jawaban yang luar biasa itu, raja sangat terkesan. Ia yakin bahwa orang yang memberikan tafsir ini bukanlah orang sembarangan. "Bawalah dia kepadaku!" perintah raja. Utusan pun datang ke penjara untuk membebaskan Yusuf.

Namun, Yusuf melakukan sesuatu yang tidak terduga. Ia menolak untuk keluar. Ia tidak mau dibebaskan hanya karena pengampunan atau belas kasihan raja. Ia ingin kebebasan yang terhormat, yang didasari oleh kebenaran dan keadilan. Ia berkata kepada utusan itu, "Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakan kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Mengetahui tipu daya mereka."

Yusuf menuntut agar kasus fitnah yang membuatnya dipenjara diusut tuntas terlebih dahulu. Namanya harus dibersihkan secara publik sebelum ia melangkahkan kaki keluar dari penjara. Ini adalah sikap seorang yang memiliki integritas tinggi. Ia tidak hanya mencari kebebasan fisik, tetapi juga pemulihan nama baik dan kehormatan.

Raja semakin kagum dengan sikap Yusuf. Ia pun menggelar penyelidikan. Ia memanggil Zulaikha dan para wanita bangsawan lainnya. Di hadapan raja, mereka tidak bisa lagi berkelit. Dihantui rasa bersalah yang telah lama terpendam, Zulaikha akhirnya membuat pengakuan yang jujur.

"Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar."

Kebenaran akhirnya terungkap. Seluruh Mesir mengetahui bahwa Yusuf adalah korban fitnah yang tidak bersalah. Setelah namanya bersih, barulah Yusuf bersedia keluar dari penjara dan menghadap raja. Raja menyambutnya dengan penuh hormat. Terpesona oleh kebijaksanaan, kejujuran, dan wawasan Yusuf, raja menawarkannya kedudukan yang tinggi di sisinya.

Yusuf, yang mengetahui krisis besar yang akan melanda Mesir, tidak meminta jabatan untuk kemewahan. Ia meminta posisi yang paling strategis untuk menjalankan rencana penyelamatannya. "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." Raja pun setuju dan memberinya kekuasaan penuh atas perbendaharaan dan lumbung-lumbung negeri.

Demikianlah, Yusuf yang pernah dibuang ke dalam sumur dan dijual sebagai budak, kini menjadi salah satu orang paling berkuasa di Mesir. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah mengangkat derajat orang-orang yang sabar dan bertakwa.

Paceklik, Pertemuan, dan Rencana Agung

Sesuai dengan tafsir mimpi Yusuf, Mesir menikmati tujuh tahun masa panen yang melimpah. Di bawah manajemen Yusuf yang brilian, surplus hasil panen dikelola dengan sangat baik dan disimpan di lumbung-lumbung negara. Setelah itu, tibalah masa paceklik yang dahsyat. Kekeringan melanda seluruh wilayah, tidak hanya di Mesir tetapi juga di negeri-negeri sekitarnya, termasuk Kanaan, tempat keluarga Yusuf tinggal.

Mesir menjadi satu-satunya negeri yang memiliki persediaan makanan. Orang-orang dari berbagai penjuru berdatangan untuk membeli gandum. Di antara mereka, datang pula sepuluh orang saudara Yusuf. Nabi Ya'qub mengutus mereka untuk mendapatkan bahan makanan, sementara ia menahan Bunyamin, adik kandung Yusuf, di sisinya karena trauma kehilangan Yusuf.

Ketika saudara-saudaranya masuk untuk menghadap penguasa Mesir yang mengatur distribusi gandum, Yusuf segera mengenali mereka. Namun, mereka sama sekali tidak mengenali Yusuf. Puluhan tahun telah berlalu. Anak kecil yang mereka buang ke sumur kini adalah seorang pejabat tinggi yang agung, berbicara dengan bahasa yang berbeda, dan berpakaian layaknya bangsawan Mesir. Yusuf menyembunyikan identitasnya dan memperlakukan mereka dengan formalitas.

