Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu kesayangan Nabi Muhammad SAW, dan khalifah keempat umat Islam, adalah sosok yang memiliki kedudukan mulia dalam sejarah Islam. Kehidupannya penuh dengan pengorbanan dan perjuangan membela kebenaran. Namun, akhir hayatnya ditandai dengan tragedi yang menyisakan duka mendalam bagi banyak kalangan.
Kematian Ali bin Abi Thalib bukan disebabkan oleh sakit alamiah atau peperangan terbuka, melainkan akibat dari sebuah konspirasi pembunuhan. Peristiwa nahas ini terjadi ketika beliau sedang menunaikan salat Subuh di Masjid Agung Kufah, yang saat itu berfungsi sebagai pusat pemerintahan beliau.
Latar Belakang Konflik dan Ketegangan Politik
Masa kekhalifahan Ali diwarnai dengan berbagai gejolak politik internal yang dikenal sebagai Fitnah Akbar. Konflik berkepanjangan, seperti Perang Jamal dan Perang Shiffin, telah memecah belah umat Islam. Meskipun Ali berusaha keras untuk menjaga persatuan, ketegangan politik terus meningkat, menciptakan permusuhan dari berbagai faksi.
Dari ketegangan inilah muncul sebuah kelompok ekstremis yang dikenal sebagai Khawarij. Khawarij adalah kelompok yang memisahkan diri karena tidak setuju dengan keputusan damai Ali dalam Tahkim (perundingan dengan Muawiyah). Bagi mereka, baik Ali, Muawiyah, maupun Amr bin Ash, semuanya dianggap telah melakukan dosa besar dan layak dihukum mati.
Konspirasi Tiga Orang
Puncak dari kebencian Khawarij termanifestasi dalam sebuah rencana pembunuhan berencana yang terorganisir dengan rapi. Menurut riwayat yang paling masyhur, tiga orang tokoh utama Khawarij sepakat untuk menghilangkan tiga pemimpin besar Islam pada waktu yang bersamaan, demi menciptakan kekosongan kekuasaan dan harapan mereka bahwa umat akan kembali kepada "ajaran yang benar" versi mereka. Ketiga pelaku tersebut adalah:
- Ibnu Muljam Al-Muradi: Ditugaskan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib.
- Al-Burak bin Abdillah: Ditugaskan untuk membunuh Muawiyah bin Abi Sufyan di Syam.
- Amr bin Bakr Al-Tamimi: Ditugaskan untuk membunuh Amr bin Ash di Mesir.
Serangan di Mihrab Masjid
Pada tanggal 19 Ramadan tahun 40 Hijriyah, ketika Ali tengah melaksanakan salat fajar, Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi telah menunggu di pintu keluar masjid. Ibnu Muljam adalah seorang pria dari suku Bani Murad yang memiliki dendam pribadi dan ideologis yang mendalam terhadap kekhalifahan Ali.
Saat Ali sujud (prostrasi) dalam rakaat kedua, Ibnu Muljam menikam kepala Ali dengan pedang yang telah dilumuri racun mematikan. Tikaman itu sangat fatal. Ali dilaporkan mengucapkan kalimat yang terkenal, "Demi Ka'bah, aku beruntung!" sebelum jatuh tak berdaya.
Meskipun Ali terluka parah, para pengikutnya dengan cepat berhasil menangkap Ibnu Muljam. Ibnu Muljam ditangkap dalam keadaan masih membawa belati beracunnya.
Wafatnya Sang Khalifah
Setelah serangan itu, Ali dibawa pulang dan dirawat. Racun yang digunakan sangat kuat dan cepat meresap ke dalam tubuhnya. Meskipun para tabib terbaik berusaha keras menyelamatkannya, luka tersebut terbukti tidak dapat disembuhkan. Ali bin Abi Thalib wafat dua hari setelah serangan itu, pada usia sekitar 60 tahun, meninggalkan wasiat penting mengenai cara penguburannya dan nasihat kepada putra-putranya, Hasan dan Husain.
Penyebab kematian Ali bin Abi Thalib adalah luka tusuk beracun yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi, seorang anggota Khawarij, saat Ali sedang salat Subuh di Kufah. Peristiwa ini menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin, empat khalifah pertama yang diyakini sebagai pemimpin ideal dalam Islam Sunni.
Peristiwa tragis ini bukan hanya menjadi akhir dari kehidupan seorang pemimpin besar, tetapi juga menjadi pengingat akan betapa berbahayanya fanatisme buta dan bagaimana perselisihan politik dapat berujung pada kekerasan yang menimpa tokoh-tokoh mulia dalam sejarah.