Ilustrasi Pembatalan Kepastian Hukum Sebuah Hibah.
Hibah merupakan perbuatan hukum di mana seseorang (penghibah) menyerahkan sebagian atau seluruh hartanya kepada orang lain (penerima hibah) tanpa adanya imbalan timbal balik. Di Indonesia, agar sah dan mengikat secara hukum, hibah yang menyangkut benda tidak bergerak—seperti tanah atau bangunan—harus dilakukan dengan akta otentik yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Notaris. Akta hibah ini memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak terkait peralihan hak kepemilikan.
Namun, layaknya perjanjian atau perbuatan hukum lainnya, akta hibah tidak selalu final dan tidak dapat diubah. Terdapat kondisi-kondisi hukum tertentu yang memungkinkan proses pembatalan akta hibah dilakukan, meskipun prosedur ini seringkali lebih rumit daripada proses pembuatannya.
Pembatalan akta hibah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), terutama terkait dengan syarat sahnya perjanjian dan tata cara pembatalan perjanjian secara umum. Secara spesifik, pembatalan dapat terjadi melalui dua jalur utama: pembatalan berdasarkan kesepakatan (mutual consent) atau pembatalan melalui putusan pengadilan.
Dasar-dasar hukum yang sering dijadikan landasan dalam mengajukan pembatalan meliputi:
Langkah-langkah yang harus ditempuh sangat bergantung pada jenis pembatalan yang diajukan. Jika kedua belah pihak masih memiliki kesepahaman, prosesnya relatif lebih mudah.
Apabila penghibah dan penerima hibah sepakat untuk membatalkan akta hibah yang sudah terbit, mereka dapat membuat akta baru yang isinya menyatakan pembatalan akta sebelumnya. Proses ini harus dilakukan di hadapan Notaris atau PPAT yang sama atau Notaris/PPAT lain. Akta pembatalan ini berfungsi untuk mengembalikan status kepemilikan properti seperti sebelum hibah terjadi.
Apabila salah satu pihak keberatan atau tidak ditemukan titik temu, pembatalan harus diajukan melalui gugatan perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang. Pihak yang merasa dirugikan harus membuktikan fakta-fakta hukum yang mendasari pembatalan, seperti adanya bukti penipuan atau tekanan saat penandatanganan akta.
Jika gugatan dikabulkan, Pengadilan akan mengeluarkan putusan yang menyatakan akta hibah tersebut batal demi hukum. Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) inilah yang kemudian akan menjadi dasar untuk membalikkan sertifikat kepemilikan kembali atas nama penghibah.
Pembatalan akta hibah memiliki konsekuensi hukum yang signifikan, terutama terkait dengan pengembalian status hukum atas aset yang dihibahkan. Ketika akta hibah dibatalkan (baik melalui kesepakatan maupun putusan pengadilan), maka hak milik atas properti tersebut secara yuridis kembali kepada penghibah.
Untuk aset tidak bergerak yang telah terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN), pembatalan ini memerlukan tindak lanjut administratif. Putusan pengadilan yang sah atau akta pembatalan harus diajukan kepada BPN agar dilakukan pembalikan nama pada Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Proses ini memastikan bahwa catatan kepemilikan di tingkat pertanahan mencerminkan keadaan hukum yang baru.
Penting untuk dicatat bahwa proses pembatalan akta hibah adalah prosedur serius yang memerlukan pertimbangan hukum matang. Konsultasi dengan Notaris/PPAT atau advokat hukum sangat disarankan untuk memastikan prosedur dijalankan sesuai koridor hukum yang berlaku dan menghindari risiko hukum di kemudian hari.