Ia melayani mereka dengan baik, memberikan jatah gandum yang mereka butuhkan. Namun, sebagai bagian dari rencananya untuk menyatukan kembali seluruh keluarganya, ia memberikan sebuah syarat. "Jika kamu datang lagi, bawalah kemari saudaramu yang seayah denganmu (Bunyamin). Jika tidak, maka kamu tidak akan mendapatkan jatah gandum lagi dariku." Untuk memastikan mereka kembali, Yusuf secara diam-diam memerintahkan para pegawainya untuk memasukkan kembali uang pembayaran mereka ke dalam karung gandum mereka.

Ketika mereka tiba kembali di Kanaan dan menceritakan semuanya kepada ayah mereka, Nabi Ya'qub, mereka menemukan uang mereka di dalam karung. Ini membuat mereka semakin bersemangat untuk kembali ke Mesir. Namun, Nabi Ya'qub sangat berat untuk melepaskan Bunyamin. Luka lama karena kehilangan Yusuf belum sembuh total. "Aku tidak akan melepaskannya pergi sebelum kamu bersumpah dengan nama Allah bahwa kamu akan benar-benar membawanya kembali," kata Ya'qub. Setelah mereka mengucapkan sumpah yang teguh, barulah ia merelakannya, sambil berpesan agar mereka masuk ke kota Mesir dari gerbang yang berbeda-beda untuk menghindari perhatian yang tidak diinginkan, dan pada akhirnya, ia bertawakal sepenuhnya kepada Allah.

Piala Raja dan Puncak Drama Keluarga

Rombongan itu pun kembali ke Mesir, kali ini bersama Bunyamin. Yusuf menyambut mereka dengan hangat. Ia membawa Bunyamin ke ruang pribadinya dan di sanalah ia membuka rahasianya. "Sesungguhnya aku ini adalah saudaramu (Yusuf), maka janganlah kamu berdukacita terhadap apa yang telah mereka kerjakan." Sebuah momen yang sangat mengharukan bagi kedua saudara kandung yang telah terpisah puluhan tahun.

Selanjutnya, Yusuf menjalankan bagian kedua dari rencananya. Ia memerintahkan agar piala atau cawan minum milik raja yang terbuat dari emas dimasukkan secara diam-diam ke dalam karung milik Bunyamin. Ketika mereka bersiap untuk pulang, seorang penyeru berteriak, "Wahai kafilah, sesungguhnya kamu adalah para pencuri!"

Para saudara Yusuf terkejut dan membantah tuduhan itu. Mereka bersumpah tidak pernah berbuat kerusakan di negeri itu. Para petugas bertanya, "Apa hukuman bagi pencuri jika kamu berdusta?" Mereka, dengan yakin, menjawab sesuai hukum yang berlaku di negeri mereka, "Hukumannya ialah siapa yang ditemukan piala itu dalam karungnya, maka dia sendirilah yang menjadi tebusannya (menjadi budak)."

Pencarian pun dimulai. Karung-karung mereka digeledah, dimulai dari karung saudara-saudara yang lebih tua, dan berakhir pada karung Bunyamin. Dan benar saja, piala itu ditemukan di sana. Wajah para saudara Yusuf pucat pasi. Mereka terperangkap oleh aturan yang mereka tetapkan sendiri. Sumpah mereka kepada ayah mereka kini dipertaruhkan.

Mereka memohon kepada Yusuf. "Wahai Al-Aziz, ia mempunyai seorang ayah yang sudah sangat tua, karena itu ambillah salah seorang di antara kami sebagai gantinya." Mereka menunjukkan perubahan karakter. Dulu mereka tega membuang Yusuf, kini mereka rela mengorbankan diri demi menyelamatkan Bunyamin dan menjaga perasaan ayah mereka. Namun, Yusuf menolak. "Kami sekali-kali tidak akan menahan kecuali orang yang kami temukan harta kami padanya."

Mereka pun putus asa. Yahuda, saudara tertua yang paling vokal dalam bersumpah kepada ayahnya, merasa sangat malu dan bersalah. Ia berkata kepada saudara-saudaranya, "Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan negeri Mesir ini, sampai ayahku mengizinkanku atau Allah memberi keputusan terhadapku." Ia memilih untuk tinggal di Mesir daripada harus menghadapi wajah ayahnya dengan kegagalan.

Pengampunan Agung dan Bersatunya Keluarga

Saudara-saudara yang lain kembali ke Kanaan dengan membawa berita yang lebih buruk. Mendengar Bunyamin ditahan, kesedihan Nabi Ya'qub mencapai puncaknya. Ia terus-menerus menangis dan menyebut nama Yusuf hingga kedua matanya menjadi putih karena duka, dan ia pun menjadi buta. Namun, bahkan dalam puncak kesedihan ini, imannya tidak goyah. Ia tidak pernah putus asa dari rahmat Allah. Ia justru menyuruh anak-anaknya, "Wahai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah."

Untuk ketiga kalinya, mereka kembali ke Mesir. Kali ini mereka datang dengan keadaan yang sangat hina dan putus asa. Dengan kerendahan hati, mereka memohon belas kasihan Yusuf. Momen inilah yang dipilih oleh Yusuf untuk membuka tabir rahasia yang telah ia simpan selama puluhan tahun. Dengan suara yang mungkin bergetar, ia bertanya:

"Apakah kamu mengetahui apa yang telah kamu perbuat terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kamu tidak mengetahui (akibat perbuatanmu itu)?"

Pertanyaan itu seperti sambaran petir. Mereka terperangah, menatap wajah penguasa Mesir itu lekat-lekat, dan sebuah kesadaran yang mengejutkan muncul. "Apakah kamu ini benar-benar Yusuf?" tanya mereka tak percaya.

Yusuf menjawab, "Aku adalah Yusuf dan ini adalah saudaraku. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami." Kemudian, ia mengucapkan kalimat pengampunan yang paling agung dalam sejarah, sebuah kalimat yang menunjukkan puncak kebesaran jiwa. "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang."

Tidak ada dendam, tidak ada celaan, hanya pengampunan tulus yang membersihkan semua luka masa lalu. Drama puluhan tahun itu berakhir dengan air mata penyesalan dan pelukan pengampunan.

Terwujudnya Mimpi: Sujud Syukur di Istana

Setelah momen emosional itu, Yusuf segera memikirkan ayahnya. Ia melepaskan baju gamisnya dan memberikannya kepada saudara-saudaranya. "Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah seluruh keluargamu kepadaku."

Sebuah mukjizat pun terjadi. Ketika kafilah itu baru saja keluar dari perbatasan Mesir, Nabi Ya'qub yang berada di Kanaan, ratusan kilometer jauhnya, berkata kepada orang-orang di sekitarnya, "Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf." Ikatan batin antara ayah dan anak yang saleh mampu melintasi jarak dan waktu.

Ketika baju gamis itu tiba dan diusapkan ke wajahnya, seketika penglihatan Nabi Ya'qub pulih kembali. Seluruh keluarga besar itu pun bersiap-siap melakukan perjalanan bersejarah menuju Mesir.

Penyambutan di Mesir berlangsung dengan sangat meriah. Yusuf telah mempersiapkan segalanya. Ia menjemput keluarganya di gerbang kota. Ketika mereka tiba di istana, Yusuf menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana. Dan di sanalah, di hadapan Yusuf yang kini menjadi penguasa, ayah, ibu, dan kesebelas saudaranya menundukkan badan sebagai tanda hormat.

Mimpi masa kecil itu kini menjadi kenyataan. Sebelas bintang (saudaranya), matahari (ayahnya), dan bulan (ibunya) semuanya 'bersujud' kepadanya. Ini bukanlah sujud penyembahan, melainkan sujud penghormatan yang lazim pada masa itu. Yusuf berpaling kepada ayahnya dan berkata, "Wahai ayahku, inilah takwil mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan."

Kisah ini ditutup dengan bersatunya kembali sebuah keluarga yang pernah tercabik-cabik oleh iri hati, kini disatukan kembali oleh kesabaran, iman, dan pengampunan. Perjalanan panjang Yusuf AS, dari dasar sumur hingga puncak singgasana, adalah bukti bahwa rencana Allah adalah yang terbaik, dan akhir yang baik hanyalah bagi orang-orang yang bertakwa.

🏠 Homepage